21. Number 10

1.8K 83 0
                                    

Sore ini Alea sedang memandangi sebuah bingkisan yang berisi kue kering untuk tetangganya. Giliran penghuni unit apartemen nomor sepuluh yang belum ia datangi.

Ia sempat mendengar suara dari unit sebelah yang berarti bahwa tetangganya itu sedang berada di kediamannya. Alea terlalu malu untuk menemuinya, apalagi orangtuanya sudah pulang ke Milan tadi siang.

Gadis itu berdiam di balkon untuk melihat jendela kamar tetangganya. Siapa tahu orang itu juga berada di balkon dan tidak sengaja bertemu dengannya.

Alea hanya mondar-mandir di balkon. Ia gugup. Ini lebih seperti seorang gadis yang akan mengungkapkan perasaannya pada seorang lelaki. Padahal saat berdekatan dengan Dylan, ia sangat agresif— lebih seperti tidak tahu malu.

"Sepertinya lain kali saja. Aku belum siap." Lalu Alea kembali masuk ke dalam unit apartemennya.

***

Dylan melirik jam weker di atas nakasnya yang menunjukan pukul enam pagi. Awalnya ia ingin kembali tidur karena hari ini libur dari pekerjaannya, tetapi karena dirinya butuh sesuatu yang segar untuk tubuh dan pikirannya, lebih baik ia mandi saja.

Setelah selesai dengan mandinya, ia memanggang roti dan menyeduh kopi untuk sarapannya. Di tengah sarapannya, ia melirik gitar listrik yang baru saja dibelinya. Ia membelinya karena membantu teman kerja di kafe yang sedang sangat membutuhkan uang.

BRAKK!

BRAKK!

"Stop, dad! Apa yang kau lakukan?"

Dylan menarik lengan ayahnya yang sedang menghancurkan gitar yang baru dibelinya lima hari yang lalu dengan membantingkannya beberapa kali hingga hancur. Tidak hanya gitarnya, hatinya pun ikut hancur.

Itu adalah gitar yang dibelinya hasil menabung selama ini. Dan dengan mudahnya dihancurkan dalam beberapa detik.

"Kau menghabiskan waktu mudamu dengan bermain bersama orang-orang itu dan alat sialan ini?"

"Mereka adalah teman-temanku. Lagipula memangnya kau tidak seperti itu ketika muda, Dad?"

"Tidak," jawab ayahnya dengan mantap. "Aku selalu memanfaatkan waktuku sebaik mungkin."

"Dengan membunuh banyak orang?" lirih Dylan yang masih terdangar di telinga ayahnya.

"Apa yang kau katakan? Bicara yang jelas."

Dylan menelan ludahnya secara kasar setelah melihat tatapan mengintimidasi ayahnya. Jujur saja ia selalu takut padanya.

"Lupakan saja, Dad."

Grep

Ia kaget bukan main ketika ayahnya mencekik lehernya.

"Kau mulai berani padaku?"

Entah kenapa ia melihat raut wajah ayahnya yang terlihat senang dan tertantang.

"Lepaskan..." Dylan mencoba melepaskan cekikan di lehernya.

"T-Tolong..."

Pria itu baru melepaskan cekikannya ketika putranya sudah terlihat kehabisan nafas dengan muka memerah.

"Jangan lupa latihan nanti sore," ucap ayahnya sebelum benar-benar meninggalkan Dylan.

Dylan tersenyum getir setelah meminum kopinya.

MiracleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang