Nalendra mengangkat tangan. Bibirnya melengkung sekilas ke bawah. Dia menjauhkan diri dan memilih ke dekat jendela. “Wah, hebat. Kalau begini lift dan tangga tidak dibutuhkan. Kita masuk lewat pintu satpam, tapi malah berakhir di ruang musik lantai dua.“ Dia tersenyum dan menoleh ke arah Gema. Senyumnya kemudian memudar. “Kenapa tidak segera kamu pakai? Mau mengulang kejadian itu lagi?“
Gema agak risih dengan ucapan Nalendra barusan. Tanpa diingatkan pun, Gema sudah ingat.
“Kalian balik badan dan lihat tembok dulu,” titah Gema sambil melihat kedua laki-laki itu bergantian. “Baru aku bisa memakai celana ini.“
Tak terduga, ternyata reaksi keduanya sama yaitu malu. Bergegas mematuhi perintah dari cewek satu-satunya di ruangan ini, Nalendra dan Enrda menghadap tembok.
Nahas, ketika Gema hendak memakai celana, terjadi ledakan disusul getaran yang merontokkan beberapa serpihan atap. Gadis itu terperenyak. “AAA!!“ Pantatnya sakit perkara kejadian itu. “Jangan berbalik!“
“Aku bahkan tidak bergerak,“ sanggah Nalendra.
“Aku hanya mengolesi luka,” sahut Enrda. “Tapi, suara apa itu tadi?“
“Ledakan yang sepertinya berasal dari kantin sekolah,” kata Nalendra, tetap menghadap tembok. “Perkiraanku, ada beberapa siswa yang mencoba mempertahankan diri.“
Gema selesai berganti celana, langsung ikut menimbrung ke percakapan. “Ngomong-ngomong soal siswa lain, di mana Eknaht dan Ishan? Bukannya mereka bersama, Bapak?“
Enrda menghentikan mengoles obat merah. “Maaf, aku kehilangan mereka.“
Detik itu juga, Nalendra tahu-tahu sudah menarik kerah baju Pak Guru. Gema hanya bisa mengerjap karena tak menduga gerakan yang begitu cepat.
“Kenapa bisa?! Apa yang kamu lakukan?“ Tidak ada kesopanan maupun nada santai yang digunakan Nalendra terhadap gurunya sendiri.
Gema menengangi. “Lepaskan. Ini bukan waktu yang tepat tuk berkelahi. Tahan emosimu.“
“Bagaimana bisa aku tidak emosi?“ Tajamnya tatapan Nalendra, meruntuhkan keberanian Gema. Gadis itu meregangkan kedua tangan yang melekat di lengan lelaki itu. Bergerak mundur.
Sejurus kemudian Gema berkata, “Lalu dengan cara berkelahi apakah itu bisa menjadi jalan menemukan mereka? Tidak mungkin juga Enrda akan meninggalkan Ishan dan Eknaht dengan sengaja.“
“Oh, jadi kamu ingin melindungi kekasihmu ini?“ Terdengar gemeletuk gigi dari mulut Nalendra. Lelaki itu semakin mengeratkan gigi tanda tak suka.
“Dia bukan kekasihku,” tanggap Gema tegas. “Tapi kalian adalah tokoh-tokoh yang kuciptakan. Tokoh yang kuanggap anak.“
Nalendra tertawa ejek. Sementara Enrda memasang wajah bingung.
“Apa yang sedang kamu bicarakan?“ Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Enrda setelah sekian lama diam.
Nalendra melepas tarikan kerah dengan sengaja mengempasnya keras. Dia kembali duduk dengan salah satu lutut ditekuk. “Dia mengaku sebagai penulis yang mana, kita semua yang ada di dunia ini adalah tokohnya. Siapa namamu tadi? Maaf, aku sudah lupa.“ Permintaan maafnya tidak tulus sama sekali. Lebih terdengar sangsi.
Masuk akal jika dalam keadaan seperti ini Nalendra bersikap seperti itu. Gema tentu paham bahwa Nale sedang cemburu karena mengira Cyteria membela Enrda.
Gema melihat ke arah kerah Enrda yang kusut. Ingin sekali merapikannya. Tapi tidak. Gema beralih ke Nalendra yang tak mau menatapnya. Wajah cowok itu kentara sekali tengah keki.
“Aku akan mengulangi penjelasan ini, meski Nale sudah mendengarnya.“
“Nale?“ Enrda mendengkus. “Apakah itu panggilan mesra kalian?“
Apa-apan situasi ini?! Kenapa aku merasa berada di antara cinta segitiga? He, Cyteria, bangun!
Sayang, Cyteria tidak menjawab. Gadis itu seperti sedang tidur siang dalam tubuhnya. Kebiasaan! Ketika dibutuhkan, Cyteria selalu menghilang. Gema jadi bertanya-tanya apakah di dalam tubuh ini ada semacam rumah dengan berbagai ruang, hingga Cyteria bisa bersantai dan hanya menonton saja. Memikirkan hal itu membuat Gema jadi semakin kesal.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I a Villain?! (TAMAT)
HumorAku, sih, yes kalau dikerubung banyak cogan, tapi BIG NO kalau dikerubung untuk dibunuh! ~Gema Nasib orang kejam pasti dapat karma. Karmanya tak main-main pula. Masuk ke novel buatan sendiri sebagai penjahat yang berakhir mati. Eh, semesta sedang b...