Berlibur ke Bandung

21 0 0
                                    

USBN bagi kelas 12 tiba. Tentu saja hal ini merupakan kabar gembira bagi anak kelas 10 dan 11, pasalnya mereka akan menikmati libur seminggu berkedok belajar di rumah. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, Irvan dan Vanes nekat berlibur ke Bandung untuk menikmati liburan diatas penderitaan kakak kelas. Sudah seharian ini mereka berkeliling di kota berjulukan Varis Van Java, kota yang memperoleh predikat sebagai penghasil cewek tercantik di Indonesia. Tentu saja mata Irvan tak akan lengah sedikit pun setiap melihat cewek cantik di sekitarnya. Vanes cemburu, melihat tingkah laku pacarnya ini. Rasanya ingin sekali menutup mata Irvan dengan kain panjang.

"Gue mau balik ke Jakarta aja ah, nggak betah di sini," rengek Vanes pada Irvan.

Irvan yang mengerti akan kecemburuan pacarnya itu tersenyum sambil mengacak sedikit rambut Vanes. ”Ada yang cemburu hahaha..."

Sekarang mereka berdua berada tepat di depan kampus UNPAD. Kampus impian Vanes sejak dulu, yang membuatnya rela belajar seharian agar bisa di terima oleh kampus favorit ini. Tentu saja Vanes bahagia. Ini adalah kali pertamanya ia melihat langsung gedung kampus impiannya. Langsung saja, Vanes mengabadikan momen ini, dirinya menyuruh Irvan untuk memotret fotonya.

"Lebih sayang kampus impian atau doi nih. Kenapa jadi gue yang di selingkuhi disini," komentar Irvan dengan raut lesunya. Meskipun kampus hanyalah sebuah gedung yang merupakan benda mati, Irvan merasa cemburu. Sejak pagi ia berkeliling dengan Vanes, baru kali ini Vanes mencuekan dirinya demi yang lain.

"Kalau gue bisa nembus masuk sini, masa depan gue bisa cerah nih," cengir Vanes membalas komentar Irvan.

"Kalau dia masa depan gue masa apa dong?"

"Suram." Vanes menjawab asal pertanyaan Irvan, membuat Irvan semakin terpojok.

Dengan penuh kesabaran, Irvan memotret Vanes dengan objek kampus itu. Entahlah sudah berapa foto yang ia cekrek pada satu objek ini. Vanes terus saja meminta untuk memotretnya lagi dan lagi.

"Ayo pulang. Nanti kemalaman sampai rumah."

Baru saja senyum lebar tergambar di wajah manisnya, Vanes buru-buru menyudahi kepuasannya. Perjalanan hari ini masih belum cukup baginya, dirinya masih ingin menikmati tiap jalanan kota Bandung. Walaupun dirinya harus menahan kesal karena mata Irvan yang tidak bisa diam.

"Sebentar-sebentar, terakhir ke pusat oleh-oleh dulu ya. Gue cerita ke Kaila dan Abel, jadi nggak enak rasanya kalo pulang nggak bawa oleh-oleh," pinta Vanes pada Irvan.

Vanes membeli beberapa makanan ciri khas Bandung untuk oleh-olehnya. Tak lupa ia membeli cendra mata untuk kenangannya. Bukan hanya kenangan mengenai kota Bandung tetapi kenangannya berdua dengan Irvan di kota indah ini.

Saat melihat moci, Irvan teringat akan masa kecilnya dulu bermain dengan Alfa. Irvan dan Alfa pernah bertengkar hingga mengacaukan seisi ruangan, karena memperebutkan moci yang hanya tinggal satu. Beruntung waktu itu papah Irvan melerai keduanya dan membelah satu moci itu menjadi dua bagian. Dirinya terkekeh kecil, mengingat kenangan masa kecilnya.

"Irvan Lo mau beli moci atau mau dijual lagi?" Vanes terheran melihat Irvan yang hampir saja memborong moci di pusat oleh-oleh itu. Vanes tidak pernah tau, jika pacarnya itu sangat menyukai makanan moci.

"Oh ya pulang nanti Lo mau ikut gue ke rumah Alfa nggak? Sekalian aja ngerajin tugas sekolah bareng Alfa. Lumayan bisa menaikkan nilai rapot," ajak Irvan.

Sudah dari dulu Vanes ingin sekali belajar bersama Alfa. Dirinya sangat lemah dalam pelajaran matematika. Jika saja Vanes berkesempatan untuk belajar bersama Alfa, akan ada banyak pertanyaan yang akan Vanes tanyakan kepada Alfa.

***

Abel membuka matanya perlahan, menyambut siang kota Jakarta dengan mood yang berantakan. Belajar di rumah membuat dirinya semakin bodo dan pemalas. Ini sudah pukul 14.00 WIB, dirinya sudah beberapa kali terbangun dan tertidur lagi.

Tidak ada teman sejati selain ponsel. Abel membuka malas ponselnya yang entah sudah beberapa kali ia buka dan tutup kembali. Dalam ponselnya, Abel mendapatkan kiriman foto Kaila yang sedang di bioskop bersama dengan Satya. Di lain sisi, Vanes juga mengirimkan sebuah foto jika dirinya sedang mengerjakan tugas sekolahnya. Anak ini benar-benar ambis. Kenapa bisa terpikirkan olehnya belajar sambil pacaran.

Sebentar, Abel merasa tidak asing dengan ruangan yang berada pada kiriman Vanes. Itu bukan rumah Vanes, tetapi Abel yakin Abel pernah melihat sebelumnya. Berpikir sejenak dan mengingat, memori Abel teringat akan kejadian seminggu lalu yang membuat Abel harus berada di rumah Alfa. Itu benar-benar rumah Alfa, Abel sangat yakin.

To: Vanes
[Ngapain Lo di rumah Alfa? Katanya ke Bandung sama doi?]

From: Vanes
[Buruan ke rumah Alfa gue ada oleh-oleh buat elu.]

Bahagia mendengar pesan singkat yang diberikan oleh temannya. Langsung saja Abel bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Untuk bertemu pangeran pujaannya, Abel harus terlihat fresh dan wangi. Tidak seperti sekarang ini yang kucel terlihat tidak memiliki semangat hidup.

***

Abel berjalan kikuk saat dirinya berada di depan pintu mewah milik Alfa. Ragu untuk menekan bel, Abel mencoba untuk menghubungi Vanes yang sudah berada di dalam. Sambil memegang kenop pintu, tangan satunya sibuk mencari ponsel yang berada di dalam tas. Perasaan hatinya  deg-degan tak karuan.

Dari arah dalam, pintu tarik oleh seseorang. Abel yang tadinya berada di depan pintu, nyaris terpeleset tertarik ke arah depan. Entah badan milik siapa di depannya itu, Abel memeluknya erat berusaha menyeimbangkan badannya agar tidak terjatuh. Setelah beberapa detik, Abel mendongakkan kepalanya melihat sosok siapa yang telah membantu menyelamatkannya.

Jantung Abel berdebar hebat, suaranya bisa terdengar oleh sosok di depannya itu. Abel merasa lemas karena tidak bisa mengendalikan getaran hatinya. Dia Alfa, sosok yang sedang ia peluk sekarang ini. Tuhan jika engkau memperbolehkan, bolehkah engkau menghentikan waktu ini sebentar. Abel masih ingin merasakan pelukan yang tidak sengaja ini di dapatkanya. Risih dengan situasi yang terjadi, cepat-cepat Alfa melepaskan pelukannya. Dirinya tidak bisa berpikir jernih.

"Alfa... G-gue minta maaf."

Masih grogi dengan situasi yang terjadi, Abel memberanikan diri berbicara dengan Alfa. Abel tau Alfa tidak akan merespon percakapannya, tetapi ketidaksengajaan ini membuat Abel benar-benar bahagia.

"Abel kesini!" ajak Vanes yang tengah mengerjakan tugas bersama Irvan.

Alfa risih melihat rumahnya di jadikan tempat berkencan oleh temannya. Berani sekali temannya ini. Jika saja Irvan tidak membawa buah tangan Moci kepadanya, dirinya sudah mengusir temannya itu dari rumah. Belum saja masalah ini selesai, ada saja masalah baru.

"Alfa gue nggak paham materi Matriks. Ajarin dong mempelajari rumusnya."

Vanes memanggil Alfa yang tengah berdiri di tengah-tengah mereka. Seperti biasa raut mukanya dingin dan datar. Dengan malas Alfa mengajarkan materi Matriks itu kepada teman-temannya. Dirinya berjanji, jika telah selesai memaparkan penjelasan ini kepada temannya, ia akan mengusir mereka semua dari rumahnya.

Vanes paham mengenai penjabaran yang diajarkan oleh Alfa, begitupun Irvan. Terheran-heran akan kemampuan alami Alfa, Vanes menanyakan sesuatu.

"Lo belajar dimana sih kok paham banget. Perasaan gue lihat-lihat di sekeliling rumah Lo nggak ada buku pendukung."

"Si Alfa mah pinter karena turunan. Sampai-sampai neneknya dia dapat beasiswa ke Australia, sampai menetap disana," terang Irvan pada Vanes.

"Gue masih nggak paham materi ini. Bisa tolong dijelaskan dari awal," ujar Abel dengan cengirnya. Alfa menghela napasnya kasar, sudah cukup penderitaan ini berakhir. Melihat selusin kotak moci yang dibawakan oleh temannya, Alfa kembali bersabar. Alfa bersyukur jika salah satu temannya itu masih mengingat dirinya, sebagai balas budi Alfa juga harus ramah terhadap teman yang dibawa Irvan ini.

Tetap fokus dan memperhatikan pelajaran, Abel curi-curi pandang kearah Alfa. Bulu mata yang lentik, alis tebal, rahang kokoh, bibir yang mungil, sungguh indah sekali ciptaan tuhan ini. Abel masih terbuyar dalam lamunannya. Tak sengaja, Alfa menatap kearah mata Abel. Sekarang mereka sudah saling tatap menatap. Detak jantung itu kembali bergetar. Abel tak sanggup meredupkan suara detakannya. Segera mungkin dirinya menunduk, memalingkan wajahnya dari sosok di hadapanya.

AlfAbel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang