13 C

276 40 8
                                    

Selamat Membaca. Selamat Berpuasa

🌟🌟🌟🌟

"Kita jalani saja dulu. Bukannya kamu ingin mengubah akhir tragis menjadi bahagia? Kenapa sekarang malah ragu akan hal itu?"

Tidak tahu. Gema tidak bisa berpikir. Ancaman akan dibunuh meningkat disesuaikan dengan aksi nekat tadi.

Mata Gema mengidentifikasi sekitar, mencocokkan dengan data yang mungkin saja bisa dia temukan di otaknya. Namun, hasil pasti adalah nihil. Dia tidak tahu di mana sekarang berada.

"Mungkinkah ini belakang sekolah?" tanya Gema.

"Bukan. Ini daerah dekat Bank Sampah." Cyteria mengajak Gema memutar tubuh dan memperlihatkan bangunan yang tak lagi digunakan. Sebuah sarana yang sekarang tinggal wacana.

Gema tidak ingat pernah menulis tempat ini. Mungkin. Lagi-lagi tidak yakin.

"Kenapa tempat ini tak lagi tampak aktif?"

"Karena Jaim," jawab Cyteria cepat. "Ayolah, siswa-siswi di sekolah ini rata-rata anak konglomerat. Jadi mana sudi kami melakukan pekerjaan mendaur ulang sampah. Ya, kecuali lima sekawan itu. Karena mereka dari strata bawah."

Gema langsung tahu lima sekawan yang dimaksud. Tentu saja para protagonis dengan pemimpinnya guru Matematika alias Enrda.

Bangunan persegi panjang, ukurannya mungkin sama dengan satu kelas di kurangi seperempat bagian. Catnya berwarna hijau lumut. Nyaris pudar berkat terkena tampias cahaya Matahari dan juga hujan.

Iseng, Gema mendekati bangunan itu. Tetapi baru satu langkah tegak maju jalan, sebuah tangan menahan lengannya. Saat menoleh, mata harus melotot horor lagi. Ingin menangis saja ketika seseorang yang dijauhi ternyata berhasil mengejarnya.

Eknaht memasang air muka yang sama. Gema sampai heran, apa tidak ada tombol mengubah wajah agar ceria? Setidaknya gadis itu tidak harus teramat tertekan karena hal ini.

"A-ampun, Eknaht!" Gema menutup mata saking takutnya. "Tadi aku sedang kesurupan. Sungguh, percayalah."

"Kita harus bicara. Tapi tidak di sekolah. Sekarang ikut aku keluar dan berbicara di suatu tempat."

Kelopak mata Gema mendadak kehilangan fungsi. Tidak bisa diangkat. Astaga! Bahkan mulut juga terkunci saat dia rasakan tarikan Eknaht yang menyeretnya paksa.

"Sampai kapan kamu akan menutup mata seperti itu? Kita harus melompati tembok ini."

Baru setelah mendengar instruksi itu, Gema mampu membuka mata. Membelalak dan berseru, "Kenapa tidak bicara di sini?"

"Lama!" Eknaht sekonyong-konyong mengangkat tubuh Cyteria. "CEPAT GAPAI!"

Gema paham dengan sendirinya. Dia gapai pagar atas dan sekali lompat, dia kesangsang di sana. Eknaht mengikuti, tapi bedanya gerakan lelaki itu lebih luwes dan langsung mendarat di bagian sisi yang lain.

"Sekarang turunlah. Kita tidak punya banyak waktu. Pak Heru mungkin akan mulai berpatroli sebentar lagi."

Dalam benak, Cyteria memberi nasihat, "Jika kamu menuruti anak itu maka sama saja kamu akan jadi pesuruh."

"Lalu aku harus apa?"

"Tentu balik ke kelas dan tinggalkan bocah ini. Kita tidak tahu, bagaimana kalau dia mengajak pergi hanya untuk membunuh kita di tempat sepi?"

Gagasan yang dikemukakan Cyteria masuk akal. Jadi untuk saat ini Gema setuju. Memilih mengamankan diri lebih bijak. Gadis itu sedikit merapatkan badan pada ujung tembok dan berbisik, "Maaf, Eknaht. Jika kamu ingin berbicara maka kita lakukan di waktu dan tempat yang benar. Tidak dengan kabur dari sekolah. Sekali lagi maaf." Gadis itu langsung terjun ke sisi dalam sekolah. Lari menuju kelas, mengabaikan panggilan Eknaht.

Dalam perjalanan Gema terus merapalkan doa agar Eknaht tidak cepat mengejar dirinya.

"Aku rasa dia akan mengejar kalau kamu tidak lari lebih kencang."

Ampun! Larinya Gema ini sudah paling maksimal. Tidak bisa lagi ditambah. Ini saja dada sudah ngos-ngosan.

"Tapi, Eknaht sudah dekat," gertak Cyteria main-main. Karena yang sebenarnya, Eknaht belum menyusul. Tapi disebabkan Gema tidak menoleh untuk memastikan, gadis itu memekik, "Apa?!" dan menambah daya kekencangan kabur.

Di sinilah, Gema sudah mencapai ambang batas. Dia tidak bisa berlari lagi. Gerakannya semakin melamban, melamban, hingga akhirnya terhenti dan membungkuk. Bibir memucat, keringat deras mengucur. Tidak kuat. Gadis itu pingsan di tempat. Untungnya selalu ada dua lengan yang berhasil mendapatkan tubuh itu sebelum menyentuh lantai.

Gelap telah mengisi sebelum otak sukses mengetahui siapa penolongnya.

Cyteria terkikik mendapati pemandangan ini. "Si Au-ko-thor benar-benar mengubah plot cerita ini. Apa bisa kumanfaatkan? Atau tidak perlu? Ah, lihat saja nanti, ah."

***

Iklan Wattpad sangat menganggu banget!

Biar tak terganggu iklan, silakan mampir ke karyakarsa (Shimajiwanta) 🥰 Bab nya pun lebih banyak.
Murah, kok. Bahkan lebih murah daripada jajan cilok.

Membeli karya Shima = membantu Shima bertahan hidup.

Am I a Villain?! (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang