35 B

65 14 0
                                    

Terima kasih untuk 3,17 ribu pembaca yang memiliki jari baik, yang dengan kerendahan hati telah nge-VOTE cerita ini 🌟

Shima ucapkan banyak-banyak terima kasih. Hati kalian begitu baik, dan semoga terus baik. Sehat selalu untuk kalian. 😘

Terkhusus juga untuk pada para pembaca yang dermawan yang dengan kecantikan jiwanya telah dengan ikhlas membeli karya Shima di Karyakarsa.

Huaaaa, aku merasa jadi penulis betulan. 😭👍 Terima kasih untuk suport kalian. Shima terharu dan tidak henti-hentinya bersyukur. Semoga uang yang digunakan untuk membeli karya Shima menjadi pahala untuk akak-akak pembaca semua. Aamiin. Matur thank you. ❤️

Untuk yang belum tergerak menekan vote padahal menikmati karya ini dan memilih menjadi silent readers, Shima doakan segera sadar. Aamiin. Semoga hatinya tergerak untuk VOTE karena VOTE itu GRATIS, KAWAN.

Vote enggak akan melukai jarimu yang cantik. Jadi vote yuk. Enggak rugi apa pun, kok. 😘

🌟🌟🌟

Pintu berderit, Nalendra menjulurkan kepala ke dalam. “Dari baunya yang apek, ini benar-benar gudang.“ Lantas memberi Gema kesempatan untuk mengecek.

Gelap. Di dalam begitu gelap. Sudahlah. Tidak ada pilihan.

“Kita masuk,” ujar Gema.

Nalendra lenyap lebih dulu ke dalam, baru kemudian diikuti Gema. Mereka kerepotan berjalan. Harus ekstra hati-hati dan selalu waspada dengan jarak pandang yang sempit. Tidak ada yang membawa senter atau minimal korek api. Ternyata situasi semakin berbahaya di sini.

Gema menggaet pergelangan tangan Nalendra, menariknya tuk mendekat, lantas membisikkan sesuatu, “Tempat ini terlalu gelap, pun terlalu berbahaya jika berpencar. Kamu punya ide?“

“Maaf, pikiranku tidak bisa berpikir karena takut kalau ada makhluk yang tiba-tiba menyerang kita,” balas Nalendra yang sama-sama berbisik ke dekat telinga.

Gema merinding perkara embusan napas Nalendra yang menerpa cupingnya. Gadis itu perlahan menjauhkan kepala dengan mode robot.

“Kita bergerak ke kanan,” perintah Gema begitu saja.

Jika benar sesuai petunjuk yang diberikan oleh ingatannya tadi, maka mereka akan menemukan jantung MaJo dengan mudah.

Gema berjengkit, memekik tertahan ketika merasakan menyandung sesuatu. Sudah sangat ketakutan dan ingin kencing, untung pula masih bisa ditahan.

“Ada ap—”

Gema serta merta membungkam mulut Nalendra sembari melotot. Jantung gadis itu berdentum-dentum hebat. Segera dia tarik pergelangan tangan Nalendra dan melakukan isyarat berupa menulis huruf di telapak tangan lelaki itu, seperti yang mereka lakukan di atas pohon. Mungkin karena paham, Nalendra hanya diam tidak mencoba mengomentari tindakan tiba-tiba Gema.

Huruf-huruf yang ditulis Gema membentuk kalimat: Ada sesuatu di dekat kaki.

Gantian Nalendra menulis di telapak tangan Gema, yang jika digabung  jadi: Biar aku yang memeriksanya.

Gema percaya saja. Dia merasakan pergerakan Nalendra yang berjongkok.

“Manusia,” kata Nalendra.

Setelah mendapat pernyataan itu, Gema ikut bercangkung. Dalam gelap apa pun jadi samar, tapi Gema yakin apa yang dikatakan Nalendra memang benar. Mereka menemukan manusia.

Eh? Apa itu tadi? Gema seperti mendapat silauan benda, hanya saja waktunya terlalu singkat dan terlampau cepat. Mungkin hanya 0,1 detik.

“Sepertinya dia pingsan,” jelas Nalendra lagi, membuyarkan kebingunan Gema untuk sesuatu yang lain. “Aku masih bisa mendengar suara napasnya.“

Entah mengapa, insting Gema mengatakan bahwa manusia di hadapan mereka ini adalah seseorang yang mereka kenal. Masalahnya sekarang, Gema harus fokus dulu mencari jantung MaJo dan tidak mau mengurus alias menolong manusia ini. Itu yang dia pikirkan. Namun, manusia itu tiba-tiba terbatuk. Dari suaranya jelas kalau seorang gadis.

“Si-siapa kalian?“ Pertanyaan itu terlontar dari gadis itu. Nadanya lemah seperti tubuhnya yang masih rebah. “Apakah itu kamu Nalendra?“

Nalendra memasang wajah terkejut. Gema pun sama. Tidak salah lagi, kalau gadis ini adalah ....

“Kak Sajani?“

“Sajani?“

Nalendra dan Gema kompak mengucapkannya.

“Cy-teria? Kenapa kamuaa!“ Sajani mengadu sakit.

Nalendra bersegera maju dengan nada khawatir. “Ada apa, Kak? Ada yang sakit? Sebelah mana?“

“Tidak. Tidak apa-apa. Sebenarnya apa yang sedang terjadi sekarang ini?“

Nalendra dengan sukarela menjelaskan. Mulai dari sekolah tiba-tiba berguncang, lalu ada makhluk-makhluk yang memakan jiwa manusia, hingga berakhir di gudang ini karena percaya bahwa ada jantung MaJo yang nantinya harus dihancurkan demi keadaan kembali normal.

Sajani terdiam cukup lama setelah Nalendra menceritakan semua itu.

“Lantas Kakak sendiri kenapa bisa berakhir di sini?“

“Aku tidak ingat, Nal. Bahkan kenapa aku pingsan pun, aku tidak ingat.“

Intuisi Gema entah mengapa mengatakan kalau Sajani tengah berbohong saat ini. Tapi untuk apa?

“Aku akan mencari jantung MaJo,” kata Gema seraya bangkit. Akan sangat membuang waktu jika menonton drama adik kakak yang bertemu setelah sekian jam. Gema harus ingat, bahwa mereka tidak memiliki banyak waktu.

“Kamu yang memanggil MaJo, 'kan?“

Am I a Villain?! (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang