Setelah selesai menyelesaikan USBN, hari ini sekolah mengadakan classmate dengan lomba-lomba antar kelas yang sudah di rencanakan oleh OSIS. Seluruh pintu kelas di kunci dan diamankan anggota OSIS, supaya seluruh siswa ikut berpartisipasi dalam lomba yang telah di rancang oleh anggota OSIS.
Abel tertunduk lesu, dirinya lebih mengurungkan diri di dalam pojok perpustakaan yang sepi pengunjung, bersama dengan Kaila.
"SERIUS LO? Lo nggak bohong kan?"
Abel baru saja menceritakan fakta terpahit mengenai Alfa yang belum di ketahui banyak orang. Kaila benar-benar syok saat mengetahui kebenaraan pahit akan sosok Alfa. Teman-teman yang lain sudah lo kabari?
"Belum, baru lo dan gue."
"Yang lain nggak kamu ceritain?"
"Belum. Tadinya gue mau kasih tau Irvan dan Satya, tapi mereka keburu ke lapangan unuk prtandingan basket. Eki dan Naufal juga hari ini gue belum ketemu."
Dengan keringat yang masih bercucuran di wajah dan leher, Satya dan Irvan datang menghampiri Abel dan Kaila yang duduk menjongkok di sekitar rak-rak buku.Satya duduk ngasal dibawah dinginnya AC yang menyala, sementara Irvan masih mengibas-ibaskan kaosnya yang basah karena keringat.
"Gue tau tempat tongkrongan favorit cewek mager kayak kalian, kalau bukan di masjid yan pasti di perpustakaan, cari yang adem-adem," celutuk Irvan masih mengibaskan kaosnya.
"Apaan sih! Bau tau. Apalagi lo Satya udah keringat baunya cuka busuk masih nongkrong aja di bawah AC." Irvan dan Satya terkekeh geli melihat raut muka kesal Abel dan Kaila
Sambil memasukan tangannya ke dalam saku celana, Naufal berjalan PD menuju rombongan Abel dan diikuti Eki di belakangnya. Naufal duduk menyandar di rak-rak buku, tangannya yang tadi berada di saku ia keluarkan. Di temukannya cemilan-cemilan pedas yang ia bawa diam-diam ke dalam ruang perpustakaan.
“Dilarang membawa makanan dan minuman, lah lu bawa jajan udah kayak bakul," tuding Irvan keras.
"Oh yaudah gue keluar dulu habisin jajan gue." Naufal berdiri dari duduknya, memasukan kembali cemilan yang dibawanya ke dalam celana.
“Ehh tunggu!” seru mereka serempak. Sini aja makan bareng. Camilan pun di buka satu per satu hingga sekarang tesisa bungkus tanpa isinya sedikit pun. Eki lah yang memakan banyak diantara mereka.
"Alfa kemana lagi? Bolos? Dengar-dengar kemarin sabtu dan minggu dia masuk sekolah nyelesaiin ujiannya?"
Abel diam membisu, cemilan yang dimakannya tertelan pahit. Abel berbatuk-batuk membuat Kaila menoleh kearahnya, mereka yang berkumpulpun ikut menatap Abel.
"Se-sebenarnya Alfa sakit. Alfa terkena penyakit hati-"
Belum juga Abel menyelesaikan pembicaraanya, Irvan, Satya dan Eki terkekeh geli. Mereka menganggap Alfa berlebihan dan terlalu budak cinta, sampai pada akhirnya Abel sedikit berteriak.
"Gu-Gue serius. Alfa terkena penyakit hati. Dan sekarang di rawat di rumah sakit." Tawa yang setadinya renyah berhenti, tak ada satupun dari mereka yang berkutik.
Deg... deg...
"Si-siapa tadi yang ketawa duluan? Nggak lucu tau!" seru Irvan mencairkan keadaan dan sekejap mereka menatap Irvan dengan tatapan horror, pasalnya Irvan lah yang tertawa terbahak diantara mereka.
***
Lapangan penuh diisi anak-anak SMA yang berpencar turun menonton pertandingan futsal di lapangan utama. Abel dan Kaila berlari melewati pinggir-pinggir lapangan. Sesampainya di pos satpam, mereka berlari meminta izin pak satpam untuk keluar sebentar.
"Pak izin keluar mau ngeprint naskah pidato untuk lomba nanti," dusta Kaila sambil memamerkan flashdish hitam kecil miliknya. Pak satpam yang percaya pun membolehkan mereka keluar dan membukakan pintu gerbang untuk mereka.
Aksipun dimulai, warnet berada di sebrang timur sekolah, jadi tidak akan ketauan jika mereka akan cabut sekolah. Di teras warnet, Naufal, Irvan, Satya, dan Eki sudah menunggu mereka. Mereka sudah keluar dari gedung sekolah setengah jam yang lalu melalui kamar mandi belakang yang menjadi langganan anak brandal akan cabut sekolah. Aksipun di lancarkan dengan Abel dan Kaila yang berbohong agar bisa keluar dari gedung sekolah.
