Hari ini mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sesuai janji Bu Ella Minggu kemarin, hari ini adalah penilaian ujian praktek pembacaan puisi. Sebenarnya ujian praktik ini sangat mudah karena Bu Ella hanya minta membacakan puisi yang pernah muridnya buat waktu kelas 11 kemarin. Pasangan yang dipilih untuk membacakan puisi ini juga sama seperti waktu kelas 12.
Irvan begitu kesal atas peraturan ujian praktik kali ini. Pasalnya ia harus pindah bangku sebentar dengan Vanes untuk menyelesaikan ujian praktik Bahasa Indonesia, karena waktu kelas 11 Irvan membuat puisi bersama dengan Vanes. Di bangku Vanes terlihat gugup akan kedatangan Irvan yang duduk di bangkunya. Untuk menitupi rasa gugupnya, Vanes berpura-pura membaca buku pelajaran di mejanya.
"Ayo duduk sesuai kelompok masing-masing. Ibu akan menilai puisi dan pembacaan puisinya"
Satya mengusir Abel dari bangkunya, karena Satya berkelompok dengan Kaila saat membuat puisi tersebut. Abel membulatkan matanya, dirinya cemburu akan teman cowok yang menghampiri teman ceweknya, rata-rata seperti itu. Tidak dengan Alfa yang hanya duduk berdiam di pojokan, tanpa menghampiri bangkunya. Cowok itu benar-benar dingin.
"Alfa lo kok nggak datang ke bangku gue sih, masa gue yang harus jauh-jauh datang kesini."
“Kan udah dipake Satya dan Kaila.”
Abel diam tak merespon kembali jawaban Alfa. Sebenarnya, Abel sangat merindukan hal ini. Rindu dengan suasana dingin Alfa, rindu akan sebangku dengan Alfa.
"Abel, coba kamu baca puisi yang sudah kalian berdua buat. Ibu mau dengar suara kamu!"
Abel mengambil kertas polio yang beruliskan ujian Praktik Bahasa Indonesia. Di dalamnya ada sebuah puisi yang Alfa dan Abel buat waktu kelas 11. Waktu itu mereka membuat puisi bersama melalui whatsapp.
Di kursi panjang, kududukan badanku
Menatap kerinduan bintang malam
Angin malam mengingatkan
Lembaran-lembaran puisi kenanganTentang tawamu yang menggetarkan jantungku
Tentang senyum yang menenangkan hati
Dimana rembulan tersenyum padaku
Membisikan rayuan-rayuan manis"Cukup, intonasinya sudah lumayan bagus. Lanjut Alfa!"
Waktu,
Kenapa begitu cepat berlalu
Mengambil seseorang yang kurindu
Dimana ku tak dapat bertemuRindu,
Alamku dan alamnya sudah berbeda
Segala kenangan yang berlalu
Tak akan pernah dapat terulang"Puisinya lumayan bagus, tapi perlu diperbaiki. Majasnya kurang, puisinya seperti curhat."
Abel melongo kearah Alfa. Abel ingat, dirinya tidak membuat puisi baid terakhir itu, dan sebenarnya masih ada satu baid lagi yang belum dibacakan Alfa. Lalu kenapa bagian terakhir yang tidak ia tulis, bahkan tidak pernah ia pikirkan bisa muncul.
***
Istirahat ini Abel duduk di bangku taman bersama dengan Kaila. Abel menyeruput es yang dibelinya di kantin, sementara Kaila memakan nikmat batagor yang didapatkannya dari Satya.
"Lumayan batagor gratis, enak," pamer Kaila pada Abel.
"Enak ya, masalah lo sama Satya sudah berakhir. Tinggal masalah gue saja yang masih bimbang."
Kaila menatap lekat wajah Abel, tanganya memegang pundak Abel, "lo itu harus lawan Vanes, nggak usah kasian sama dia. Toh kan dia saja nggak kasian sama lo."
"Tapi-"
Belum saja Abel melanjutkan perkataannya, Vanes datang dengan berjalan sok anggunnya.
"Iya tuh. Yang dikatakan Kaila benar, lawan saja gue dasar lemah!" Vanes menatap Abel tidak suka tatapannya seperti tatapan ibu tiri yang memandang remeh Cinderella.
"VANES!" bentak Kaila murka.
"SUDAH CUKUP!" Abel ikut bicara, sekarang keadaannya lebih menyakitkan.
"Lo lihat kan Bel, orang yang selama ini lo pikirin, bahkan lo pernah bilang jika Vanes dapat berubah. Lihat kelakuannya, sangat-sangat kurang ajar. Lo masih mau hah, nganggap dia sebagai teman lo? Kalau lo waras pasti lo nggak akan pernah sudi punya teman kayak dia."
"Dengan tidak tahu malu, dia datang sok baik dihadapan Alfa. Tetapi jika Alfa tidak bersamanya, lihat perkataannya yang sangat menusuk itu. Dasar playgirl, biasanya manfaatin cowok dan khianati teman. Dia yang membuat ancaman kepada temannya sendiri, dan sengaja membuat Alfa terjatuh supaya lo bisa di salahain Bel. Segala ketidak sengajaan yang membuat lo dan Alfa dalam maslah itu semua sudah di rencanakan oleh Vanes.Lo harus sadar, buka mata lo."
Kaila berbicara dengan penuh kebenaran. Tak terasa air mata jatuh membasahi pipinya. Sebenarnya Kaila juga sama seperti Abel, ia tidak rela jika sahabat yang sangat dipercayainya bisa menusuknya.
"Sudah selesai bicaranya?"
Vanes berjalan mendekati kaila yang tengah duduk di bangku tamannya. Dirinya tersenyum kecut, lalu mengarahkan telapak tangannya mendekati Kaila. Telapak tangannya ia angkat tinggi-tinggi, ingin menampar gadis di hadapannya itu.
Tetapi saat tangan Vanes hendak mendekati pipi Kaila, ada sebuah tangan yang menghempaskan keras telapak tangan Vanes. Membuat telapak tangan Vanes terkilir nyeri.
"Aww..." Vanes melirik samping kanannya, melihat siapa seseorang yang berani menggagalkan semuanya. "Irvan?"
"Ya, gue Irvan. Suatu keajaiban lo masih kenal gue."
"Gue sudah dengar semuanya," Alfa keluar dari balik samping koridor bersama Satya. Wajahnya begitu merah padam. Amarahnya meledak-ledak, ia tidak percaya atas apa yang dilakukan Vanes padanya dan Abel. Vanes berjalan mendekati Alfa, Vanes ingin mengatakan jika semua yang dikatakan Kaila itu dusta.
"Alfa lo percaya sama mereka?"
"Gue percaya. Harusnya lo malu masih berada disekolah ini, dan masih menampakkan diri di depan teman-teman gue. Khususnya Abel."
Alfa menarik tangan Abel, membawanya menjauhi taman ini. Abel menurut kemauan Alfa, sekarang dirinya sudah tidak merasa kasian lagi kepada teman busuknya.
"Bagaimana kalau Vanes mengancam gue lagi?" tanya Abel setelah sampai di bangku singgasananya.
"Kenapa lo nggak pernah cerita kalau lo diancam Vanes?"
"Apa peduli lo?"
"Gue peduli jika ada orang yang tidak mendapatkan keadilan."
"Jika lo peduli, kenapa lo nggak pernah menerima cinta gue?" tanya Abel yang malah membuat Alfa canggung.
"Karena lo bodoh," ujar alfa- cepat tapi jelas. Abel tidak tahu jika pertanyaan candaanya akan dijawab serius oleh Alfa.
"Oh. Sekarang gue tahu, lo berpikir kalau gue yang tiap hari masuk sekolah saja rangkingnya nggak bisa masuk sepuluh besar. Sementara lo yang bolos setiap saat bisa menjadi juara favorit, gitu kan? Harusnya gue tau dari dulu tentang ini, dan gue sadar gue emang nggak pantas buat lo."
"Bukan itu."
"Lalu?"
"Lo bodoh karena lo nembak gue. Seharusnya lo ngomong sama gue, kalau lo mau ditembak sama gue."
Abel terdiam, kepalanya ia tundukkan kebawah. Bibirnya terus tersenyum malu-malu. Entah sejak kapan, jantungnya berdegup kencang, hatinya merasa berbunga-bunga dengan perkataan yang dilontarkan Alfa baru tadi.
"Jadi apa gue harus nyuruh lo untuk nembak gue?" tanya Abel penuh kesenangan dan diberikan anggukan oleh Alfa.
Alfa menghembuskan napasnya dalam-dalam. Saat ini dirinya benar-benar gugup. Rasanya seperti ada setrum yang menyengat di tubuhnya.
"Abel, mau nggak jadi pacar gue.”
Hati Abel berbunga-bunga rasanya seperti mimpi siang yang berubah jadi kenyataan. Ingin rasanya Abel berteriak dan mengatakan ke seluruh dunia jika diirnya sangat bahagia. Tanpa berpikir panjang Abel menganggukan kepalanya, menerima perasaan Alfa.
Dibalik jendela Kaila, Irvan, Satya tertawa terkekeh-kekeh mendengarkan percakapan yang dilakukan Abel dan Alfa.
“Selamat ya kalian cieee…”
![](https://img.wattpad.com/cover/99061604-288-k186211.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AlfAbel [END]
Novela JuvenilDi kursi panjang ini ku dudukan badanku Menatap kerinduan bintang malam Angin malam megingatkanku Akan lembaran kecil puisi kenangan Tentang tawa yang menggetarkan hatiku Tentang senyum yang menenagkan Dimana rembulan tersenyum padaku Membisikan ray...