33 B

81 14 0
                                    

Adakah yang masih stay cool di sini? Awok. Selamat ya udah setahun lebih lo karya ini wkwkw. Kalian daebak banget wahai pembaca, menunggu dengan sabar sekahli. Ya salam.

🤣🤣👍👍

Luar biasa. Sabarnya ditambahin ya. Soalnya masih ada buanyak bab-nya.

Di Karyakarsa udah tamat dan murah kok guys. Cuma 4 k doang bisa dapat 3 Bab yang setara dengan 9 Bab WP. Yang kalau dihitung waktu tuh sama dengan dua bulan nunggu up. Wkwkw.

🤭🤭🤭

Ya udah selamat membaca semua. Semoga bahagia hari ini dan selamanya. 😘

◦•●◉✿ 𝑺𝒉𝒊𝒎𝒂 𝑱𝒊𝒘𝒂𝒏𝒕𝒂 ✿◉●•◦

Pupus sudah. Semangat Gema hancur oleh dua spekulasi barusan. Semua yang diterangkan itu benar. Jadi permasalah pertama mengenai bagaimana cara Gema bisa langsung ke toilet, kembali harus dipecahkan lebih dahulu. Situasi yang tidak menguntungkan. Saat kebelet, masih harus mencari cara agar bisa menemukan pintu yang mengarah pada toilet.

“Tunggu sebentar.“ Langkah Gema terhenti disebabkan sebuah gagasan melintas kilat di otak. “Ada empat toilet yang berada di lantai bawah, yang mana aku bisa lewat jendela dengan aman. Kalau begitu aku akan ke toilet bawah saja.“

Ada hal-hal yang kadang terlupakan ketika seseorang begitu terfokus pada satu tujuan. Hal itu terjadi pada Gema. Dia lupa bahwa para makhluk terus berkeliaran dan semakin berbahaya di malam hari. Begitu dia membuka pintu ruang musik, satu makhluk menoleh tepat ke arahnya. Darah dalam tubuh Gema seketika membeku. Amnesia dengan cara menyelamatkan diri alias lari.

Nalendra yang berada di belakang, langsung mengambil alih, menyenggol Gema agar minggir dan menutup pintunya. Selagi Nale melakukannya, Endra tak tinggal diam. Lelaki itu menggeser meja satu-satunya yang ada, untuk menghalangi makhluk itu berhasil memasuki ruangan. Keduanya kompak bekerjasama dan sekuat tenaga menghalangi kekuatan brutal akan makhluk yang menggedor pintu.

Gema yang tadi disenggol kasar, kini berposisi duduk bagai anak yatim yang baru saja didorong oleh ibu tiri yang kejam. Degup jantungnya berdenyut hebat. Matanya konsisten membelalak, pun dengan mulut yang menganga.

“Aku akan mati lagi.“ Gema berkata lirih. Diangkatnya kedua telapak tangan. Gemetar saat dicoba mengepal.

“Kita. Bukan hanya saja kamu.“ Cyteria sekonyong-konyong mengambil alih tubuh. Bagai film yang diulang, tindakan Cyteria sama dengan tindakan seperti di perpus tadi. Dia pecahkan jendelanya dan lari!

Melihat itu, Nale dan Enrda tak bisa menahan untuk tidak mengejar. Mereka biarkan pintu hanya diganjal meja. Mungkin sudah teramat bodoh dengan konsekuensi nanti. Barangkali di pikiran keduanya, lebih penting mengejar Cyteria daripada mempertahankan keselamatan diri.

Cyteria berlari tunggang langgang. Ke mana arah tujuan, kosong. Dia hanya mengikuti insting hati. Terus berlari. Kalaupun ada makhluk, dia akan berbelok ke selasar lain yang tampak aman. Terus berlari sampai akhirnya tidak ada jalan tuk kembali. Di depan hanya ada kebuntuan, sementara di belakang, para makhluk ternyata mengikuti suara derap kakinya, hingga berkumpul siap menerkam.

Langkah mundur dengan jantung yang semakin bergemuruh, Cyteria merapatkan diri ke dinding di belakangnya.

Bukan waktunya hanya pasrah, Cyteria!“ Gema bersuara dalam benak. “Kita bisa rusak jendela kelas itu, dan kabur melalui pintunya.“

Kalimat Gema membangunkan keinginan hidup Cyteria. Tanpa alat, tanpa benda, tapi menggunakan punggung, Cyteria menerjang dan menghancurkan kaca jendela. Kulitnya tergores oleh serpihan beling. Namun, cepat dia bangkit dan mengabaikan semua. Dengan cekatan, dia berlari ke pintu dan memutar kenop. Matanya membola liar.

“Sial!“ umpatnya. Pintu yang diharapkan menjadi jalan keluar ternyata macet dan tidak bisa dibuka. “Ayolah! Terbukalah!“

Tergiur untuk mengecek ke belakang, Cyteria menoleh dan langsung disesalinya. Kegugupan, kebingungan, ketakutan bercampur mengontaminasi akal sehat. Keringat mengucur deras, gemetar semakin menjadi.

“Apa yang harus aku lakukan, Gema?“ Suara Cyteria bergetar. Dia sangat takut. Gema dalam diri pun tak kalah takut. Otaknya mendadak tumpul tuk berpikiran jernih.

Ketika rasa pasrah kembali menyerang, seberkas harapan datang. Suara dua orang berteriak masuk ke gendang telinga. Nalendra dan Enrda, mengarahkan ketapel ke arah makhluk dan menyerang dengan bulatan ketannya. Satu persatu makhluk tumbang, mengejang di tempatnya rubuh, kemudian berubah wujud menjadi manusia.

Mata Cyteria berkunang-kunang. Genangan air mata mengganggu penglihatan. Tubuhnya jatuh pingsan. Entah siapa yang menangkap tubuhnya, tapi yang jelas Cyteria tidak merasakan ubin dingin.

Melihat situasi itu, Gema mengambil alih kembali. Mata milik Cyteria langsung tersadar dan mendapati tubuh ini ditangkap oleh Enrda dan Nalendra. Enrda di sebelah kanan, sedang Nalendra di sebelah kiri.

“Kamu tidak apa-apa?“

“Jangan bertindak bodoh.“

Setelah membantu Gema duduk dan bersandar pada daun pintu yang setia menutup, kedua lelaki itu berangsur mundur dan menjauh sekitar dua puluh senti.

Penampilan Nalendra yang paling menonjol karena terpasang kacamata membingkai mata.

Belum bertanya, Gema sudah mendapat penjelasan dari Enrda.

“Kami dari ruang guru. Lalu secepatnya mengejarmu.“

“Kenapa kamu harus bertindak sebodoh ini? Tidak tahu kah kamu bahwa—.“ Ucapan Nalendra terputus oleh dirinya sendiri. Lelaki itu memilih menggigit bibir bawahnya, terlihat menahan amarah. Mungkin kalau ibarat gunung, Nalendra sudah seperti gunung berapi siap letus, hanya saja ditahan.

Bukan Gema yang menggerakkan tubuh ini, melainkan Cyteria. Tapi mengulang penjelasan yang sama tidak bisa jadi acuan agar kedua lelaki ini percaya. Ujungnya, Gema mengaku salah.

“Aku minta maaf. Maaf atas semua tindakan yang menyeret kalian dalam masalah besar ini. Andai kata aku bisa kembali ke dunia asal, pastilah kan kuubah jalan cerita ini menjadi romansa biasa.“

“Kamu mengatakan hal itu lagi. Sampai kapan kamu akan membual?“

🌟🌟🌟

Bintangnya mana? Terima kasih yang sudi memencetnya. 😘

Am I a Villain?! (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang