23A

167 23 5
                                    

Bab 23. Berguncang

Berlarilah
Jika lelah, berhenti dan segera beli es lilin lima

***

“Inginnya tidak masuk sekolah, tapi kalau terus menghindari masalah, aku akan selalu merasa waswas." Gema sibuk memasang dasi di depan cermin. Punggungnya membungkuk layaknya guling.

"Jangan lupa kalau hari ini ada pelajaran olahraga. Masukkan juga kostumnya."

"Itu kaos olahraga bukan kostum, Cy." Dasi sudah terpasang. Ganti haluan memasukkan barang sesuai perintah pemilik tubuh. "Aku benar-benar malas ke sekolah." Gema mendesah berat.

Cyteria mencebik. "Tadi berkata A, sekarang berkata B. Sungguh plin-plan."

Pantulan di kaca memperlihatkan kalau Gema sedang mengamati cincin di jari manisnya. Ragu-ragu hendak melepas. Pada akhirnya dilepas dan ditaruh asal saja ke atas meja.

"Lebih aman tidak dipakai. Lagipula Enrda juga tidak akan marah perkara hal itu."

Itu yang dipikirkan Gema, tapi kenyataan berbanding terbalik. Hari ini Enrda menjemputnya. Setelah tidak melihat ada benda melingkar di jari Cyteria, pria itu menanyakan, "Kenapa tidak dipakai?"

"Ya, bukankah Anda sendiri tidak memakaiii ...." Tak sampai selesai, mata malah menangkap cincin di jari Enrda. Aduh! Ternyata Enrda memakainya. Gema jadi kehilangan kata.

Enrda menaikkan telapak tangan untuk menunjukkan cincin. "Aku pakai karena tadi ke rumah sakit. Jadi sekarang kamu juga harus pakai."

Terdengar kontradiktif di telinga Gema. Alasan dan perintah, tidak masuk akal. Mereka bukan akan pergi ke rumah sakit, jadi harusnya tidak apa-apa kalau tidak dipakai. Tapi karena Gema sedang dalam mode menurut alih-alih mengajak ribut, dia ambil cincin di kamarnya dan menjadikan sebagai liontin kalung.

"Maaf, Pak. Agar tidak terlalu mencolok." Gema perlihatkan sebentar sebelum dimasukkan ke balik seragam.

Untuk beberapa waktu, Enrda terdiam. Lalu berbalik dan tidak memberi tanggapan. Dia berjalan lebih dulu menuju mobil.

Hening, tidak ada percakapan sama sekali seakan dua orang dalam mobil bukanlah manusia. Gema sendiri lebih memilih melihat keluar jendela dan menikmati pemandangan lalu lalang kendaraan, serta toko-toko yang berjejer sepanjang jalan.

Gema kira dia akan diturunkan di tempat biasa, tapi perkara ban mobil terus berputar melewati tempat itu dia jadi panik.

"Pak, kita kelewatan, Pak." Gema menunjuk-nunjuk kaca jendela berulang-ulang.

Enrda memasang wajah tidak-dengar-apa-pun. Lelaki itu sepertinya berubah jadi robot. Fokus ke depan, tidak sekalipun menggubris reaksi gadis di sampingnya.

Mobil berhenti di parkiran sekolah. Gema menoleh patah-patah, menatap horor pada empunya niat. "Pak, kenapa saya diturunkan di parkiran? Kalau begini akan ada gosip dan mungkin nama Bapak akan tercemar. Bapak tidak khawatir?"

Enrda hanya melirik sekilas, melepas sabuk pengaman dan beranjak keluar. "Cepat keluar sebelum kukunci."

Gema menanyakan sesuatu pada Cyteria tentang keadaan telinga Enrda. Apakah normal atau kemasukan hewan, hingga menyumbat pendengaran?

"Entahlah. Mungkin juga."

Ketukan di jendela mengagetkan gadis itu. Enrda tak sabar menunggu. Lelaki itu memberi isyarat agar Gema cepat keluar.

Buru-buru Gema menyelinap keluar, menutup pintu dengan bahu, kemudian berjongkok di samping mobil sambil melirik kanan kiri.

"Cepatlah ke kelas." Suara Enrda menginterupsi setelah bunyi kunci mobil berbunyi dua kali.

Saat Gema mengintip dari bawah mobil, kaki Enrda sudah menjauh pergi. Begitu tak tampak, barulah Gema muncul dari persembunyian.

Beberapa debu dihempas kasar menggunakan dua tangan. Gema bermalas-malasan berjalan menuju kelas akselerasi. Dia tidak memilih lift hanya agar ketika sampai di depan kelas, bel berbunyi dan langsung disibukkan dengan pelajaran."

Berulang kali Gema menaikkan satu kaki ke anak tangga pertama, lalu urung dan menurunkan lagi hingga sejajar dengan kaki yang lain. Begitu terus sampai lima belas menit lamanya. Bel sekolah sudah meraung, menyuruh para murid masuk ke kelas.

Selasar sepi. Waktu pelajaran pertama di mulai, tapi Gema masih berkutat dengan pilihan masuk atau pulang. Sungguh berat langkahnya.

"Sebaik—." Telinga Gema bergerak, menangkap resonansi kecil. "Kamu mendengarnya, Cy?"

"Ya. Seperti ...."

Terima kasih untuk para pembaca setia AIAV

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih untuk para pembaca setia AIAV. Shima sangat cinta kalian. Wkwkw.
Terima kasih juga karena selalu vote 🌟 karya ini.

Jempol kalian memang terbaik.

Untuk yang silent reader, Shima doakan semoga cepat tobat. Awok. Jempolnya sehat, 'kan? Bagus. Jadi jangan lupa vote ya. Ahahah

Biar enggak ketinggalan ceritanya, kuy masukkan ke reading list. Cakep dah. 😋

Sekian terima kasih.

(Alasan kenapa up sekarang adalah karena hari Minggu sepertinya Shima tidak bisa Online. Hiks. Jadi begitulah. Dah gitu doang. Selamat berbahagia)

Am I a Villain?! (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang