Double up, sebagai ganti ucapan maaf karena jadwal up-nya kacau. Ahahaha. Maaf, maaf.
🌟🌟🌟
Namun yang ada, yang katanya dikhawatirkan, tidaklah terjadi. Pemandangan aman luar dengan langit biru serta cicit burung dari beberapa pohon terdengar.
"Jadi jendelanya normal?" Eknaht menjulurkan kepalanya keluar. Menengok kanan kiri. "Ini benar-benar normal. Jendela ini milik kelas kita. Dan di samping, kelas 12 IPA 7."
Ishan sepertinya penasaran juga. Dia membuka jendela yang lain dan menjulurkan kepala keluar. "Kamu benar, Naht. Jendela aman, tidak seperti pintu."
"Jadi, yang terpengaruh kekacauan dimensi ruang hanya pada pintu." Enrda juga mengikuti kelakuan muridnya. Membuka jendela lain dan mengeluarkan kepala. "Kita bisa saja lewat jendela. Tapi kita di lantai tiga. Jarak ke tanah bisa memecahkan kepala dan meremukkan tulang bagi siapa saja yang jatuh ke sana. Konsekuensi sama berbahayanya dengan menghadapi para makhluk."
Penjelasan itu meruntuhkan binar semangat di mata Ishan yang tertangkap Gema. Pastinya harapan lelaki itu terjun bersama imajinasi hasil keterangan Enrda.
"Lalu bagaimana kalau kita mencoba melubangi sedikit kaca-kaca di sana?" usul Gema, menunjuk jendela permanen.
"Lucu." Ishan melirik tajam. "Dengan cara apa? Menusuknya dengan pensil? Jangan bercanda!"
Tidak ada yang tidak mungkin selama otak memiliki daya kreatifitas. Gema mengulurkan tangan, meminta.
"Apa?" Ishan heran. Eknaht dan Enrda tak kalah heran.
Eknaht yang sepertinya mewakili pikiran ketiga lelaki itu. "Apa kamu benar-benar akan menggunakan pensil untuk melubangi kaca?"
Tentu saja tidak. Gema menggeleng. "Siapa di antara kalian yang punya korek api?" Gadis itu tidak mau langsung meminta pada yang pasti membawanya. Ditakutkan akan ada pertanyaan serta kecurigaan mengarah padanya. Meski mata memang sungguh terlalu. Melihat lebih lama pada yang punya.
Eknaht. Lelaki itu bergeming, tak acuh dan malah menghindari tatapan dengan memandang ke Ishan dan Nalendra.
"Di saat kepepet, anak itu menolak kerja sama. Memang, ya, minta dijitak." Cyteria kumat menyinyir. "Sini biar kuberi pelajaran dia."
"Sabar. Bukan waktunya dan jangan ada pertengkaran. Kita dalam misi menyelamatkan dua orang." Suara Gema seketika tercekat setelah mengatakan 'menyelamatkan dua orang'. He! Bagaimana dengan tokoh-tokoh lainnya? Mereka selamat atau tidak, Gema tidak tahu bukan? Apa mereka tidak pantas diselamatkan juga?
Mendadak, Gema mengkhawatirkan semua tokoh-tokoh yang diciptakannya.
"Ada berapa memang?" tanya Cyteria.
"Belasan, bahkan bisa puluhan jika kuhitung tokoh-tokoh yang sekadar lewat untuk mengisi cerita."
Degup jantung histeris takut. Otak langsung kosong dan dipenuhi kepanikan akan gambaran-gambaran mengerikan. Dicabik, dicincang, dirobek, dimakan.
"AAA!!"
Gema berteriak. Segera merenggut kerah baju Eknaht. Bodoh amat dengan konsekuensi dicurigai. Gadis itu harus segera bertindak. Tidak ada waktu berpikir. Cukup laksanakan.
"Cepat berikan koreknya. Jika kamu lebih memilih Sajani tewas, maka teruslah menyembunyikan benda itu selamanya!"
Mata Eknaht melebar. Buru-buru memberikan korek yang berada di saku celana. Tidak bertanya apa-apa. Mungkin juga dia syok melihat Cyteria berubah beringas.
Gema membongkar korek apinya. Memodifikasi sedikit pada bagian pemantik dan memasangnya kembali. Kini dia sudah berdiri di depan jendela. Mengarahkan korek api ke kaca. Mengorek-ngorek dengan gerakan melingkar, sampai tercipta lubang sekecil sedotan. Butuh waktu lama memang, tapi setidaknya ini cara teraman daripada kaca pecah perkara retakan.*
Ketika Gema mengintip dari lubang itu, dia mengumpat. Balik badan. Mengambil kursi dan langsung dilemparkan ke arah jendela.
"SEGERA CARI SAJANI DAN NALENDRA!" perintahnya bak komandan kesurupan. Semua lelaki itu terpaku tidak percaya.
"APA YANG KALIAN TUNGGU?! AYO!" Gema melompat menerobos lubang kaca, tersaruk-saruk di atas pecahannya. Tidak ada makhluk-makhluk di depan sana. Aman.
Enrda yang duluan menyusul, diikuti Eknaht dan Ishan. Lelaki itu menyuruh kedua muridnya berpencar. Sebisa mungkin bersembunyi jika bertemu makhluk.
Eknaht dan Ishan kompak mengangguk. Mereka berpencar saat menuruni anak tangga ke lantai dua. Tidak memilih memakai lift untuk mengurangi resiko tertangkap dan terperangkap.
Enrda mengejar Cyteria. Gema yang berada dalam tubuh Cyteria kebingungan mencari para tokoh-tokohnya.
"Doris, Irene, Zoe, Lois," Gema menyebut nama semua tokoh yang bersekolah di sini. Bagai seorang ibu, dia sangat mengkhawatirkan mereka semua. "Noel, Mutia, Bara, ...."
"Tenang, Gem!" Seruan Cyteria terdengar. "Kamu harus fokus."
"Tapi mereka, mereka ...." Air mata berlinang deras membasahi pipi. Sesak di dada memikirkan nasib anak-anak halunya. Memang benar Gema belum menikah apalagi melahirkan, tapi setiap dia membuat sebuah karakter, perlu berhari-hari untuk menciptakan mereka agar di mata pembaca, karakter itu terasa hidup. Tidak mudah. Dan sekarang, mereka benar-benar hidup. Bisa disentuh, didengar, dan dilihat dengan mata kepala secara langsung.
Baru akan berbelok di selasar, lengannya ditarik seseorang dan langsung dibawa masuk ke ruangan. Mulut Gema dibekap. Dia memberontak, tapi begitu suara pelaku terdengar ....
🌟🌟🌟
AREA WAJIB VOTE.
HABIS BACA WAJIB VOTE.
VOTE ITU GRATIS KAWAN.😚😚😚
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I a Villain?! (TAMAT)
HumorAku, sih, yes kalau dikerubung banyak cogan, tapi BIG NO kalau dikerubung untuk dibunuh! ~Gema Nasib orang kejam pasti dapat karma. Karmanya tak main-main pula. Masuk ke novel buatan sendiri sebagai penjahat yang berakhir mati. Eh, semesta sedang b...