Merekapun melajukan motor sekencang mungkin meninggalkan gedung sekolah. Mereka melajukan motor menuju Rumah Sakit yang di infokan Pak Dodo malam itu. Masalah cabut? Sebenarnya mereka bisa izin terlebih dahulu kepada guru bK, tetapi perlu proses lama untuk mendapatkan surat permohhonan izin ditambah lagi mereka yang izin tidak perorangan melainkan bergerombong.
Koridor serba putih dengan aroma khas obat-obatan tercium di setiap sudut ruangan. Di kursi putih depan ruangan terlihat sepasang pria paruh baya yang sedang bercakap-cakap dengan salah satu dokter yang baru saja keluar dari ruangan. Pria paruh baya menunduk lesu, berpikir seakan dunia inilah titik terakhirnya. Irvan yang satu-satunya dekat dengan papah Alfa berjalan, mendekati pria paruh baya itu, Irvan berusaha untuk menghiburnya.
"Dek Irvan, dek abel. Kalian disini?" Kepala yang tadinya tertunduk kembali mendongak, bibir yang tadinya kaku, samar-samar tersenyum tipis.
"Iya om, Abel sudah menceritakan semuanya mengenai Alfa." Irvan mengalihkan pandangannya, menatap pintu kaca yang dibaliknya terdapat sosok Alfa dengan tempelan jarum infus yang menempel di tangannya. Alfa sedang di rawat oleh beberapa perawat.
Irvan begitu terpukul, sudah sangat lama dirinya bersahabat baik dengan Alfa, tetapi dirinya tidak tahu apa-apa mengenai Alfa, bahkan penyakit parah yang di derita sahabatnya itu. Irvan sangat malu dengan dirinya sendiri.
"Om boleh kami bertemu Alfa?" izin Abel dengan wajah cemas.
Papah Alfa tersenyum dan mengangguk tanda memperbolehkan. Abel dan teman-temannya memasuki ruangan yang bertirai putih, menemui sosok Alfa yang sangat mereka rindukan.
Alfa tersenyum tipis melihat kedatangan teman-temannya. Badannya ia gerakkan supaya bisa tersandar duduk, meskipun diatas kasur putih ini pun. Teman-teman yang melihat kegigihan Alfa ini pun merasa khawatir dengan kondisinya sekarang ini.
"Hati-hati Alfa,” teriak mereka saat Alfa memaksakan diri untuk duduk.
"Lo nggak papa kan? Bilang Alfa lo baik-baik saja. Gue masih takut, gue takut," lirih Abel dengan menggenggam kuat jari jemari Alfa.
"Gue nggak papa. Lihat kan gue sehat, gue masih bisa gerak, gue masih bisa ngomong."Alfa mengusap lembut kepala Abel, Alfa merasa bersalah kepada teman-temannya ini terlebih lagi Abel. Alfa lah yang terus membuat Abel khawatir, tapi mau bagaimana lagi sudah takdir Alfa seperti ini.
"lo jahat Al, lo benar-benar jahat. kenapa lo nggak cerita sebelumnya?" Emosi dan rasa kekesalan Irvan meluap, dengan tetesan air mata di pipi Irvan.
"Tenang dek Irvan. Alfa memang menyuruh om untuk tidak menceritakan penyakitnya kepada siapapun, Alfa juga yang bersikeras untuk tetap bersikap biasa saja layaknya orang normal pada kehidupan sehari-hari ini," tungkas Papah Alfa yang baru saja masuk ke dalam ruangan dan ikut menimbrung bersama mereka.
"Kenapa?"
"Karena gue yakin, suatu saat nanti gue akan sembuh. Gue nggak akan menyerah begitu saja dengan penyakit ini. Sudah 10 tahun gue bersahabat dengan penyakit yang gue derita ini, suka maupun duka harus gue hadapi.”
Mereka kaget atas kenyataan yang di lontarkan oleh Alfa? Sudah begitu lama sekali Alfa mengidap penyakit ini. tetapi mengapa Alfa bisa kuat, Alfa sangat kuat sehingga tak seorangpun tahu akan kondisi Alfa sebenarnya.
"Lo pasti sembuh Alfa, pasti. Disini sahabat-sahabat lo akan terus mendukung dan mendoakan lo untuk berjuang melawan penyakit yang lo derita." Satya memegang telapak tangan Alfa berusaha menguatkan anak itu, sementara Eki sudah tak kuat menahan air mata yang akan keluar dari matanya. Eki terus sesengkukan di kasur yang di tiduri Alfa.
"Aku yakin kau pasti sembuh Alfa. Kami disini menjadi penyemangat setia kau."
Alfa menatapi satu per satu wajah sahabatnya itu. Eki, Satya, Irvan, Naufal berkumpul memuluk badan Alfa sementara Abel dan Kaila saling menggenggam kuat telapak tangan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
AlfAbel [END]
Teen FictionDi kursi panjang ini ku dudukan badanku Menatap kerinduan bintang malam Angin malam megingatkanku Akan lembaran kecil puisi kenangan Tentang tawa yang menggetarkan hatiku Tentang senyum yang menenagkan Dimana rembulan tersenyum padaku Membisikan ray...