19 C

206 29 2
                                    

Yuhuu sudah hari selasa. Awak kembali up. 😚 Selamat membaca, jangan lupa vote.

***

"Masuk," katanya. Singkat, padat, dan dingin.

Selama perjalanan diisi suara jangkrik bernyanyi. Tidak ada percakapan sebab Gema sendiri masih menyiapkan mental serta merangkai kata yang tepat agar pas untuk disampaikan.

Pengharum mobil mengayun mengikuti getar roda saat melindas jalanan. Bergantungan di kaca spion dalam. Masih baru, sebab seingat Gema kemarin masih belum ada benda itu.

Tidak kurang dari lima belas menit, mereka tiba di pelantaran butik langganan. Orang kaya memang beda. Untuk pesta pertunangan tak kalah repot seperti acara nikahan. Coba kalau di kehidupan nyata Gema, paling-paling langsung menikah dengan mahar paling besar lima juta rupiah. Acara pun di adakan di rumah demi meminimalisir biaya. Istilah lainnya: hemat.

Tepat ketika Enrda bergerak hendak mencopot sabuk pengaman, Gema berkata, "Kita batalkan saja."

Dari sudut mata, Gema melihat tangan Enrda yang membeku. Kemudian tak jadi membuka sabuk dan menaruh tangannya di atas kemudi.

"Maksudmu apa?"

"Maksud saya, mumpung belum terlalu jauh melangkah, kita batalkan pertunangan itu di sini saja."

Gema tidak berani melirik apalagi beradu pandang dengan Enrda. Matanya terkunci ke sebuah manekin di balik kaca bening dengan gaun bernuansa langit malam. Manik-maniknya bersinar diterpa cahaya. Walau cantik, tapi Gema tak suka karena model gaun itu mengekspos bahu.

"Kamu pikir pertunangan ini hanya sebuah alat permainan? Yang jika kamu suka tinggal minta dan ketika bosan tinggal buang?"

"Tidak," sangkal Gema. "Saya hanya ingin kita sama-sama jujur. Saya tahu Anda memiliki perasaan untuk orang lain. Daripada Anda akan menyesal jika terus melanjutkan perkara ini, bukankah lebih baik batalkan?"

Samar Gema melihat pantulan wajah Enrda dari kaca mobil. Terlihat sekali menahan kesal. Mendadak jantung Gema berdetak takut. Suhu ruang seakan menurun sebab atmosfer yang berubah.

"Anda tentu tahu, Pak Enrda, bahwa penyesalan selalu berada di akhir sebuah hasil keputusan."

"Kamu berniat membunuh ibuku dengan mengatakan itu?"

"Tidak, jika Anda mau berpikir dari sisi yang berbeda. Tante Aruna tidak akan meninggal hanya gara-gara calon menantunya berbeda."

Enrda memukul klakson hingga mengakibatkan bunyi nyaring pengganggu gendang telinga.

"Mudah kamu mengatakan hal itu." Nada yang digunakan bermuatan hawa membunuh yang sangat kental. Gema merinding bukan main. Ingin sekali loncat dan berlari sejauh mungkin dari pria di sampingnya ini.

"Seberapa yakin kamu kalau Ibuku takkan meninggal gara-gara keinginannya tak terpenuhi? Menurutmu hati Ibuku itu sebusuk dirimu, Cyteria? Jawabannya tidak."

Orang-orang di luar mulai berkumpul, berbisik-bisik dan menunjuk ke arah mobil yang Gema tumpangi. Pasti bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi hingga mereka harus mendengar keributan berupa klakson yang tak kunjung dimatikan.

Enrda membanting punggung ke kursi. Melepas kepalan tangan dari tombol klakson.

"Jika kamu berani, maka temui Ibuku secara langsung. Kita lihat hasilnya nanti. Jika terjadi sesuatu yang buruk terhadap beliau, maka bersiaplah dengan hukuman yang lebih kejam dari neraka itu sendiri."

Mesin mobil dihidupkan. Tanpa kelembutan, Enrda melajukan mobilnya keluar parkiran, mengebut di jalan raya secara liar. Tidak peduli keselamatan penumpang, menekan pedal gas sampai nyaris maksimal.

Gema berdoa dalam hati semoga tidak mati karena kecelakaan di saat ini. Berharap selamat sampai tujuan, pun dengan masa depan. Sementara Enrda tampak tak gentar, justru ada seringai bahagia.

Gema menangkap ekspresi itu. "A-apa dia tidak kesurupan?!"

Cyteria mengomel, merutuki perbuatan Gema. Menyalahkan gadis itu karena menyampaikan keinginan di waktu dan tempat yang salah. Kalau saja Gema mau bersabar dan membicarakan hal itu di rumah, mungkin saja tidak akan begini jadinya. Akan ada Papa Wi sebagai tameng, pelindung diri dari orang gila seperti Enrda. Terjadilah perdebatan antara Gema dan Cyteria.

Saking kencangnya laju mobil, Gema sampai merasa punggungnya lengket ke kursi. Tangan kebas, mencengkeram sisi. Mulut bergerak mencla-mencle, kadang persis seperti kambing menyengir. Bodoh amatlah soal menjaga kecantikan! Terpenting saat ini hanya satu yaitu selamatnya jiwa dan raga!

***

Kasihan kali Gema, ya. Wkwkw
Yuk, vote. Vote itu GRATIS. Yang bayar itu makan di warung.

Am I a Villain?! (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang