Kaila masih mendengar pengakuan yang sedang dikatakan oleh Abel. Kata demi kata ia pahami, tak jarang juga Kaila memberikan solusi untuk masalah yang dihadapi sahabatnya itu.
Karena sedikit kesal dengan pembicaraan itu, Kaila merebahkan badannya di kasur milik Abel dan mengotak-atik handphond yang ia temukan didamping badannya.
"Kenapa lo nggak bilang yang sebenarnya ke Alfa sih?" ujarnya sedikit membentak. Reflek, Kaila terbangun dari posisi tidurnya dan ditatapnya wajah Abel.
"Nggak!" bantahnya, "Gue nggak akan pernah mengatakan kepada Alfa, apa yang terjadi sebenarnya. Gue rela jika Alfa menjauh, gue cuman ingin Vanes kembali menjadi sahabat kita seperti dulu," Abel memeluk erat bantal yang sedang ia peluk, matanya mulai berkaca-kaca. Abel berusaha untuk tidak mengeluarkan setetes air mata yang sudah membuat bengkak matanya.
"Lo lemah banget sih Bel! Lo sadar nggak sih kalau kita itu di khianati, dia yang dulu sering berkata-kata manis kepada kita, ternyata apa, dia mengkhianati persahabatan kita. Seharusnya kita menunjukkan kepada si pengkhianat itu, bahwa kita juga bisa melakukan apa yang seperti si tai lakukan, bahkan bisalebih kejam lagi." karena jengkel dengan Abel, Kaila mulai berbicara ngelantur dan tidak terkontrol.
Abel tersenyum kearah Kaila, posisi duduk yang tadi berjauhan, sekarang hanya berjarak beberapa centi meter. Kaila menundukkan kepalanya, tak berani menatap wajah Abel. Abel Abel mengusap lembut punggung Kaila, sesekali Kaila menitihkan air mata.
"Lo nggak usah khawatirkan gue. Lo tau, kenapa gue memilih cara ini? Karena gue cewek, gue juga memiliki perasaan cinta ataupun suka seperti yang dirasakan Vaness, dan kak Monic dulu. Rasa cinta Vaness ke Alfa itu wajar, gue nggak bisa menyakitkan hatinya cuman gara-gara masalah cowok yang belum pasti dia cinta sama gue."
"Tapi bagaimana dengan hati lo yang dari dulu ingin mendapatkan Alfa?"
Abel terdiam sejenak. Memang sejak dulu Abel menginginkan Alfa, dan bahkan sekarang sifat Alfa yang berubah membuat Abel lebih terobsesi kepada Alfa.
"Awalnya, gue juga benci dengan cewek yang suka merebut cowok orang lain. Tapi, setelah pengakuan dari Irvan beberapa waktu yang lalu, gue jadi sadar. Cinta itu bukan permainan, cinta adalah sebuah pengorbanan. Jika gue dan Alfa memang berjodoh, toh kan dia akan kembali lagi. Lagian Alfa bukan siapa-siapa gue, gue dan dia cuma sekedar teman, bahkan kita tidak ikatan spesial apapun. Jadi jika ada orang lain yang suka kepadanya, itu hak dia untuk memilih, gue nggak perlu ikut campur," lanjut Abel.
Kaila mengerti perkataan dan perasaan Abel, tadinya Kaila ingin menghibur Abel agar tidak mengingat peristiwa itu lagi, tapi sekarang kondisinya malah terbalik.
💌💌💌
Abel sudah meletakkan ransel sekolah di bangku duduknya. Dengan wajah tanpa dosanya, Alfa memindahkan ransel merah itu di bangku sebelahnya. Setelah meletakkan ransel Abel di bangku sebelah dia, Alfa tersenyum puas penuh kemenangan.
Abel mencoba menarik ransel merah yang sekarang sudah ada di tangan Alfa, tetapi usaha itu sia-sia karena tenaga Abel yang kalah besar dengan tenaga Alfa. Wajah Abel sudah memerah, menunjukkan bahwa dirinya murka.
"Gue nggak mau duduk di depan, hari ini gurunya ganas-ganas. Gue mau duduk dengan Irvan saja," tolaknya masih dengan menarik ransel.
Alfa melepaskan ransel yang sedari tadi ditariknya, membuat Abel kehilangan keseimbangan. Alfa mengambil ransel hitamnya, lalu menempatkan di bangku pertama yang ditempatkan oleh Abel.
"Selesai! akhirnya setelah sekian Minggu gue bisa sebangku lagi dengan lo," ujar Alfa santai.
"Nggak bisa! Hari ini gue duduknya mau dengan Abel, gue nggak mau sebangku dengan Vanes lagi. Bosen tau," tegas Irvan yang entah dari kapan sudah berada di depan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
AlfAbel [END]
Ficção AdolescenteDi kursi panjang ini ku dudukan badanku Menatap kerinduan bintang malam Angin malam megingatkanku Akan lembaran kecil puisi kenangan Tentang tawa yang menggetarkan hatiku Tentang senyum yang menenagkan Dimana rembulan tersenyum padaku Membisikan ray...