Alea sengaja pulang terakhir agar bisa bertemu dengan Dylan berduaan saja. Kalau begini, tiap hari pun tidak masalah jika ia harus berkunjung ke kafe tempat Dylan bekerja.
"Belum pulang?"
Suara seorang lelaki menghancurkan lamunan Alea.
"Dylan." Mata Alea terlihat berbinar ketika menatap lelaki di sisinya.
"Kenapa belum pulang?" tanya Dylan lagi.
"Ingin bertemu dan berbincang dulu denganmu," jawab Alea dengan pipi merah merona.
"Untuk apa? Urusan kita sudah selesai."
"Tapi kau juga yang menghampiri dan bertanya kepadaku."
"Masalahnya, kenapa kau tidak ikut pulang dengan mereka dan duduk sendirian di sini? Bukannya kau sedang diincar oleh para penguntit itu?"
"Karena ada kau," jawab Alea dengan lancar dan tanpa segan.
"Apa hubungannya denganku? Aku juga bukan bodyguard-mu yang akan selalu melawan para penguntit itu. Pulang sana."
"Tapi ponselku mati, jadi tidak bisa menghubungi siapa pun."
"Ada telepon kafe, pakai saja."
"Aku tidak hafal nomor telepon ayah dan ibuku, apalagi Deni," bohong Alea karena ia hafal nomor Devan, Laura, dan Deni— sopir pribadi keluarganya. Ia juga sudah mencatat beberapa nomor yang menurutnya penting di buku catatannya yang selalu ia bawa ke mana pun.
"Kendaraan umum masih banyak."
"Aku tidak berani pulang sendiri, aku tidak ingin kejadian itu terulang kembali," ucap Alea dengan raut wajah sendunya, tetapi Dylan sama sekali tidak tersentuh.
"Ya sudah, sekalian saja jangan pulang." Dylan melenggang pergi ke dapur meninggalkan Alea sendirian.
"Dasar tidak peka!" gerutu Alea yang tidak mungkin terdengar oleh lelaki itu.
Sudah dua puluh menit terlewat dan Alea masih setia menunggu lelaki itu mengantarnya pulang. Sesekali Dylan mengecek ke arah Alea yang masih diam di tempat tanpa melakukan apa pun. Rasanya Dylan tidak bisa fokus bekerja karena terus memikirkan gadis yang sendirian itu.
Baiklah, hanya kali ini saja Dylan berinteraksi dengan Alea lagi. Gadis itu adalah tanggung jawabnya karena hanya dirinya yang dikenal oleh Alea di tempat ini.
Karena sudah lelah menunggu, akhirnya Alea menyerah menunggu Dylan. Belum sempat ia menggerakan tubuhnya, lelaki idamannya itu menghampirinya.
"Mau pulang tidak?"
"Mau!" jawab Alea dengan antusias.
"Hanya kali ini saja aku mengantarmu pulang." Alea mengangguk mengiyakan.
Tentu saja dipertemuan berikutnya Alea tidak akan menyerah membuat mereka berinteraksi secara intens seperti ini lagi.
"Susah sekali naiknya," gerutu Alea ketika kesulitan menaiki motor Dylan yang lebih tinggi dari sepeda motor biasanya. Sementara Dylan hanya menghela napasnya melihat tingkah gadis itu.
"Pegang pundakku," ucap Dylan dengan wajah malasnya.
"Aku izin pegangan, ya."
"Hmm."
Alea lalu mengikuti arahan Dylan dan berhasil menaiki sepeda motornya, lalu gadis itu juga mulai memeluk pinggang Dylan. Tidak hanya itu, ia menyenderkan kepalanya di pundak lelaki itu dan menghirupnya. Harum.
Dylan hanya membiarkan Alea memeluknya demi keselamatan karena dibonceng menggunakan motor sport-nya.
"Pakai ini untuk menutupi pahamu." Dylan memberikan jaketnya karena tidak sengaja melihat paha Alea yang terpampang bebas.
"Terima kasih. Ternyata kau sangat perhatian dan baik hati."
Entahlah, Dylan juga bingung kenapa ia sangat peduli pada gadis yang diboncengnya.
Motor Dylan pun mulai melaju membelah jalan dengan kecepatan sedang.
"Apakah kau dekat dengan Alona?"
Hening. Dylan mendengar pertanyaan Alea tetapi sama sekali tidak berniat menjawabnya.
"Dylan!"
"Diam!"
"Jawab!"
Hening kembali. Alona mengerucutkan bibirnya karena kesal kembali diabaikan, dan pemandangan itu tidak luput dari penglihatan Dylan dari kaca spion.
Gadis ini sangat sok kenal dan sok dekat padanya, pikir Dylan.
"Kenapa kau kabur dari rumah sakit sebelum diizinkan pulang?" tanya Alea, karena ketika dirinya ingin menjenguk Dylan, lelaki itu sudah tidak ada di tempat yang seharusnya.
"Sudah kubilang urusan kita sudah selesai, kenapa kau kembali datang ke rumah sakit?"
"Aku itu gadis yang bertanggung jawab dan tahu diri. Kau telah menyelematkanmu, setidaknya aku merasa khawatir."
Di sepanjang perjalanan, hanya Alea yang bersuara karena Dylan tidak ingin menyahut segala pertanyaan dan ocehan yang ditujukan gadis itu untuknya.
"Ke arah mana?"
"Kanan." Motor pun berbelok ke arah kanan.
"Yang itu!" seru Alea sambil menunjuk gerbang rumahnya.
Dylan memandangi rumah Alea yang mewah. Pantas saja jika orangtuanya memiliki musuh atau hanya sekedar iri dan berniat menjahati keluarga Alea.
"Terima kasih, Dylan," ucap Alea setelah turun dari motor.
"Helmnya."
"Ayo mampir dulu. Aku akan memperkenalkanmu pada Papa dan Mama."
"Helmnya."
"Ya sudah kalau tidak mau mampir, asalkan ada satu syarat." Dylan menaikan alisnya sebelah seolah bertanya "Apa itu syaratnya?".
"Minta nomor ponselmu. Aku janji tidak akan menganggumu dengan pesan tidak jelas. Aku hanya ingin menyimpan nomormu."
Sungguh tidak bisa dipercaya, pikir Dylan.
"Kalau tidak mau, kau harus mampir dulu."
"Tiga sembilan—"
"Eh, tunggu! Aku belum siap." Alea mulai mengeluarkan ponselnya, siap untuk mencatat nomor Dylan.
Ketahuan sudah. Ternyata Alea berbohong tentang ponselnya yang mati.
BRUMM!
"Dylan!"
***
Terima kasih telah membaca 🌷
Jangan lupa berikan vote dengan cara menekan ikon bintang di pojok kiri bawah ⭐️ karena dapat membuatku semangat untuk membuat cerita ini dan mempublikasikannya untuk dibaca semua orang.
Jika kalian membaca cerita ini dengan mode offline, kalian masih bisa memberikan vote karena pada suatu saat kamu online, bintangnya akan otomatis terkirim.
Jangan sungkan berikan komen di setiap paragraf yang memiliki kata-kata yang sulit dimengerti dan berbelit-belit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle
Romance[SEQUEL OF DESTINY] Untuk pertama kalinya Aleandra jatuh cinta pada seorang lelaki misterius yang telah menyelamatkan hidupnya. Walau pemuda itu selalu menghindar ketika mereka bertemu, tetapi Aleandra tidak akan mudah menyerah. Gadis itu akan melak...