Dukung Shima di Karyakarsa agar Shima semakin rajin menulis. 🙏😘
Cari saja akun
Shimajiwanta***
"Ah!" Gema menepuk tangan. "Aku ingat sesuatu. Ternyata tidak jatuh di sini, tapi di kelas." Dengan gerakan cepat dia berdiri dan tertawa aneh.
Raut wajah Nale tentunya meremehkan. Aduh, dia pasti tahu kalau alasan Gema tadi memang bodoh. Pasti terdengar aneh.
Mendadak kulit belakang telinga Gema gatal. Dia garuk bagian itu. Lalu tanpa pikir panjang, dia berterus terang dengan suara kecil dan dalam sekali tarikan napas. "Yaaa, tadi aku pingsan dan kemudian ditolong Ishan lalu sebagai balas budi aku merawatnya karena tampak sakit, tapi karena takut dia bangun dan marah aku langsung berjongkok kemudian kamu datang mengagetkan sekarang aku berasumsi untuk kabur saja." Setelah mengatakan hal itu, Gema sedikit membungkuk memberi salam dan ... kabur!
Sayangnya gagal.
"Mau ke mana?" tanya Nale. Dia berhasil menggaet pergelang tangan Gema. "Aku tidak dengar kamu bicara apa tadi karena suaramu terlalu kecil. Bisa diulang?"
Gema langsung menggeleng. Udara begitu dingin menusuk tulang padahal di luar terik Matahari sangat menyengat. Luar biasa efek ketakutan memang.
"Jadi," Nale menoleh pada kakaknya yang terbaring di atas ranjang, "kamu merawat Kakakku?"
"Sumpah! Aku merawat bukan mencelakai." Otak Gema sudah dipenuhi hal-hal negatif, jadi dia mudah berprasangka buruk pada kalimat Nale meski memang benar nada yang digunakan cowok itu terdengar selayaknya pertanyaan biasa tanpa ada unsur menuduh.
"Memang kapan aku berasumsi seperti itu?" Nale memiringkan kepala. Gema melirik ke kanan, menghindari tatapan. Terdengar suara semburan napas Nale. "Karena kamu sudah ada di sini, kenapa tidak sekalian kamu rawat? Aku kemari hanya untuk memastikan kalau Kak Ishan sudah ada di UKS. Tadi dia mendadak pusing."
Bel tanda masuk berbunyi nyaring. Dua pilihan yang sebenarnya tak menguntungkan: tetap di sini merawat Ishan atau balik ke kelas dan bertemu Eknaht. Sejujurnya Gema tidak ingin memilih keduanya.
"Diammu kuartikan sebagai penolakan."
"Eh? Baru kali ini aku mendengar kalimat yang tak seperti biasanya. Harusnya diammu kuartikan setuju, tapi—" Gema membekap mulut dengan tangan yang bebas. Tahu betul keceplosan bicara berkat rasa herannya. Tak selayaknya dia berkata demikian.
"Jadi kamu setuju?" Senyum manis mematikan kaum hawa dilayangkan Nalendra. Tanpa melepaskan genggaman tangan, cowok itu membimbing Gema kembali ke tepi ranjang Ishan.
"Hari ini Kakak dirundung." Nale mendesah kasihan. Dia serahkan baskom ke Gema. "Perkara rambut panjangnya."
Gema tidak kaget. Ya, karena memang dia menulis kejadian ini untuk membangun cerita menjadi menyedihkan di mata pembaca. Ishan yang dirundung perkara rambut panjang akan disemangati oleh Sajani.
"Kamu mau lihat videonya?" Nale memberikan handycam yang tadi dikalungkan di lehernya. "Ini direkam oleh Kakak sendiri. Jangan kaget. Kakak memang vloger."
Kerutan terbentuk di kening. Perasaan, Gema menuliskan hobi Ishan adalah memancing. Tapi kenapa sekarang jadi vloger?
"Bunuh ketidakadilan! Perjuangkan kesetaraan!" Suara dari video yang diputar mencuri perhatian Gema. Gadis itu segera menerima handycam agar jelas menonton.
“Kami berunjuk rasa karena merasa sekolah ini melakukan diskrimisasi."
“Diskriminasi." Salah satu orang di belakang mengoreksi.
“Oh, maaf. Maksud saya diskrimisasi. Nasi, maksudnya. Astaga maaf. Apa?" Si Orator berbalik untuk bertanya. Lidahnya seperti terserang duri duren karena tidak bisa mengatakan hal yang benar, selalu saja salah pengucapan. Kemungkinan pula nilai rapor di bawah minimum.
“Maksud kami diskriminasi telah terjadi di sekolah ini!" Akhirnya si pembetul berujar sendiri.
“Betul. Itu maksud saya." Tak mau terlihat bodoh, si Orator berlagak lagi.
Gema meringis, baru sadar bahwa ceritanya sungguh tidak masuk akal. Para murid melakukan demo di depan kelas akselerasi, bukannya di ruang guru atau di depan ruang Kepala Sekolah. Bukannya itu adalah tindakan sia-sia? Opini mereka hanya akan jadi omong kosong.
Perkara ini pula, Gema mendapat komentar dari salah satu pembaca setia,
@DimanaGajiku: Pasti ini berkat micin yang mempengaruhi otak mereka. Generasi over micin. Masa demo di depan kelas? Hadeh. Memang Ishan kepala sekolahnya, apa?
Video tidak menampakkan wajah Ishan, tetapi suara jelas terdengar dan dekat.
“Diskriminasi apa? Sesuai peraturan sekolah bahwa: Diperbolehkan anak didik memanjangkan rambut dengan syarat nilai mereka di atas sembilan koma lima di setiap semester. Kalau tidak demikian maka rambutnya akan dipotong dan mendapat hukuman membersihkan sekolah menggantikan tukang kebun selama seminggu.”
“Namun sangat dilarang di semester satu dan akhir. Kalian bisa cek sendiri peraturan itu.” Kali ini suara Nale yang terdengar dan menambahkan.
Empat siswa pendemo mendadak bungkam, saling menatap dan bertanya melalui gerakan dagu. Hingga si Orator berkata untuk menyudahi aksi. “Kami tidak terima. Kami akan kembali. Tunggu saja nanti." Dan begitulah akhir dari demo ala-ala alay. Kerumunan itu pergi dengan raut jengkel.
"Dasar kumpulan otak udang.” Kalimat Ishan menjadi penutup untuk video tersebut.
***
Jika tidak ingin terganggu iklan, Kakak-kakak bisa langsung mampir ke Karyakarsa 😍👍
Bab-nya pun lebih banyak di sana. MantaB
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I a Villain?! (TAMAT)
HumorAku, sih, yes kalau dikerubung banyak cogan, tapi BIG NO kalau dikerubung untuk dibunuh! ~Gema Nasib orang kejam pasti dapat karma. Karmanya tak main-main pula. Masuk ke novel buatan sendiri sebagai penjahat yang berakhir mati. Eh, semesta sedang b...