...

18 3 1
                                    

Masih membutuhkan beberapa hari lagi sebelum Evans bisa pulang dari perawatannya di rumah sakit.

Arin harus pergi memeriksa beberapa barang dan menemui kliennya pagi itu dan baru kembali saat sore hari. Ya ampun dia makin merasa tidak enak badan, bahkan perutnya terasa kembung. Arin harus segera istirahat jika bisa.
Ia akhirnya sampai di depan ruangan Evans.
Ketika ia mengintip dari kaca ia melihat suaminya, Riko dan satria sedang asik bermain kartu di tempat tidur Evans. Mereka malah amat menikmati permainan tersebut seperti anak muda.

"Bukankah ini waktunya untuk istirahat?"
Arin masuk tiba-tiba membuat Satria yang terkejut jatuh dari tempat tidur. Mereka juga terburu-buru membersihkan kegaduhan itu.

"Soda? Siapa yang bilang kalian boleh minum itu?" Melihat kaleng itu ada di sekitar mereka Arin makin mengamuk.

Evans menunjuk satria dan Riko yang terlihat kaku karena tertangkap basah.

"Mereka yang memaksa ku" Evans mengaku begitu sedangkan Riko terlihat menggeleng kecil serta tangannya melambai berkata tidak.

"Riko, Satria kalian keluar" Perintah Arin.

"Yess Ma'am" mereka berdua langsung berlari terburu-buru sampai sambil mendorong karena takut menjadi sasaran dari kemarahan Arin.

Evans ia sadari tidak mau menatap matanya karena jelas ia merasa bersalah.

"Dokter bilang kamu bisa pulang setelah Rontgen, dan kamu malah minum soda"

"Riko yang memaksa" pungkasnya masih tidak mau mengaku.

Arin memelototi dirinya membuat Evans langsung menutup mulut dan menunduk.
"I'm sorry ma'am. Tidak akan terulang"

Arin kemudian mengeluarkan wadah berisi buah yang telah di potong dari tas yang ia bawa. Arin sempat mampir ke toko buah tadi, ada banyak buah yang sudah di potong seperti ini dan rasanya manis sesuai dengan harga yang mereka tawarkan.

Ia menyodorkan Evans itu, beruntung Evans tidak banyak menolak untuk buah.

"Tidak bisakah kamu tidur di samping ku honey?"

"Tentu saja tidak bisa. Lagian aku kan tetap tidur di sana kenapa juga harus selalu dekat dengan mu" jarak kasur pasien dan kasur tamu dalam ruangan itu tidak sampai satu meter. Evans mulai berulah dengan permintaan yang aneh. Padahal ia tidak pergi ke manapun.

"But i still Miss you" ia meraih tangan Arin dan menggenggamnya erat.

"Bahumu masih terluka. Jika jahitannya terbuka karena aku menyenggolnya bagaimana?" Tapi Arin masih berusaha memberikan pengertian pada pria ini.

"Arrrgh aku harap kita segera pulang"
Geramnya, Arin mengerti Evans tidak menyukai tempat tidurnya apalagi pria ini harus tidur sendiri.

"Itulah yang aku bilang, banyak istirahat membuat kamu cepat pulang"
Evans lagi-lagi memutar bola matanya, tau begini ia berusaha untuk tidak terluka.

Ia hanya berharap setelah ini mereka akan lebih dalam keadaan yang baik. Walaupun wajah Evans terekspos media memungkinkan mereka semua kini tahu, terutama para musuhnya jika manusia yang biasanya bersembunyi sudah naik dan menunjukan diri dengan dagu yang terangkat.

Mereka mungkin akan menjadi kerupuk yang di siram air, terutama ketua mereka sudah menjadi makanan cacing saat ini. Mereka tidak bisa berkutik banyak, lagipula mereka juga saling mengenal sebagai seorang yang sama-sama berbisnis.

"Aku harus pergi sebentar" kata Arin kemudian berdiri hendak pergi.

"Kemana?"

"Mengambil beberapa barang di penthouse"

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang