Abel dan Eki?

989 229 74
                                    

Eki melajukan kendaraannya dengan sangat pelan, membuat Abel greget menghadapinya. Karena Eki anak pindahan baru dari Batak, Eki tidak begitu hafal jalan-jalan yang ada di Jakarta ini. Hal ini membuat Abel harus bersabar dua kali lipat dari sebelumnya.

"Eki ini jalan menuju perumahan Berlian permai, kalau lo kesini berarti lo kerumahnya Alfa bukan gue. Rumah gue masih jauh lurus terus aja."

Awan mendung menyelimuti jalanan ini. Percikan-percikan air mulai turun dari awan dan kemudian hujan turun dengan derasnya membasahi jalanan ini. Sesekali, kilat menyambar, awan yang redup terang seketika dan kemudian meredup lagi. Hujan semakin deras, mengharuskan Abel dan Eki untuk berhenti sejenak.

Eki meminggirkan motornya di tempat parkiran rumah makan dan mengajak Abel untuk memasuki rumah makan itu. Suara bersin terus keluar dari mulut Abel, hidung yang tadinya kuning Langsat menjadi merah tomat. Hal ini membuat Eki tertawa terpingkal-pingkal dan terus mengejeknya.

Karena tak tega melihat wajah Abel yang semakin merah, Eki melepaskan jaket hitamnya dan menyimpannya di pundak kiri kanan Abel. Abel masih terus bersin, Eki yang tak tahu harus berbuat apa langsung memakaikan jaket itu ke badan Abel.

"Ada apa dengan kau ini hah? Dari tadi bersin terus, kau elergi kumis kucing kah?" Ujarnya Eki.

"Hacimmm... " Eki mengeluarkan suara bersin yang sangat keras, membuat Abel tertawa balas dendam.

Eki dan Abel memasuki rumah makan sederhana itu, pengunjung yang datang disini sangat bervariasi. Dari mulai anak kecil, remaja, hingga orang dewasa ada di rumah makan ini.

Eki memesan dua soto ayam dan dua teh hangat untuk dirinya dan Abel. Sudah dari tadi perut Eki terasa lapar, dan akhirnya sekarang bisa makan juga.

"Lo nanti hafal nggak jalan pulangnya? Kalau lo kesasar nanti mak lo ngomel-ngomel sama gue gimana?"

"Tenang saja kau, otak saya tu sangat encer. Kau tau tak? Air putih dari Batak itu selalu membuat orang yang meminumnya jadi pintar dan tidak pelupa."

"Emang bisa?"

"Ya tentu bisa lah."

***

Hujan deras ini membuat Alfa dan Irvan harus mengurung diri di dalam rumah. Bukannya belajar untuk ujian, Alfa malah asyik bermain catur dengan Irvan. Catur aalah permainan yang sering mereka lakukan waktu kecil dulu. Sejak kecil Irvan dan Alfa sudah di ajarkan permainan asah otak ini oleh paman Irvan.

Bermain catur adalah permainan yang menyenangkan bagi Alfa, karena kenapa sangat menyenangkan, karena di sini otak Alfa di buat berpikir serius untuk membunuh raja musuhnya. Butuh kepandaian untuk bermain catur, menurut Alfa permainan catur adalah strategi perang yang simpel tetapi susah.

"Eh Alfa apa yang akan lo lakuin semisal ratu lo posisinya nggak aman? Di sana cuman tersisa raja anggap aja lo dan ratu, sementara kuda dan anak buah lo udah lenyap."

"Gue akan menjaga ratu gue."

"Kalau raja lo jaga ratu berarti raja tidak aman. Disini raja lenyap permainan kalah!"

Alfa tampak berpikir keras, pertanyaan simpel dengan jawaban yang harus dipikirkan dua kali.  Alfa menganggap ratu yang ia mainkan ini adalah mamahnya. Dalam permainan catur, ratu ruang besar untuk berjalan, ruang itu ratu gunakan untuk melindungi rajanya. Nyatanya mamahnya ini lah yang selalu melindungi dirinya agar tetap aman,. Mamahnya juga lah yang berani mengorbankan nyawanya demi keselamatan putranya. Dalam permainan catur ini, sebisa mungkin Alfa menjaga mamahnya agar tidak mati di ambil oleh musuh.

“Gue akan bertarung sendiri dan menjaga ratu gue.”

"Harusnya Ratu yang menjaga Raja buka Raja yang jagain Ratu."
Malas menjawab pertanyaan bertubi Irvan, Alfa membiarkan kawaanya itu mengoceh seenaknya.

Ponsel Alfa berdering bergetar, Alfa segera meraih ponsel itu yang ada di atas meja sebelah papan catur. Alfa membuka pesan yang masuk dari ponselnya itu. Alfa merasa tidak percaya ketika melihat chat tak dikenal yang masuk ke nomor ponselnya, mengirimkan sebuah foto. Rasanya seperti janggal.

"Ada apa Fa, muka lo panik begitu?

Irvan segera mendekati Alfa dan melihat pesan apa yang membuat ekspresi wajah Alfa berubah drastis. Irvan sama kagetnya dengan Alfa, ia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Irvan kembali teringat akan cerita Naufal mengenai orang yang sengaja menganggu Abel.

"Itukan Eki sama Abel! Hujan-hujan kayak begini dia ngapain?"

"Aneh, kenapa ngirim foto mereka ke gue?” Alfa bertanya pada Irvan meyakinkan dirinya jika yang dilihatnya ini benar-benar nyata. Kenapa rasanya sesak melihat Abel yang begitu bahagia bersama dengan Eki. Apa mungkin alasan ini yang membuat Abel agak mengindar akhir-akhir ini.

"Lo cemburu ya Al. kalau gue lihat-lihat sih, ada sedikit perasaan yang tumbuh di hati lo kepada Abel. Lo itu nggak usah gengsi, lo ngaku aja kalau lo suka sama dia. Abel itu cewek, pada akhirnya nanti dia juga akan lelah dengan usaha yang sia-sia ini.”

Alfa tak mau berdebat dengan temannya itu. Sudah jelas-jelas dirinya tidak menyukai apalagi mncintai Abel. Temannya ini sedang di fase bucin bersama dengan pacarnya.

Entah kenapa perasaan Alfa tidak terima melihat gambar yang dikirim oleh orang yang tidak dikenalnya. Alfa merasa Abel sudah tidak mempedulikannya lagi. Alfa merasakan hal-hal aneh yang akhir-akhir ini muncul sendiri didalami hatinya. Mengapa sekarang ini dirinya begitu peduli kepada Abel?
Lagi-lagi ponsel Alfa berdering, Alfa meraihnya dengan malas. Pesan singkat tertulis di layar ponsel Alfa.

From: XXX
[Gimana lo masih percaya sama gadis busuk itu? Masih banyak lagi foto yang gue simpen di galeri gue.]

Alfa membanting ponselnya kesembarang arah. Irvan yang jago bermain voli ini menangkap ponsel Alfa dengan sempurna. Irvan membaca pesan singkat di layar ponsel Alfa, Wajah Irvan semakin terheran-heran.

"Eh siapa yang ngirim pesan?"

Malas merespon pertanyaan temannya, Alfa meninggalkan Irvan di meja keluarganya dan berjalan menuju kamar. Kali ini Alfa benar-benar ngantuk.

'Eki? Bukannya Eki itu temannya Naufal ya?" batin Irvan.

Irvan segera meraih ponselnya. Dicarinya kontak Naufal setelah itu ia mengirimkan pesan singkat ke Naufal.

To: Naufal
[Fal, Eki sama Abel mereka nggak pacaran kan?]

Ponsel Irvan berdering, Irvan langsung meraih ponsel itu dengan cepat.

From: Naufal
[Bukan Nyet. Tadi gue nyuruh Eki untuk nganterin Abel ke rumahnya. Tadi gue lihat ada beberapa orang yang mencoba gangguin Abel, ceritanya panjang. Kebetulaan juga Eki tidak hafal jalanan di Jakarta, jadi gue suruh aja pulang bareng,
Irvan menggaruk-garukan kepalanya bingung. Kenapa bisa masalahnya serumit ini. siapa orang misterius yang menyebarkan hoax itu. Berani sekali orang yang mengirimkan berita hoax.]

To: Naufal
[Oke lah kalau masalahnya seperti itu. Gue piker ada macam-macam diantara mereka.]

Mendapat pesan dari Irvan, Naufal menjadi khawatir akan keadaan Abel dan Eki. Naufal merasa bersalah karena meninggalkan Eki yang tak tahu jalanan kota Jakarta sendirian. Buru-buru Naufal menghubungi Eki untuk mengetahui dimaana lokasi mereka sekarang ini.

To: Eki
[Posisi lo sekarang dimana? Lo nggak kesasar kan?]

Baru saja Naufal akan memasukan ponselnya ke dalam saku. Ponselnya ini bordering keras.

From: Eki
[Di rumah makan sederhana. Saya berteduh sebentar karena hujan turun.]

Mendapat balasan dari temannya, buru-buru Naufal mengambil mantel. Naufal akan menyusul temannya itu sekarang juga.

AlfAbel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang