33 A

70 11 0
                                    

Bab 33. Kentut Yang Hilang Tak Pernah Dicari Pemiliknya

Buanglah gas pada tempatnya.
Yaitu di depan umum.
Lumayan mendadak famous.

***

Duuuuttt, tut, tut, tut, duuut .... Bernada bagai suara seruling meleyot-meleyot.

“Siapa kentut?!“

“Kenapa kamu melihatku? Aku tidak kentut.“

Suara Nale persis seseorang yang terkena pilek, Enrda pun sama. Pasti keduanya sedang menutup hidung tuk melindungi polusi udara yang super menyengat ini.

Gema mendengar saja. Gadis itu tak melihat sebab tengah berdrama jadi putri tidur yang tengah butuh kasih sayang. Bisa gawat juga jika dia memilih bangun. Nanti pasti akan dituduh mengeluarkan bunyi layaknya seruling rusak seperti tadi.

“Kan memang kamu yang kentut.“ Di saat yang terkadang tidak tepat, entah kenapa Cyteria selalu muncul. Contohnya sekarang. Dia berkata itu dengan suara lahiriah, yang tentunya dapat didengar duo cowok di belakang Gema.

Dalam hati Gema merutuk dan mengutuk Cyteria. Cyteria bukannya takut malah menanggapi dengan tawa.

“Apa kamu yang kentut, Cyteria?“

Kesempatan, pikir Gema. Gadis itu memutar tubuh, masih setia berakting bak putri baru bangun karena terganggu oleh suara kodok bergaduh.

“Apa, sih, kalian ribut sekali?“

“Kamu kan yang kentut tadi?“ Nalendra menegaskan pertanyaan.

“Siapa?“ Sok tak tahu. Gema wajib mempertahankan wajah khas manusia mengantuk.

“Kamu, Cyteria.“

“Bukan.“ Satu kata sanggahan, tak perlu ditambah dengan kalimat lain. Takut keceplosan mengaku. Bagaimanapun juga Gema jujur. Karena bukan Cyteria yang kentut, tapi dirinya. Tidak ada kebohongan. “Aduh, gara-gara kalian aku mendadak ingin ke toilet.“ Mengenai hal ini, Gema memang terserang kebelet.

“Nah, kan!“ seru Nale. “Kamu pasti mau buang air —”

“Kecil.“ Cepat Gema sambar kalimat sebelum Nale berhasil melengkapi ucapannya. “Aku mau buang air kecil.“ Gadis itu sudah akan turun dari kursi tepat ketika Nalendra bangkit dari duduk. “Kamu mau ke mana?“ Ditatapnya cowok itu dengan horor.

“Mengantarmu tentu saja,” jawab Nalendra santai.

Mulut Gema otomatis mangap layaknya ikan gurami terkejut bisa ditangkap.

“Kamu juga mau ke mana?“ Semakin melotot saat Endra ikut-ikutan berdiri dan berjalan mengekor Nalendra.

“Sama seperti Nalendra. Mengantarmu. Kita tidak bisa membiarkanmu masuk ke toilet yang mana pintunya masih bermasalah dengan kekacauan dimensi ruang.“

Apa yang dikatakan Enrda memang benar, tapi masa iya Gema harus ke toilet dan diantar dua cowok?! Tidak bisa! Bagaimanapun juga sebagai kaum hawa, Gema merasa privasinya terganggu dan ternodai.

“Tidak jadi! Kalian membuat kantong empeduku ambeien.“ Gema seketika kembali rebah dan memunggungi keduanya. Kesal bukan main. Dia merasa dilecehkan dengan ucapan mereka.

“Jangan menunda buang air kencing. Bahaya.“

Gema mencebik, mengabaikan ucapan Enrda barusan. Bagi gadis itu, lebih baik memendam kebelet, ketimbang harus diantar kedua cowok kurang akhlak.

“Bodoh amat! Aku mau tidur. Kali saja di dalam mimpi ada toilet bebas lelaki mesum macam kalian.“

Tanpa terlihat oleh mata Gema, keterkejutan menghiasi wajah Enrda dan Nalendra. Kedua lelaki itu saling pandang, kemudian salah tingkah sendiri. Enrda menggaruk kening sementara Nalendra menggaruk tengkuk.

Enrda yang bersuara lebih dulu. “Maaf, aku hanya berpikir bahwa kamu bisa saja hilang setelah memasuki toilet gara-gara pintu. Dalam situasi seperti sekarang, kita tidak bisa berpencar. Sekali lagi maaf.“

Gema tetap tak acuh. Kemarahannya mencapai ubun-ubun.

Terdengar suara desah tanda frustrasi. “Aku juga minta maaf. Tetapi—ah, sudahlah! Memberi pembelaan sekarang ini juga tidak bisa dianggap benar.“

Hening. Tidak ada lagi suara. Gema pun tetap pada pendirian, tidak menerima omongan. Namun, memang dasar panggilan alam, mana mau disuruh menunggu.

“Padahal aku tidak makan atau minum, tapi yang namanya buang hajat kenapa mesti ada!“ Gema terduduk. Menjeling pada kedua lelaki itu secara bergantian. “Kalian bisa mengantarku dengan syarat kalian juga masuk ke bilik lain tanpa menutup pintu. Astaga! Aku tetap merinding telah mengatakan hal itu.“ Ingin menangis saja kalau begini.

Permasalahan lain datang. Gema tidak yakin bahwa pintu toilet akan mengarah ke toilet. Perlu diingat bahwa semua pintu rusak. Ya, kecuali lewat jendela. Selaras dengan tanggapan diri sendiri, Gema berbalik dan menampilkan senyum kemenangan. Mendadak idenya muncul.

“Kalian tidak perlu ikut ke toilet, karena aku akan pergi melalui jendela,” katanya bangga.

“Tidak bisa.“

“Jangan ngaco.“

Dua respons bersifat penolakan, meski kata yang digunakan berbeda. Gema menggeram. Gadis itu tak suka jika kedua lelaki ini memiliki tabiat yang menyebalkan.

“Kenapa tidak bisa dan ngaco?“

“Pertama,” ucap Nale sembari mengangkat satu jari, “tidak ada jendela toilet, kecuali jendela itu mengarah ke luar gedung.“

“Kedua,” sambar Enrda, maju satu langkah di samping Nalendra, “kamu tidak mungkin meragang layaknya cicak di dinding mengingat kita di lantai tiga.“

◦•●◉✿ 𝑺𝒉𝒊𝒎𝒂 𝑱𝒊𝒘𝒂𝒏𝒕𝒂 ✿◉●•◦

Selalu tinggalkan jejak, Kawan. Vote mu sangat berharga untukku 🤧 jadi minimal vote lah 🌟

Oh, iya cuma mau bilang.

SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA. TERSEDIA HARGA SATUAN DAN PAKET

Ssstt... pilih paket aja biar lebih hemat. (☉。☉)!→

Am I a Villain?! (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang