18 A

218 30 11
                                    

Bab 18. Sajani Kencan, Gema jadi Satpam

Lebih enak mana:
Jadi nyamuk atau
Jadi obat nyamuknya?

***
Gema tidak pernah menyangka jika balasan dari pesan singkat berupa "Ayo kencan", akan ditanggapi cepat oleh Enrda. Lelaki itu tidak menolak dan langsung muncul lima belas menit kemudian di ruang tamu, meminta izin pada Papa Wi untuk mengajak anaknya pergi. Lebih aneh lagi bahwa Enrda membawa motor vespa alih-alih mobil sebagai alat transportasi.

Gema duduk di boncengan, memakai helm bogo, dan tangan berpegangan ke pinggiran jok. Suasana ini lagi-lagi mengingatkannya pada saat-saat pergi dengan Arzakuna. Ya Tuhan! Banyak hal yang semakin membuatnya rindu akan sosok sahabatnya itu. Kalau boleh, dan kalau bisa, Gema ingin menyampaikan sesuatu untuk Arzakuna. Sebuah rahasia yang selama ini dia pendam dan tak berani mengutarakan.

Tak sampai sepuluh menit, mereka berdua sudah sampai di taman dekat stasiun. Gema melirik jam. Tidak terlambat, tapi justru terlampau cepat. Kurang sepuluh menit menuju waktu perjanjian.

Saking bingungnya, Gema sampai tidak sadar jika belum melepas helmnya.

"Jangan gugup," kata Enrda. Kedua tangannya terulur, membantu mencopot pengunci tali helm. "Kita hanya akan jalan-jalan dan makan sesuatu nanti."

Jantung Gema berdetak normal. Aman. Tidak ada perasaan aneh terhadap laki-laki ini. Memang benar. Tapi masalahnya ada detak jantung lain yang berdebar hebat tak karuan hingga rasanya ingin meledak. Gema tahu milik siapa.

"Cyteria, are you oke?"

"I'm not. Jantung sialan. Kukira setelah merasakan dibunuh ribuan kali oleh lelaki ini, aku akan sangat membencinya."

Sepertinya monolog yang ditulis Gema untuk Cyteria, sangat mempengaruhi gadis itu. Begini isinya,

"Menanti orang yang salah hanya membuang-buang waktu. Tapi masalahnya aku tidak bisa berpaling. Jantung di dada seolah tahu pada siapa harus berdebar. Pada siapa rasa ini pantas dilabuhkan. Meski tangis harus diperas setiap hari. Meski berujung pada cinta bertepuk sebelah tangan." Cyteria mengerang. Air matanya berjatuhan, merembes ke bantal. "Aku yang bodoh mengabaikan pengakuannya yang tidak mencintaiku."

Adegan ini berefek dengan naiknya komentar umpatan.

@BuangUpil: Rasain. Makanya jadi cewek itu jangan jahanam.

@Martabak_Mertua: Lo pikir gue bakal berempati? Ogah banget.

@Ibutiri01: Makanya kalau dikasih tahu itu jangan minta oncom. Sakit hati kan?

Dan sederet ejekan lainnya. Gema tidak terlalu menggubris, tapi reaksi Arzakuna tidak suka.

"Kamu tidak marah ketika karaktermu dihina seperti ini?"

Gema melirik Arzakuna sekilas sebelum disibukkan lagi dengan mengikir kuku. "Tidak. Kenapa aku harus sakit hati? Mereka hanya tokoh fiksi, bukan keluargaku."

"Tapi Cyteria itu tokoh yang kamu buat. Dia hasil pikiranmu."

Dengan santai, Gema menaruh gunting kuku lalu mengambil ponsel miliknya dari genggaman Arzakuna. "Kamu terlalu membesar-besarkan masalah. Yang penting itu, karyaku laku dan menghasilkan uang. Kalau mereka mau menghina, ya terserah mereka."

Arzakuna mendesah lelah, kemudian pergi begitu saja dari rumah Gema.

Kembali ke masa sekarang. Di hadapan Gema bukan Arzakuna, tapi Enrda. Gadis itu harus bisa mengulur waktu sampai Sajani tiba. Sekarang pertanyaannya: Apa yang harus dilakukan Gema dalam waktu sepuluh menit ini tanpa membuat Enrda bosan dan mengajak pulang?

"Mungkin kamu bisa mengajaknya bicara." Cyteria mengusulkan.

Baiklah. Hanya ada satu tema pembicaraan yang takkan membuat Enrda bosan. Ya, soal Matematika.

"Pak, aku boleh bertanya sesuatu?"

Kini keduanya berjalan. Melewati lampu-lampu taman warna putih dan kuning secara bergantian. Cahayanya berpendar menerangi beberapa tanaman di dekatnya. Menghasilkan efek halo bak sinar dari surga.

"Jika kamu bertanya tentang perasaan, maka jawabannya tetap sama meski sekarang kita sedang berkencan."

"Dasar lelaki tidak punya hati," geram Cyteria. Gema tidak bisa mengontrol bibirnya bergerak mengikuti ucapan Cyteria.

"Aku sudah bilang. Tentang kita yang tak seharusnya bersama, tapi keadaanlah yang memaksa kita."

Gema sangat tahu itu. Alasan yang menjadi latar belakang pertunangan ini ada. Akan tetapi jika membahas hal itu sekarang, ditakutkan suasana akan keruh seperti air kobokan. Jadi, gadis itu buru-buru bertanya tentang rumus Diventri.

Enrda berbinar. Semangatnya tumpah ruah. Gembira saat menjelaskan rumus Matematika tersulit di dunia. Ada kebanggaan di sela-sela itu semua.

Gema hanya menangkap beberapa kata: time-independent, variabel, dan kompleksitas. Sisanya menguap ke udara. Tidak masalah. Dia tidak peduli juga dengan penjelasan itu. Yang penting niat sudah tercapai. Mungkin membosankan bagi Gema, tapi tidak untuk Enrda. Sekarang tinggal menghitung mundur menuju pertemuan.

Sepuluh menit berlalu secepat kilat. Netra Gema memantulkan sosok yang ditunggu-tunggu. Sajani dan Ishan sudah tiba. Agaknya Sajani dirundung gugup.

Gema menunggu momentum kabur. Dia sengaja memperlambat langkah, lalu mundur secara teratur, membiarkan Enrda berjalan di depan sana sendirian. Begitu pas, Gema berlari ke sisi semak belukar, bersembunyi, mengendap ke arah Ishan berada.

Pas! Sajani masuk dengan tepat. Memasang wajah pura-pura kaget. Sedang Enrda benar-benar kaget. Lelaki itu bertanya sedang apa Sajani di sini? Dan ketika Sajani menjelaskan, Enrda justru menoleh ke belakang. Langsung tampak panik.

Gema mengambil ponsel pintarnya, mengetik pesan singkat ke Enrda.

"Apa yang kamu ketik?" tanya Ishan dengan sikap waspada.

***

Shima takkan bosan bilang, Karya ini ada di Karyakarsa. Jika ada yang ingin membaca lebih cepat plus memberi dukungan agar Shima rajin bekerja naik bantal istimewa, silakan mampir ke sana. Cari saja akun Shimajiwanta.

Murah, kok. Lebih murah daripada kasih pengamen di rumah wkwk.

 Lebih murah daripada kasih pengamen di rumah wkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Am I a Villain?! (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang