Sebuah Peringatan

797 180 30
                                    

Abel melangkahkan kakinya dengan sangat lesu. Dibungkukannya tubuh tinggi itu tak bergairah. Abel menyenderkan ransel merah di bangku kayu cokelat, didudukinya bangku kayu. Sekilas mata besarnya menatap kearah jarum jam dihadapannya, lalu menidurkan kepalanya di atas meja kayu.

Vaness berjalan memasuki ruang kelas, diketuknya pintu kelas. Kaila berjalan menyusul Vaness dari belakang sambil memeluk ransel kecilnya. Abel menatap mereka sekilas dan kembali memundurkan kepalanya.

"Hallo Abel! Jomblo ni ye," ledek mereka mengagetkan Abel. Abel mengusap dadanya, matanya melototi kedua temannya.

"Diam ganggu aja!" Kaila berjalan kearah bangku Abel, ditariknya salah satu bangku didekatnya dan di duduki. Disusul dengan Vanes yang menduduki bangku belakang Abel.

Seperti hari-hari biasanya, mereka selalu membicarakan hal-hal terbaru atau menceritakan hal-hal konyol yang mereka lakukan di hari yang lalu. Inilah yang mereka bertiga lakukan jika sudah ngumpul menjadi satu, mengghibah apa saja yang mereka lihat atau dengar dari tetangga sebelah. Mereka bisa melakukan hal apa saja di hadapan teman-temannya ini, bahkan hal gila sekalipun.

"Eh Abel gimana hubungan lo dengan si Alfa? Lo masih tetap mempertahankan cinta sepihak lo?" Vaness mengarahkan pandangannya ke wajah Abel. Walau dalam hati Vanes merasa kasian dengan Abe yang sedari dulu mempertahankan cinta sepihak nya, bahkan sampai diujung konflik tentang Monic dimulai.

Kaila ikut menenengokan pandangannya ke arah Abel. Satu alisnya terangkat keatas. Abel segera membuang muka dihadapan kedua temannya dan menunduk kebawah. Matanya terus menatap kolong laci di bawah meja bangkunya.

"Lo masih mempertahankan pangeran patung itu? Kalau lo mempertahan terus, tanpa memberi kode, kapan jadiannya?" celetuk Kaila yang mengundang lirikan tajam dari Abel.

Mungkin karena malas membahas masalah Alfa. Abel berpura-pura sibuk membersihkan sampah kertas yang mengumpul di kolong lacinya, tidak hanya sampah saja ada juga kertas fotocopy an yang Abel taruh bersamaan di dalam laci itu.

Yang ditanyakan oleh kedua temannya ada benarnya juga. Apa yang seharusnya dilakukan Abel sekarang ini? Mempertahankan cinta sepihak yang dari dulu dikejarnya, atau merelakan cinta sepihak nya dan mencari seseorang yang benar-benar mencintainya. Huftt... hal ini malah membuat Abel semakin penasaran dengan pangeran batu itu.

Abel merapikan satu per satu kertas dan dipilihnya dengan teliti. Kegiatannya itu ia hentikan saat Abel menemukan satu amplop kecil yang masih mulus tersimpan manis di dalam lacinya. Abel mengambil amplop kecil itu, dipamerkannya kepada kedua temannya.

Kaila memandang Abel bingung. Vanes memperhatikan bentuk amplop yang sedang digenggam Abel, bentuknya persegi dan berukuran kecil. Jika itu surat dari wali murid pasti tidak mungkin, karena ukuran amplop itu tidak sewajarnya. Vanes mengisyaratkan supaya Abel membuka amplop itu dan membaca isi suratnya.

Abel membuka amplop itu perlahan-lahan. Kertas HVS berukuran A4 terlipat-lipat mengecil tak beraturan. Abel membuka lipatan demi lipatan kertas itu hingga terbuka menjadi kertas HVS yang sebenarnya.

Abel menjerit sekilas setelah berhasil membuka dan membaca isi surat itu. Untung saja keadaan kelas di pagi ini sangat sepi, hanya ada beberapa siswa yang hadir menduduki bangku kelas. Abel menutupi mulut merahnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggenggam isi surat itu. Kaila segera mengambil kertas yang ada di genggaman Abel, Vanes yang penasaran ikut membaca isi surat yang dapat membuat Abel menjerit.

ABEL! TERUS JAUHI ALFA! DAN JIKA GUE TAHU BAHWA LO MASIH DEKETIN ALFA, GUE AKAN MELAKUKAN HAL APA SAJA YANG MENURUT GUE BENAR!

"Gila! Siapa yang mengirim surat ini?" Vaness bertanya penasaran, mukanya sudah merah memanas seperti akan meledak.

"Bel lo masih ingat nggak, surat yang waktu itu ada di casing handphone lo waktu di taman itu?" Kaila menanyakan sesuatu yang baru saja kemarin dialami.

"Gue masih ingat," ujar Abel sambil mengacungkan jari telunjuknya setengah tinggi. "Waktu itu juga isi suratnya menggunakan ketikan, bukan tulisan tangan."

Memang benar semua ancaman yang didapatkan Abel adalah kertas yang print-printan yang terdapat ketikan ancaman didalamnyam

"Pinter banget ya. Supaya tidak ketahuan, orang itu menuliskan ancamannya dalam bentuk ketikan. Perlu gue acungkan jempol," Vanes terus memperhatikan kondisi amplop yang sekarang ia genggam.

"Sekarang sudah jelas Bel, bahwa pelakunya adalah Monic," geram Kaila mengepalkan tangannya.

"Tunggu jangan asal nuduh seseorang tanpa bukti! Kalau benar pelakunya Monic, bagaimana Monic bisa tau kalau gue sekarang sebangku dengan Irvan? Dan walaupun tau kalau gue sebangku dengan Irvan, bagaimana dia bisa tau tempat duduk gue ada disini? Kan sekarang tempat duduk kita boleh pindah-pindah sebebas mungkin. Jadi kemungkinan Monic mengetahui hal ini itu sangat kecil, bahkan tidak mungkin."

Memang hari ini Abel sengaja mencari tempat duduk yang jauh dari Alfa. Ia tidak ingin masalah yang dibuat Monic, akan terdengar di telinga Alfa. Tetapi bagaimana bisa Monic tau, jika Abel akan menepati bangku yang tengah didudukinya. Apakah dia peramal?

***

Naufal memikirkan sepeda motornya di parkiran belakang gedung sekolah, disusulnya Alfa. Naufal melepaskan helm dari kepala, diletakkannya di jok motor. Alfa yang sedari tadi mengaca wajahnya di spion motor, dikagetkan oleh pukulan kecil Naufal dari belakang.

" Huss.... jangan ganggu. Kan rambut Justin Bieber ini jadi kacau," Alfa mengacak-acak rambutnya yang katanya mirip penyanyi barat Justin Bieber itu.

"Rambut lo mah nggak cocok disebut rambut Justin Bieber, lebih cocoknya rambut landak,"

Masih dihadapan spion, Alfa kembali merapikan rambut apeknya yang mengeras berantakan layaknya hewan landak.

Pemuda berambut landak melangkahkan kakinya satu langkah, matanya yang tajam ia pandangkan kearah kaca spion. Seketika langkahnya ia mundurkan lalu ia langkahkan satu langkah lagi hingga beberapa kali. Alfa menengokan kepalanya ke arah belakang, dilihatnya Naufal. Naufal mengangkatkan satu alisnya, wajahnya yang cool menampakan raut kebingungan.

"Fal...Fal..Fal..." undang Alfa sambil menepuk punggung Naufal.

"Apaan sih!"

" Lo bisa lihat itu nggak? Itu yang itu..." tangannya terus menunjukkan kearah yang ditujukan.

"Itu bukannya Karen! Kenapa Satya bisa kenal dengan Karen? Ngapain juga pakai acara pegangan tangan? Apa Satya juga ada hubungannya dengan Monic dan Abel? Atau ini cuman kebetulan saja? Aaggh sial gue harus gimana ini!" batin Naufal.

" Geblek itu kan si Satya!" lanjut Naufal masih dengan keputusan menyimpan rahasia.

"Siapa cewek disebelahnya?"

"Tauk ah! Huhh.... dasar playboy, belum ada tiga hari putus udah punya simpanan yang lain," Naufal terus mengarahkan pemandangannya kedepan, matanya terus memperhatikan gerak-gerik Satya dan Karen.

"Fal gue ke kantin," ujar Alfa memberitahu Naufal.

"Lo duluan aja! Gue sarapan di warung depan aja."

AlfAbel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang