22. Different

1.8K 90 0
                                    

Sudah terhitung sepuluh hari sejak pertemuan mereka yang tak terduga tersebut, Alea dan Dylan tidak pernah berinteraksi atau sekedar berpapasan. Mereka berdua melakukan aktifitasnya seperti hari biasa, hanya saja mereka saling menghindar.

Alea sibuk dengan pendidikannya, dan Dylan sibuk dengan pekerjaannya di kafe dan gerai tato. Setelah pulang dari urusannya, mereka berdua memasuki unit apartemen masing-masing dan tidak pernah keluar lagi seolah mengurung diri.

"Kenapa harus menghindarinya?" monolog Dylan yang tengah melamun sambil berbaring di ranjang.

"Hei, jika kita diberi kesempatan untuk berdekatan lagi, bolehkah aku menyatakan perasaanku? Bolehkah aku memilikmu?"

Ia mengacak rambutnya frustasi karena teringat kata-kata yang pernah ia lontarkan ketika berbicara sendiri pada foto Alea.

"Ternyata tidak semudah berbicara."

"Dia sudah membenciku, lalu apa yang aku harapkan?"

"Apa aku harus menarik perhatiannya agar dia mau bertemu dan berbicara padaku?"

"Bahkan saat itu dia tidak jadi menegurku setelah melihat siapa tetangganya." Dylan tersenyum miris.

Lelaki itu berjalan menuju balkon dan mendapati jendela unit apartemen Alea yang tertutup gorden. Ia melirik jam tangan yang dikenakannya menunjukan pukul sepuluh pagi. Tidak biasanya. Apakah Alea sedang libur? Atau jangan-jangan pindah apartemen karena tidak ingin bertetangga dengan dirinya?

Dylan memandang jendela unit apartemen gadis itu dengan gelisah dan cemas. Apakah begini rasanya ketika dulu Alea berusaha mencari perhatiannya?

PRANGG!

Indra pendengarannya menangkap suara benda jatuh dari dalam unit apartemen Alea yang menandakan bahwa gadis itu tidak meninggalkannya. Dengan perasaan khawatir ia berjalan cepat menuju pintu unit apartemen Alea.

Ting tong!

Tidak membutuhkan waktu lama pintu terbuka menampilkan seorang gadis dengan wajah pucatnya masih menggunakan piyama. Ia terlihat terkejut dengan kehadiran lelaki dihadapannya.

"A-Aku mendengar suara benda terjatuh di apartemenmu. Kau baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja. Itu hanya suara panci yang terjatuh."

"Wajahmu terlihat pucat. Kau sakit, ya?"

"Aku baik-baik saja."

Dengan gerakan tiba-tiba tangannya hinggap di kening Alea membuat sang empunya terlihat tidak suka dengan perlakuannya.

"Aku sudah bilang—"

"Kenapa tidak meminta bantuan tetangga atau pemilik apartemen, hm?" Dylan tidak bisa menyembunyikan raut wajah khawatirnya.

"Kalau begitu aku bantu buatkan bubur, ya?"

Tidak ada jawaban dari Alea membuat Dylan berpikir bahwa gadis itu tidak menolak.

"Boleh aku masuk?"

Karena tidak ada ada suara atau pergerakan dari Alea, lelaki itu mendorong tubuh gadis itu dengan pelan membuat pintu terbuka lebar.

"Lancang sekali lelaki asing memasuki kediaman seorang gadis."

Langkahnya langsung terhenti ketika mendengar suara Alea yang terdengar menusuk. Ia mengulurkan tangannya pada Alea, mengajak untuk berjabat tangan.

"Perkenalkan, Aku Dylan Abercio, tetanggamu di apartemen ini. Salam kenal."

Gadis itu sama sekali tidak bereaksi apa pun. Ah, ia bisa melihat mata Alea yang memancarkan kemarahan dan kebencian padanya.

"Nanti saja jika kau ingin marah. Aku benar-benar hanya ingin membantumu."

Setelah itu Dylan menuntun Alea ikut bersamanya masuk lebih ke dalam unit apartemen. Ia melanjutkan langkahnya ke arah dapur. Tidak peduli jika ia lancang atau tidak sopan telah memasuki kediaman orang lain tanpa sebuah izin.

"Kau duduk saja di situ." Dylan mendudukan Alea di salah satu kursi meja makan. Lalu ia berjongkok untuk membersihkan panci yang terjatuh dengan isinya yang tumpah.

Dylan melakukan pekerjaannya dengan baik. Jujur saja, sejak masa sekolah menengahnya, ia mulai memasak untuk dirinya walau tinggal di sebuah mansion yang dipenuhi para maid.

Setelah acara memasaknya, ia menyajikan sebuah mangkuk berisi bubur yang menggugah selera bagi orang sehat. Alea mulai memakannya dalam diam, tetapi lama-lama ia tidak bisa menahan tangisannya.

"Ada apa? Apa kau merasakan sakit?" Alea hanya menggelengkan kepalanya.

"Buburnya terlalu panas atau tidak enak?" tanya Dylan karena melihat Alea yang menutup mulutnya dengan tangan dan mata berair. Ia kira gadis itu kepanasan atau merasa mual.

Buburnya enak. Sangat enak malahan. Bubur itu tidak tawar seperti kebanyakan orang lain membuatnya. Terdapat beberapa sayuran yang di potong kecil di dalamnya dengan sedikit bumbu perasa sehingga rasanya sangat enak.

"Apa kau memilik obat?" Alea menggeleng lagi.

"Kalau begitu aku akan membelinya. Hanya obat demam, 'kan?"

Melihat Dylan yang menunjukan kekhawatirannya membuat tangisan Alea semakin kencang. Sebenarnya apa yang diinginkan lelaki itu? pikirnya.

Orangtuanya tidak ada, badannya sakit, dan sekarang ia harus dihadapkan oleh lelaki yang selalu memporak-porandakan hatinya. Suasana hati Alea benar-benar tidak baik membuat dirinya hanya ingin menangis saja.

"Apa kita ke rumah sakit saja?" Alea menggeleng membuat Dylan jadi kebingungan.

"Keluar." Dengan susah payah Alea mengeluarkan suaranya, dan hanya itu yang bisa ia ucapkan.

"Iya, aku memang mau membelikanmu obat."

"Jangan kembali lagi." Bahkan dirinya sendiri tidak sanggup mendengar ucapan yang baru saja ia lontarkan.

"Maaf jika aku mengganggumu, tapi aku hanya ingin membantu."

"Tidak perlu lagi," sahut Alea dengan cepat.

Dylan menelan ludahnya dengan kasar. Ia tidak ingin membuat Alea tersakiti dengan hanya berdekatan dengannya.

"Semoga kau cepat sembuh." Setelah mengatakan itu, ia langsung keluar dari unit apartemen Alea.

***

┊͙ Thanks for reading ┊͙

└── ⋆⋅☆⋅⋆ ──┘

Jangan lupa berikan vote ⭐️

MiracleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang