Selamat tinggal

572 185 35
                                    

Pria berjas putih keluar dari ruangan bertuliskan ICU. Keringat yang bercucuran membuat jas putih yang di gunakannya sedikit basah terkena keringat. Pria itu membawa selembar kertas putih, di berikannya pada papah Alfa.

"Putra bapak sekarang ini sudah sadarkan diri, tetapi kondisinya sangat kritis. Mohon maaf jika saya harus mengatakan hal ini, sudah tidak ada waktu lagi untuk kesembuhan putra bapak, kalaupun sudah ada pendonor kemungkinan untuk berhasil pun kecil," ujar bapak dokter di hadapan mereka.

Semua yang berada di depan ICU itu menahan tangis atas kabar yang baru saja di beritahu oleh dokter. Apalagi setelah mendengar jika kemungkinan Alfa sembuh itu kecil, belum lagi sampai sekarang belum ada pendonor hati untuk Alfa.

"Dokter... dokter... Pasien terus memanggil mama nya," ujar salah satu perawat yang keluar dari ruang ICU itu.

Mereka disana saling meguatkan satu sama lain, bagimana mungkin mereka mengabulkan permintaan Alfa yang mustahil itu. Mamanya sudah lama meninggal, dan Alfa terus memanggil nama itu. Mereka belum siap untuk mengabulkan permintaan Alfa. Badan Abel semakin lemas, dengan penuh tenaga gadis itu berlari memasuki ruangan yang tidak di izinkan, menerobos dokter-dokter yang berusaha memulihkan Alfa.

"Beri saya waktu sebentar untuk berbicara dengan pasien, saya mohon," pinta Abel yang sudah cecengkukan menangis.

Dokter yang tidak tega, memberikan kesempatan pada Abel untuk menemani pasien di dalam ruangan, dengan syarat jangan membebankan pasien. Sementara di balik kaca ruangan papah Alfa, dan teman-teman menatap haru kepada mereka.

Mama...

"Alfa lo harus sembuh, lo harus bisa." Abel menggengam tangan Alfa yang lemas, tabung oksigen yang tertempel di mulut Alfa membuat Abel tidak tega melihatnya.

"Alfa lihat. Semuanya sayang sama lo, semuanya nggak mau lihat lo begini. Papah, Kak Alvin, Satya, Irvan, Eki, Naufal, Kaila semuanya sayang sama lo. Semuanya pingin lihat lo senyum lagi, ketawa lagi."

Kelopak mata yang tadinya tertutup terbuka samar-samar, Abel satu kata itu yang keluar dari mulutnya.

"i-iya, gue disini. Gue di samping lo Alfa," Abel tersenyum menahan tangis yang sebenarnya sudah menetes di pipinya. Abel harus kuat dihadapan Alfa. Alfa harus tau jika dirinya di nantikan semua orang.

"Sayang kenapa tangis?" tanya Alfa dengan suara yang terbata-bata.

Deg... jantung Abel sekarang ini rasanya ingin copot setelah mendengar suara Alfa yang sangat lemah itu. Alfa dulu sangat kuat, suaranya sangat gentar.

"G-gue nggak nangis Alfa." Abel menghapus air mata yang keluar dari matanya berusaha tersenyum kepada Alfa.

"Bohong."

"Ihhh... Beneran. Abel memeluk tubuh Alfa kuat mengeluarkan air mata yang sedari tadi di tahannya.

"Abel aku jahat ya?" Abel menggelengkan kepalanya cepat. "Gue lemah, gue bukan Alfa yang dulu. Apa lo masih mau sama gue?"

"Apapun keadaan lo, bagi gue lo tetap Alfa yang gue cinta."

Alfa mengusap kepala Abel, mengisyaratkan Abel supaya mendongak menatapnya. Abel menatap mata Alfa, dengan lembut tangan Alfa mengusap rambut Abel.

"Alfa lo harus kuat. Gue mau mau bersama lo selamanya." Tangis Abel semakin pecah, Alfa berusaha menyapu air mata yang menetes di pipi Abel.

"Abel selamanya itu terlalu lama, di sini bersama lo aja gue sudah bahagia. Terimakasih, karena lo menyadarkan gue betapa penting kehidupan ini, betapa banyak orang yang yang peduli sama gue. Gue bersyukur karena sampai sekarang gue masih bisa melihat mereka, tapi gue nggak yakin." Abel memeluk tubuh Alfa erat, Abel tidak ingin kehilangan Alfa.

"Abel gue lelah."

"Yaudah istirahat dulu, jangan kebanyakan bicara nanti cepat lelah. Gue tunggu lo di ruang tunggu."

Abel membenarkan posisi selimut untuk menghangatkan tubuh Alfa. Badannya berputar balik meinggalkan Alfa, entah mengapa perasaan Abel tidak tenang saat akan meinggalkan ruangan itu.

"Abel..."

Abel yang terpanggil berbalik arah menatap kembali Alfa yang berbaring lemah di ranjang. Papah Alfa dan Alvin yang tak tahan melihat Alfa dari balik kaca, memaksakan masuk ke ruang ICU itu.

"Papah, kak Alvin. " Alfa tersenyum melihat Papah dan kakaknya yang berada di sampingnya.

"Papah sama kakak di sini, kamu harus kuat Alfa kamu harus bertahan."

"Kak, kakak jangan pergi lagi." Alvin mengangguk-anggukan kepalanya menerima permintaan adiknya itu.

"Kak kalau Alfa pergi, Alfa nitip papah, jaga papah baik-baik. Papah memang suka marah-marah, tapi sebenarnya dia sayang, dia sayang banget sama kita."

"Pah, terimakasih sudah menjaga Alfa dengan penuh kasih sayang. Maafin Alfa yang dulu sangat keurang ajar, Alfa sayang Papah, Alfa pingin di peluk papah. Alfa senang karena papah sehat-sehat saja." Papah Alfa terus memeluk tubuh putranya, kehangatan memeluk putranya membuat jantungnya berdetak kuat.

"Papah, Alfa kangen mamah Pah, Alfa kangen mamah. Tadi saat Alfa tidur, mamah berada di samping Alfa, mamah mengusap-usap kepala Alfa. Mamah bilang, dia sayang Alfa. Mamah sangat cantik dengan gaun putih yang di gunakannya, senyuman mamah masih hangat seperti dulu."

Papah Alfa megusap-usap kepala Alfa, dengan tegar dirinya berusaha menghibur putranya itu, "Mamah mu memang sayang sama kamu, mungkin disana mamah rindu sama kamu." Papah Alfa mecium kening putranya itu.

Napas Alfa terenggal-enggal, dengan cepat Abel menekan tombol darurat yang berada di belakang ranjang Alfa. Tangan Abel mengusap-usap kepala Alfa dan satu tangannya lagi menggenggam kuat telapak tangan Alfa.

"A-Alfa sayang kalian."

Seketika mata Alfa terpejam dengan suara tangis Abel berteriak memanggil dokter yang tak kunjung datang, teriakan Abel mengundang teman-teman Alfa untuk ikut masuk ke ruang ICU. Dokter yang membawa peralatan medis pun datang. Dokter mengecek nadi dan napas Alfa, tetap saja hasilnya nihil. Alfa dinyatakan meningal dunia.

"Innalilahi wa innailaihi rajiun. Mohon maaf pasien tidak dapat di selamatkan."

Dokter menutup wajah Alfa dengan selimut putih yang selalu menemani Alfa berbaring. Kini selimut itu juga yang menutupi kepergian Alfa. Isak tangis terdengar di sudut ruangan, seakan semesta tidak berperilaku adil. Berharap ini semua adalah mimpi buruk, dan di saat terbangun semuanya akan baik-baik saja.

"TIDAK MUNGKIN TOLONG DI PERIKSA KEMBALI!" teriak Papah Alfa pada dokter.

"ALFA BANGUN, ALFA LO DENGAR GUE KAN."

Semuanya yang berada di dalam ruangan merasakan duka yang amat dalam. Alfa sosok anak, adik, sahabat yang baik telah tiada dari bumi ini. Nenek Alfa yang mendapatkan kabar dari seorang perawat, berlari sekuat tenaga memasuki ruang ICU. Di bukanya kerukupan selimut yang meutupi wajah pucat Alfa. Nenek itu memeluk-meluk mayat cucunya, tim medis berusaha mencegah nenek untuk menjauhi mayat Alfa, di takutkan ada infeksi yang akan keluar dari jasad yang baru saja meninggal.

Kematian Alfa sangat nyata terlihat dengan jelas oleh mata kepala mereka. Baru kemarin mereka bercanda dengan Alfa, berpelukan dengan Alfa, bermain degan Alfa. Sekarang sosok itu sudah hilang, Alfa pergi dengan ribuan kenangan yang terkubur. Rasanya ini tidak adil, kemarin mereka memiliki sosok Alfa, dan sekarang bahkan mendengar napasnya saja sangat mustahil. Kenapa semesta sekejam ini? Mengambil seseorang tanpa permisi dan menyalahkan waktu yang tak bersalah.

Dada Abel sangat sesak, dirinya memberontak kenyataan ini. Dan pada akhirnya.

Bukkkk....

Abel terjatuh pingsan di atas mayat Alfa. Mayat, mendengarnya saja membuat hati ini serasa teriris perih. Tim medis yang berada di ruangan itu segera memindahkan gadis berseragam putih abu-abu kedalam ruangan yang aman. Masih dengan suasana duka, Irvan segera menghubungi pihak sekolah dan memberitahu kabar duka ini.

AlfAbel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang