32. Graham Family

1.6K 72 1
                                    

Seorang pria tengah duduk di single sofanya sambil memandangi sebuah lukisan besar hasil karya tangannya sendiri. Pria itu juga sedang mengelus-elus kucing betina putih yang berada di pangkuannya.

Di hadapan lukisan besar itu, dirinya mencurahkan segala tentang aktifitasnya atau masalah yang tengah di hadapinya. Lukisan itu adalah obat baginya— Tidak. Lebih tepatnya wanita yang berada di dalam lukisan itu.

"Anak pertama kita menghilang lagi. Apakah aku harus melepaskannya? Merelakan kepergiannya pada pelukan keluarga sialan itu?"

"Jika aku tidak mendapatkan anak itu, ayahku pasti menertawakanku di alam baka sana."

"Kau tahu, dia kelilingi oleh orang-orang yang menarik di Milan. Alea dan Allen. Aku menyukai mereka, aku ingin mereka berada di genggamanku. Tetapi tidak bisa karena Dylan sudah merebutnya."

"Bantu aku, Irene. Aku terobsesi pada anakmu, anak kita." Dominic tertawa karena memikirkan kegilaannya.

"Kenapa wajahnya terlihat sangat mirip denganmu, hm?"

"Dia adalah perpaduan dari kita yang sempurna, bukan?"

"Hei, Irene, kau semakin cantik saat mendatangiku di alam mimpi. Bisakah kau berhenti membuatku jatuh cinta padamu?"

"Kenapa setiap aku meminta maaf kau selalu memaafkanku? Kau seolah-olah aku tidak pernah melakukan apa pun padamu."

Pria itu mengusap-usap cincin pernikahan yang membelit jemari manisnya.

"Kau tahu, salah satu anak kita tidak ada yang tahu bahwa kita telah menikah. Maaf, ya, aku terlalu gengsi. Tetapi perlu kau ingat bahwa aku sangat mencintaimu, Irene."

Setelah dirasa ada yang tidak beres, Dominic lalu beranjak dari duduknya untuk mengambil sebotol obat yang berada di laci meja kerjanya. Ia lalu meminum sebutir obat itu dengan dikunyahnya.

"Irene, kau tahu apa tujuanku saat ini? Ya, dibunuh oleh Dylan."

"Aku ingin mati dibunuh oleh anak pertama kita seperti dirimu."

***

Seorang gadis tengah memandangi sebuah bingkai foto. Di dalam foto tersebut terdapat gambar kedua orangtuanya dan kedua saudara laki-lakinya.

Jika diperhatikan, hanya dirinya yang terlihat bahagia di foto tersebut. Ibunya tersenyum dengan raut wajah sendu dan lelahnya, ayahnya berekspresi datar, begitu pun juga dengan kakak dan adiknya. Hanya saja kakaknya tidak bisa menutupi mata yang dipenuhi rasa sakit dan lukanya.

Diana mengelus wajah kakaknya dengan ibu jarinya. Semenjak kepergian kakaknya itu, ia selalu tidak bisa tidur karena terlalu mencemaskannya. Ya, Dylan adalah malaikat pelindungnya, dari dulu hingga sekarang.

"Dylan..."

"Jangan tinggalkan aku. Aku juga ingin ikut."

"Kenapa kau tidak membawaku?"

Tok tok tok!

Diana segera menghapus air matanya, karena ia sudah tahu siapa yang mengetuk pintu.

"M-Masuk."

Pintu kamarnya terbuka menampilkan David dengan raut wajah dinginnya.

"Sudah dua hari kau bolos les biola dan piano. Jangan jadikan Dylan sebagai alasan lagi. Aku sudah muak mendengarnya."

"Aku selalu latihan sendiri."

MiracleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang