Langit biru perlahan berganti menjadi jingga. Burung-burung yang seharian terbang mencari makan kini masuk ke sarangnya. Pelajaran dikelas 11 selama setahun ini telah selesai, semua materi sudah disampaikan oleh guru mapel. Terakhir adalah ujian kenaikan kelas yang akan di mulai besok selama satu Minggu.
Setiap meja diberi label nomer ujian. Antara bangku satu dengan yang lainnya diberi renggang agar tidak mudah untuk mencontek. Kebetulan Abel mendapat ruang ujian di kelasnya satu ruang dengan Irvan, Kaila dan Alfa.
Abel berjalan tergesa mencoba keluar dari bangkunya yang sempit itu. Mejanya ia majukan kedepan agar bisa keluar. Dari arah belakang, salah satu temannya berjalan mundur tidak melihat posisi Abel yang berada di belakangnya.
Jedukk...
Abel terjatuh tersungkur di lantai. Perih yang ia rasakan tidak sebanding dengan malu yang di dapatkannya, seluruh teman sekelasnya menyaksikan kejadian memalukan ini.
Mereka tertawa melihat Abel yang jatuh tersungkur, begitupun Kaila. Setelah menertawakan temannya, Kaila membantu Abel bangkit dari jatuhnya. Lutut Abel berwarna biru memar, membuat Abel tidak bisa berjalan tegak. Temannya kasian melihat lutut Abel yang memar membiru.
Irvan mengajak Vanes agar segera pulang untuk mempersiapkan ujian besok, begitupun Satya yang mengajak Kaila. Abel cemburu melihat teman-temannya yang begitu di perhatikan, sementara Abel dirinya harus pulang berangkat menggunakan angkot.
"Al anterin Abel pulang gih. Kasian itu kakinya memar," pinta Irvan pada Alfa.
"Enggak." jawabnya singkat padat dan jelas. Alfa sesegera mungkin menjauh dari teman-temannya.
"Yaudah kalau Lo nggak mau nganterin Abel pulang, biar gue yang nganterin. Tapi Lo harus anterin pacar gue pulang," jelas Irvan pada Alfa.
Irvan heran mengapa Alfa tidak memiliki rasa simpati sedikitpun terhadap orang. Jelas-jelas tadi Alfa melihat sendiri bahwa Abel jatuh di sebelahnya. Terpaksa, Alfa mematuhi keinginan temannya itu. Alfa lebih memilih mengantarkan Abel pulang daripada mengantarkan pulang pacar temannya.
Alfa berjalan menuju parkiran tempat dirinya memarkirkan motornya. Di belakang ada Abel yang mengikutinya karena perintah dari teman-teman. Sangat menjengkelkan bagi Alfa karena harus mengantarkan gadis ini pulang, teman-temannya ini selalu saja memojokkannya.
Alfa menaiki motor gedenya, disusulnya Abel. Semua mata tertuju kepada mereka. Sungguh fenomena langka melihat bangku belakang motor Alfa di duduki oleh cewek. Banyak yang memandang sirik kepada Abel. Tak banyak dari mereka berbisik-bisik mengenai fisik Abel. Bodoamat dengan respon negatif netijen, Abel sangat menikmati suasana ini.
Alfa melajukan motornya sangat cepat, membuat Abel yang berada di belakangnya kehilangan keseimbangan. Rasanya Abel akan jatuh terbang ke belakang. Abel memegang kuat jaket hitam yang dikenakan oleh Alfa, dalam mengendarai motor laki-laki ini sudah benar-benar gila.
Lampu lalu lintas berpijar merah. Alfa melepaskan pegangan dari stang motor, merenggangkan jari jemarinya. Pertama kalinya Abel merasa canggung berada di dekat Alfa, entahlah ini benar rasa canggung atau suasana hati Abel yang deg-degan. Selama di perjalanan ini dirinya hanya diam membisu.
“Alfa lo nggak marah kan nganterin gue? Lo nggak terpaksa kan?”
Masih dalam posisi memegang jaket Alfa, Abel menanyakan pertanyaan begitu polosnya. Alfa diam mendengar pertanyaan yang di lontarkan Abel. Tidak terpaksa katanya? Jelas-jelas Alfa merasa tertekan karena permintaan aneh teman-teman yang harus mengantarkan pulang cewek ini. kenapa dirinya harus berada di kelas saat cewek ini terjauh? Harusnya Alfa cabut saja dari kelas dan meninggalkan teman-temannya di kelas. Mungkin jika tadi ia melakukan hal ini, dirinya tidak perlu repot-repot untuk mengantarkan gadis ini pulang.
“Lepasin tangan lo dan jangan berpegangan ke jaket gue.”
Alfa meraskan ketidaknyamanan saat Abel berpegang kuat pada jaketnya. Alfa membuka kaca helmnya, dilihatnya cewek itu dari balik spion. Disana terlihat mata Abel yang sedang menatapnya dari arah spion, kedua mata itu saling bertemu. Tak mau membuat cewek itu salting, segera Alfa menutup kaca helmnya dan mengalihkan tatapannya pada lampu merah.
Lampu berubah hijau, Alfa baru saja hendak mengegas motor. Alfa mengembuskan napasnya pelan di balik kaca helm. Ingin rasanya ia sampai di rumah.
Seorang pemuda tengah menyuci motornya di halaman rumah Abel. Dirinya begitu kaget saat melihat adiknya yang berada di boncengan motor besar. Sekali lagi pemuda itu menggosoka matanya tak percaya.
"Mamah Abel punya pacar," teriak pemuda itu.
"Benar kah?"
Wanita paruh baya keluar dari balik pintu, kepalanya menengok kanan dan kiri mencari sesuatu. Melihat anaknya yang tengah duduk di boncengan laki-laki yang seumuran dengan Abel. Dirinya berlari kecil menemui Abel yang berada di depannya. Cepat-cepat Abel turun dari motor Alfa, Abel tidak ingin mamahnya ini melakukan tindakan yang akan membuat dirinya malu.
"Siapa Dek namanya? Kok Abel nggak pernah cerita kalo punya pac-,"
"Alfa Mah. Namanya Alfa," jawab Abel cepat. Jika saja Abel tidak memotong pembicaraan mamahnya, dirinya akan malu karena mamahnya mengira Alfa adalah pacarnya.
"Oh dek Alfa, salam kenal ya saya mamahnya Abel. Duh ganteng banget mirip oppa Korea." Alfa tersenyum kikuk mendengar pengakuan dari mamahnya Abel. Pacar? Yang benar saja kalau bicara.
Mamah Abel mengenalkan dirinya pada Alfa. Sama seperti anaknya, dirinya juga ikut mengagumi paras tampan Alfa. Melalui ketampanan dan auranya anak ini benar-benar bisa membuat orang tergila-gila padanya.
" Gilang, adik kamu aja sudah berani bawa pacarnya masa kamu kalah," teriak mamah Abel pada putra sulungnya. Gilang yang terpanggil hanya mengeluarkan dadanya sabar. Dirinya begitu sabar setiap kali mamahnya membanding-bandingkan dirinya dengan adiknya.
"Ayo dek mampir dulu ke rumah," ajak mamah Abel pada Alfa.
"Enggak Tante, langsung saja."
"Kok buru-buru, ada acara di rumah?" Sepertinya mamah Abel ini tidak memberi ruang nyaman kepada Alfa. Apa harus ada acara jika ingin pulang kerumahnya sendiri? Alasan apa yang harus ia berikan untuk menghindar dari wanita paruh baya ini.
"Besok ada ujian sekolah," jawab Alfa ragu-ragu.
"Mamah tau nggak mah, Alfa kalau di sekolah selalu mendapatkan ranking 1. Dia juga sering juara di olimpiade matematika." Sangat antusias memuji kecerdasan Alfa, Abel tak sadar jika sedari tadi Alfa ingin segera pergi dari halaman rumahnya.
"Bener kah itu Alfa? Kalau begitu belajar di sini saja, sekalian ajarin Abel. Saya sampai pusing melihat nilai rapot Abel banyak C-nya."
Alasan apalagi yang harus dibuat Alfa. Jika saja yang bertanya adalah Abel, Alfa akan mencuekan dan langsung meninggalkannya pergi. Tetapi kali ini mamahnya yang mengajaknya bicara. Alfa harus bersifat sopan pada mamahnya Abel ini.
"Tidak usah Tante. Semangat belajar Abel."
Alfa terpaksa memberi salam perpisahan untuk Abel. Cepat-cepat dirinya tancap gas dan pergi meninggalkan pekarangan rumah Abel.
KAMU SEDANG MEMBACA
AlfAbel [END]
Teen FictionDi kursi panjang ini ku dudukan badanku Menatap kerinduan bintang malam Angin malam megingatkanku Akan lembaran kecil puisi kenangan Tentang tawa yang menggetarkan hatiku Tentang senyum yang menenagkan Dimana rembulan tersenyum padaku Membisikan ray...