Mereka berenam tengah sibuk berlari-lari mencari keberadaan Vanes yang tidak dapat ditemuinya. Padahal ini baru pukul 16.00, sementara pesawat Vanes akan berangkat pukul 17.00. Abel dan Kaila kewalahan mencari keluarga Vanes, karena masih menggunakan rok OSIS susah bagi mereka untuk berlari bebas.
Irvan mencoba menghubungi Vanes tetapi nomor ponselnya sudah tidak aktif. Apakah Vanes sudah memasuki lapangan penerbangan, atau jadwal pesawatnya yang di majukan. Eki mencoba menyipitkan matanya, mencari Vanes di antara orang-orang yang berlalu lalang disini. Mata Eki tertuju pada kursi panjang berwarna putih, disana ada dua orang perempuan berambut panjang dan satu pria yang mungkin umurnya 2 tahun diatas Eki.
"Itu Vanes bukan?" teriak Eki pada teman-temannya.
Mereka berlari ke arah kursi putih depan sana, meyakinkan bahwa pengelihatan Eki benar.
"Vanes!" Teriak Abel saat berada dekat kursi putih.
Gadis berambut panjang itu menolehkan pandangannya ke sumber suara. Dan ternyata benar saja, dia adalah Vanes.
"Temannya Vanes ya?" ujar wanita paruh baya di sebelah Vanes.
"Iya Tante. Boleh bicara sebentar dulu dengan Vanes Tante, sebelum dia berangkat," izinya pada mamah Vanes dan mendapatkan anggukan setuju.
Abel dan Kaila menarik tangan Vanes agak menjauh dari mamah dan abang Vanes. Mereka mencari tempat yang nyaman untuk mengucapkan salam perpisahan mereka.
"Kalian ngapain kesisni?" Tanya Vanes ragu.
"Kami kesini pingin lihat keadaan lo. Lo tega banget sih pindah sekolah nggak bilang-bilang sama kami."
"Tapi, gue nggak pantes diginiin. Gue udah jahat sama kalian. Gue nggak pantes dapat maaf dari kalian."
"Sejahat-jahatnya lo, lo tetap sahabat kami. Lo nggak boleh berpikir kalau kami benci lo. Malahan kami merasa bersalah karena selalu mencuekan lo selama ini. Kami mau, di kota baru lo nanti, lo nggak pernah ngelupain kami," terang Abel pada Vanes.
Setetes Air mata keluar dari mata Vanes. Vanes sangat bahagia karena dirinya bisa mengenal teman-teman sebaik mereka. Vanes memang bodoh karena dirinya pernah menghianati mereka, terutama Abel dan Irvan. Ini adalah penyesalan di hidupnya, menyia-nyiakan sahabat sendiri demi keegoisannya. Dirinya benar-benar menyesal. Vanes janji akan pribadi yang lebih baik, yang akan menghargai arti sebuah ikatan persahabatan.
"Vanes ayo siap-siap," ujar mamah Vanes yang sudah berhasil mendekati mereka.
"Iya mah sebentar."
"Jaga diri lo baik-baik disana. Jangan sampai mengulang kesalahan yang sama. Kalau lo bete disana lo bisa menghubungi kami," ujar Naufal pada Vanes dan mendapatkan senyum manis dari Vanes.
Vanes pamit kepada mereka, menahan semua air mata yang akan keluar dari matanya. "Terimakasih atas segalanya. Semoga dilain waktu gue bisa ketemu dengan kalian. Gue pamit dulu. Maaf untuk segala yang pernah gue perbuat kepada kalian."
"Terimakasih jam tangannya, gue janji akan gue pakai terus. Semoga kita bisa bertemu di kampus impian, UNPAD, " terang Irvan sebelum Vanes pergi. Irvan menjaga image, menahan air matanya agar tidak keluar.
Saat perpisahan ini, Irvan teringat akan kenangan manisnya bersama Vanes di Bandung dulu. Vanes pernah bercerita jika ia ingin sekali menjadi mahasiswa di salah satu universitas terbaik di Bandung. Gadis itu selalu antusias jika membahas universitas impiannya. Irvan bahkan tak percaya jika Vanes pernah menghianatinya. Irvan membuang jauh-jauh pengalaman pahitnya itu.
Vanes tersenyum kepada mereka, mengusap air mata yang sudah keluar dari matanya. Vanes berjalan menjauh dari mereka. Lama-lama tak terlihat dan menghilang dari pandangan mereka.
***
Alfa menuju ruang tengah rumahnya, ruang yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang keluarga. Dulu Alfa berpikir, untuk apa memiliki ruang keluarga jika hanya dirinya saja yang menepati rumah besar ini.
Alfa menemui papahnya yang sedang bersantai menonton acara televisi. Jarang-jarang sekali papahnya menyetel televisi, karena kesibukan kerja. Alfa duduk di sofa sebelah dengan papahnya, papahnya merasa kaget tidak percaya karena melihat putranya yang tiba-tiba menghampirinya.
"Ada apa? Obatnya udah diminum?"
Pasti saja perihal obat yang papahnya tanyakan jika bertemu dirinya. Padahal Alfa baik-baik saja sekarang ini."Pah, Alfa minta maaf," ujar Alfa pelan tapi jelas.
Mata papahnya yang tadi menatap layar televisi berganti menatap putra dihadapannya. Rasanya aneh saja jika putranya mengatakan kata 'maaf' kepadanya. Apakah ini benar-benar putranya? Apakah dirinya sedang bermimpi?
"Maaf untuk apa?" tanya papahnya menatap lekat wajah putranya.
Alfa menyenderkan kepalanya di pundak papahnya, sudah lama sekali Alfa tidak sedekat ini dengan papahnya. Papah Alfa mengusap rambut Alfa halus, rasanya tidak percaya jika hubungannya dengan putranya sudah membaik. Papah Alfa sangat bersyukur atas kembalinya Alfa dalam pelukannya. Tidak ada hadiah yang sebahagia ini dalam hidupnya, ini benar-benar hadiah terindah yang tuhan kirim kepadanya.
"Alfa minta maaf karena sering mengecewakan papah. Tidak mendengar perkataan papah, Alfa juga sudah kurang ajar kepada papah."
"Kamu tidak mengecewakan papah Alfa, papah bangga padamu. Setiap kepala sekolah menghubungi papah untuk memberitahu pencapaianmu, papah tidak ada untukmu. Seharusnya papah di sampingmu, menemani kamu dan mendukung kamu. Seharusnya papah memberikan semua kata selamat atas pencapaian-pencapaian kamu yang membanggakan Ini salah papah juga karena papah tidak menyempatkan waktu luang untuk bisa bersama dengan kamu. Maafkan papah."
Alfa mengangkat kepalanya dari senderan pundak papahnya, menatap papahnya dan tertawa kepadanya, "Papah aku mau kembali menjadi anak kecil lagi. Melupakan semua masalah yang sudah terjadi, dan bermain-main bersama papah lagi."
Papah Alfa ikut tertawa mendengar pengakuan yang dikonsumsi oleh putranya. Alfa memang sudah remaja, usianya sudah menginjak 18 tahun. Tetapi sifat kekanak-kanakannya kadang muncul menyelimutinya di sifat dinginnya.
"Papah punya hadiah untuk kamu."
"Apa?"
Papah Alfa berdiri dari duduknya, meninggalkan Alfa di depan televisi yang masih menyala di ruang keluarga. Setelah beberapa menit, papah Alfa kembali membawakan sesuatu hadiah pada putranya.
"Selamat ulang tahun. Walau ulang tahunmu sudah terlewat beberapa bulan lalu," papah Alfa memberikan kunci mobil pada Alfa, membuat Alfa tersenyum sumringah.
"Mobil? Jadi mobil putih yang di garasi itu-"
Alfa tidak melanjutkan ucapannya karena terbawa bahagia. Sudah bebrapa bulan lalu Alfa melihat mobil baru di dalam garasinya. Alfa pikir iu adalah mobil untuk kantor papahnya. Alfa bingung kenapa mobil itu tidak pernah di sentuh sekalipun oleh papahnya, papahnya masih saja menggunkan mobil lawasnya saat pergi berkerja. Dan sekarang Alfa tau jika mobil yang papahnya beli di sela beberapa hari ulang tahunnya itu adalah mobil miliknya, hadiah dari papahnya.
"Iya sudah lama papah beli mobil itu buat kamu, dan baru sekarang papah beri kuncinya ke kamu. Kemarin papah lihat, kamu malam mingguan sama anak orang pakai motor gede. Malam cuacanya dingin, nggak baik motor-motoran malam-malam. Nah sekarang kamu kan dah punya mobil, kamu bisa ajak temanmu jalan-jalan juga, jika kamu bosen sendiri."
Alfa memeluk papahnya rapat-rapat tak lupa mengucapkan terimaksih. Alfa sangat bahagia karena hubungan yang sudah renggang oleh papahnya sekarang sudah membaik. Alfa benar-benar bersyukur, karena tuhan masih memberikan kesempatan kepada dirinya untuk menjadi anak yang berbakti kepada orangtua. Alfa juga sangat berterimakasih kepada Abel, yang sudah memberikannya kekuatan untuk berani berbicara pada papahnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/99061604-288-k186211.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AlfAbel [END]
Novela JuvenilDi kursi panjang ini ku dudukan badanku Menatap kerinduan bintang malam Angin malam megingatkanku Akan lembaran kecil puisi kenangan Tentang tawa yang menggetarkan hatiku Tentang senyum yang menenagkan Dimana rembulan tersenyum padaku Membisikan ray...