6a

580 70 0
                                    

Bab 6. Cyteria Laura

Dia yang cantik tak bisa mengalahkan kejelekan rupamu, maka berbanggalah.

✨✨✨

"Jadi bagaimana, Dok?"

"Hanya butuh istirahat yang cukup. Kemungkinan besar terserang dehidrasi karena kurangnya asupan mineral." Dokter Mia memasukkan stetoskop ke dalam tas. Tersenyum pada Papa Wi yang tampak masih begitu resah. "Bapak jangan risau, putri Bapak baik-baik saja. Baiklah kalau begitu, saya permisi pamit."

Papa Wi memberi isyarat pada Slamet untuk mengantar Dokter Mia, setelah mengucap terima kasih. Dilihatnya sang anak menatap kosong pada bayangan diri ke layar televisi di hadapan.

"Kamu mau sesuatu, Sayang?" tanya Papa Wi sambil mengelus puncak kepala Gema. "Apa Papa panggil Enrda kemari?" Beliau berdecak menyesal. "Kenapa juga Papa malah membiarkannya pergi sementara kamu belum sadarkan diri tadi."

Gema menepuk pundak Papa Wi pelan. Dan menggeleng pelan. "Aku ingin istirahat, Pa." Dipaksa sebuah senyuman terbit, meski sebenarnya itu sangat sulit.

Papa Wi paham, lantas meninggalkan anaknya.

Begitu terdengar derit pintu ditutup, Gema menyingkap selimut berbulu domba, lanjut loncat dari ranjang empuk dan menuju cermin rias berbingkai emas. Menghadapi Cyteria yang asli.

Gema berdeham, meminta perhatian Cyteria yang sekarang malah sibuk memandangi kuku-kukunya dan duduk di kursi bagai tuan putri jemawa.

Dalam cermin, Cyteria menatap sekilas Gema, "Duduklah. Apa kamu tidak lelah setelah berlarian ke sana kemari mencari peluang kabur?"

Awalnya gengsi harus menuruti seseorang yang menghambat kebebasannya, tapi akhirnya Gema duduk. Bukan karena jadi penurut, hanya saja tetiba kaki kesemutan.

"Kenapa kamu menghalangiku?" Gema tak menggunakan nada ramah untuk bertanya. Tak sudi juga jika bersikap layaknya teman.

"Bukan karena aku," tolak Cyteria. Memasang wajah polos. "Tapi karena kamu tidak bisa mengelak takdir, Gem." Lantas mengulurkan tangan dan meletakkan telapak di atas sebuah buku yang Gema yakini adalah buku harian. "Bacalah buku ini. Dan pahami dosa apa yang kamu lakukan padaku."

Buku itu terletak di samping kiri, di bawah kotak akrilik bening tempat parfum-parfum dengan keharuman yang sama. Harum cytrus yang berkombinasi dengan anggrek.

"Memang apa yang aku lakukan padamu?" sangkal Gema, berpura-pura amnesia tertabrak jendral nyamuk.

Keluar decakan dari bibir Cyteria, tapi tak ada kata yang tercipta sebagai sanggahan. Dia hanya terus menepuk buku harian itu.

Gema, meski enggan, mengambil buku itu dan mulai membuka halaman secara acak.

Aku yang bodoh. Mengabaikan pengakuannya yang tidak mencintaiku.

Tentu Gema tahu pada siapa kalimat ini dimaksudkan. Enrda, siapa lagi? Cyteria teramat bucin oleh lelaki itu. Alasannya apa, ya, dulu? Astaga, agaknya Gema harus pergi ke tukang pijat otak, agar dirinya tak terserang pikun muda.

"Kenapa kamu bucin dengan Enrda?" Mulut memang kadang-kadang. Lihatlah, padahal niat hanya diucapkan dalam hati, tapi malah keluar begitu saja.

Cyteria menahan tawa. Gema, percayalah. Meski kamu tidak mengatakannya secara terang-terangan, aku bisa tahu karena kita berada dalam satu tubuh.

Pantulan Cyteria di cermin, tidak  menggerakkan mulutnya, seketika menyadarkan Gema bahwa takkan ada rahasia di antara mereka.

"Lalu kenapa aku tidak bisa membaca pikiranmu?" Entah mengapa Gema seolah dipermainkana anak muda di depannya.

Cyteria menempelkan jari telunjuk ke bibirnya yang tipis.

"Apa maksudmu melakukan gerakan itu? Kamu meny ..." Gema menghentikan perbincangan saat Cyteria berdiri dari duduknya dan mendekati pintu. Ada bayangan yang tertangkap dari celah bawah pintu, yang berarti ada seorang penguping.

Gema beranjak. Walau jantung berdetak tak karuan karena takut kalau-kalau itu adalah ninja pembunuh yang disewa —mungkin— oleh para protagonis, dia tetap saja mendekati pintu dan langsung membukanya tanpa hitungan aba-aba.

Dua tubuh berdebum, menghantam lantai.

✨✨✨

Hemm kira-kira siapo seh?

Am I a Villain?! (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang