Teruntuk pembacaku yang baca 5a, maaflah kemarin kebanyakan. Salahku. 🤣🤣. Jadi mungkin kalau baca 5b akan merasa "eh, kok sama." Jawabannya memang sama. Mohon mangap lahir cuan, ya. Wkwk.
Ini juga ada perombakan biar enggak ada plot hole di antara kita. Eak
✨✨✨
Kalau saja aku tidak dijemput oleh supir Papa Wi, mungkin aku takkan memakai jaket di bawah amarah Matahari seperti ini.
Karena tidak tahu jalan, Gema sempatkan mampir ke warung penjual gorengan. Lumayan juga untuk mengisi perut keroncongan. Mengingat dia tidak bisa pergi ke kantin tadi, tapi pergi ganti rok karena ketahuan bohong oleh Enrda. Berganti pakaian, sih hanya butuh beberapa detik, tapi ceramah pria itu yang membuatnya kehabisan waktu istirahat."Bu, wecinya berapa?" tanya Gema setelah meneliti ada gorengan apa saja. Ternyata tinggal satu jenis.
"Weci apa?" Si penjual balik tanya seraya mengerutkan kening. "Peci?"
Gema mengambil satu buah gorengan dan menunjukkan pada ibu warung. "Ini, Bu?"
"Oh, bakwan sayur. Seribu, Nak."
Indonesia memang memiliki sebutan beragam untuk satu jenis makanan. Contohnya bakwan sayur ini. Gema sering menyebutnya weci. Lain lagi untuk Arzakuna, lelaki itu menyebutnya uci-uci. Sedang Teja menamakan ote-ote. Padahal sama semua.
Gema mengangkat gelas, menempelnya pada bibir lalu ... tidak jadi karena ada semutnya. Teh-teh ini sudah tersaji meski tak ada pembeli. Mungkin jam segini lazimnya banyak pekerja pabrik datang kemari, hingga si Ibu sudah menyiapkan menuruti kebiasaan.
"Mau riset, Bu," kilah Gema berbohong. "Ada tugas dari sekolah mengenai keadaan tempat-tempat transportasi. Jadi harus turun langsung ke lapangan." Ilmu mengarang memang sangat berguna, karena dia datang pada waktu yang kadang-kadang tepat. Seperti sekarang. Gema membanggakan diri dalam hati.
Senyum ramah merekah dari bibir si Ibu. "Oalah, Ibu kira kamu mau kabur dari rumah."
Gema meringis mendapati tebakan Ibu itu sebenarnya benar. Opsi terakhir dari babak tiga misi kabur adalah naik pesawat, pergi keluar negeri dan tak perlu balik kemari. Ya, itu berlaku jika kabur menggunakan dua alat transportasi sebelumnya, tidak berguna dan masih bisa membuat Gema ditemukan oleh para protagonis.
Gema mendorong kursi plastik. Membungkus bakwan yang tak kunjung dingin. "Jadi semua berapa, Bu?" Tangan sudah siap merogoh saku kemeja, tapi membeku tepat saat mata menangkap penampakan Nalendra yang berjalan longak-longok di jalan depan sana. Gema segera berjongkok, was-was. Jantungnya berloncatan.
Dalam benak, Gema mencari jalan keluar agar bisa kabur dari sini tanpa ketahuan.
Suara si Ibu mengagetkan. "Kamu kenapa, Nak? Uangnya jatuh?"
"I-iya, Bu." Gema terbata. "A-anu, Bu. Boleh saya menumpang ke kamar mandi?"
"Boleh," kata Ibu, "lewat sini." Beliau mengarahkan jalan di belakangnya.
"Terima kasih, Bu. Oh, iya," Gema sempatkan memberi pesan, "kalau nanti ada lelaki baju SMA seperti saya bertanya mengenai seorang gadis datang kemari, bilang saja Ibu tidak pernah melihatnya. Soalnya itu mantan pacar saya yang ketahuan selingkuh, tapi memaksa balikan."
Si Ibu mengangguk-angguk agak bingung. Mungkin efek dari perkataan Gema yang terlampau cepat. Setelah mengatakan hal itu, Gema masuk dan menemukan sebuah bilik kecil berisi kloset jongkok dan timba plastik ukuran sedang.
Menutup pintu, Gema menajamkan pendengaran. Menangkap semua suara yang bisa didengar. Samar, tapi masih bisa diidentifikasi, Nale menanyakan kedatangan seorang gadis bermata hazel ke warung ini.
Jantung berdentum hebat, sedikit mengganggu penangkapan gelombang suara. Namun, begitu terdengar kalimat, "Oh, tidak ada ya, Bu. Baiklah. Terima kasih. *Monggo."
Kelegaan menyebar ke seluruh energi. Gema bisa tenang untuk saat ini. Dia keluar dari toilet, mengintip hati-hati. Dirasa tak ada lagi keberadaan Nale, gadis itu mendekati ibu pemilik warung.
Seraya mengulurkan uang berwarna merah gambar Ir Soekarno, Gema berterima kasih.
"Memang orang ganteng itu mudah selingkuh. Mentang-mentang cakep, sih," gerutu si Ibu sambil mencari uang kecil di laci. "Nanti kalau sudah dapat karma, baru tahu rasa! Seperti tetangga sebelah, sering julid mulutnya sekarang kena santet."
Sungkan dan merasa bersalah telah membohongi Ibu warung yang baik hati, Gema jadi tak enak. "Tidak usah kembalian, Bu. Buat Ibu. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih." Kalimat terakhir bernada bisik.
Awalnya si Ibu menolak, tapi akhirnya karena niat Gema begitu tulus, beliau menerima. Malahan Gema dibungkuskan beberapa gorengan.
Hati dipenuhi bunga-bunga. Dan rasanya hidup tak ada beban. Gema menyukai kehidupan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I a Villain?! (TAMAT)
HumorAku, sih, yes kalau dikerubung banyak cogan, tapi BIG NO kalau dikerubung untuk dibunuh! ~Gema Nasib orang kejam pasti dapat karma. Karmanya tak main-main pula. Masuk ke novel buatan sendiri sebagai penjahat yang berakhir mati. Eh, semesta sedang b...