Sifat yang berubah

1K 248 84
                                    

Sudah dua hari ini Abel mencoba menjauhi Alfa, tetapi karena kedekatan mereka yang semakin hari semakin menjadi membuat Abel tak rela untuk menjauh dari Alfa. Dirinya sangat takut mengenai kejadian kemarin yang menimpa Alfa, Abel tak habis pikir akan kenekatan Monic yang berani mencelakai Alfa. Cewek macam apa Monic itu, kenapa dirinya tega menyakiti Alfa demi keegoisannya.

Alfa merasa ada yang kurang dengan perubahan sifat Abel. Seharusnya dia senang karena Abel yang cerewet sekarang ini berubah menjadi pendiam, tetapi kali ini tidak, Alfa merasa ada keanehan pada gadis itu. Apa Abel masih merasa bersalah atas kejadian yang menimpannya waktu itu?

Alfa berjalan mendekati Abel yang sedang memahami materi untuk ujian nanti. Tidak mau membuat Abel ke ge-eran, Alfa mendudukan badannya di samping kanan Irvan yang sedang belajar bersama Vanes, kebetulan Irvan duduk berhadapan dengan Abel.
Jantung Abel dibuat berdebar karena kedatangan Alfa yang tiba-tiba. Cobaan apa ini, kenapa Alfa harus mendekatinya sekarang. Abel takut jika aka ada ancaman yang akan melukai Alfa nanti.

“La, gue mau ke kamar mandi dulu.” Abel bangkit dari duduknya dan berlari kecil menuju kamar mandi.

Abel menangis sesengkuan di dalam kamar mandi. Abel masih merasa bersalah dengan apa yang menimpa Alfa kemarin. Ini benar-benar salahnya, dari awal seharusnya ia sadar jika dirinya tak pantas untuk mendapatkan Alfa. Seharusnya ia menerima kenyataan jika Alfa tidak akan menerimanya.

Abel keluar dari kamar mandi, matanya masih sembab karena tangisannya tadi. Abel membasuh mukanya pada air wastafel, di tatapnya wajah manis itu di cermin. Sambil mengusap air matanya dengan tissue, Abel tersenyum dan menguatkan dirinya.
Saat tiba di koridor kelas Irvan memukul pundak Abel pelan, membuat gadis itu terkaget. Irvan di buat terheran-heran dengan sifat Abel yang berubah menjadi pendiam. Irvan sempat ingin menanyakan keadaan Abel, tetapi sepertinya mood gadis ini sedang tidak baik.

Bel tanda masuk kelas berbunyi. Semua murid menyiapkan papan jalan yang telah di sediakan di lemari penitipannya. Ini hari ke lima mereka melaksanakan ujian, masih ada empat hari lagi untuk menyelesaikan ujian yang lain. Lima hari saja rasanya sudah sangat berat.

Ujian kali ini adalah pelajaran Geografi, mata pelajaran tersulit kedua setelah ekonomi. Abel memainkan bulpoinnya, pikirannya sudah mentok. Masih banyak nomer yang belum dikerjakan oleh Abel. Abel mencoba mencari cara agar dirinya bisa mendapatkan jawaban dari temannya. Tak kehabisan ide, Abel menyobek sedikit kertas soal bagian tengahnya lalu menuliskan nomer soal yang belum terisi. Abel menggulung kertas menjadi ukuran kecil.

“Sttt… Kaila….”

Abel terus memerhatikan kearah bangku Kaila, gadis itu clinguk kebingungan. Sepertinya Kaila juga belum menyelesaikan semua nomernya. Mengerti akan kode temannya, Kaila memerhatikan kembali pengawas di depannya. Saat pengawasnya lengah, Kaila memberi kode kepada Abel supaya memberi kertasnya.

“Cepetan lempar,” bisik Kaila pada Abel.

Abel memokuskan lemparannya kearah Kaila, dengan gercep dan hati-hati Abel melemparkan kertas itu.

“Duhh… mampus…”

Kertas yang Abel lempar tidak sampai ke bangku Kaila, melainkan jatuh pada meja Alfa yang berada di sebrang kanan Kaila. Abel semakin grogi di buatnya. Rencana apa yang sedang di atur oleh tuhan sehingga membuatnya terus saja bermasalah dengan Alfa.

Alfa membuka kertas yang di lempar oleh Abel. Di kertas tertulis 25 nomer acak yang belum di jawab oleh Abel. Alfa mengangkat alisnya heran, ujian ini terdiri dari 40 soal dan gadis itu menanyakan lebih dari setengah soal yang ada. Alfa memandang kearah Abel yang sedang menutupi muka dengan tanganya, secepat mungkin Abel menatap pandangannya kearah lembar soal ujiannya. Alfa tahu betul apa yang sedang Abel raakan sekarang ini, dirinya berniat untuk membantu Abel menyelesaikan ujian.

Aman dengan posisi pengawas, Alfa melemparkan kertas contekan itu tepat ke bangku Alfa. Abel melongo melihat Alfa yang mengembalikan kertas padanya. Dibukanya kerts itu cepat-cepat. Abel membulatkan matanya ketika melihat list nomer yang ia tulis di kertas itu terjawab semuanya. Buru-buru Abel mengecek lembaran ujian dan option, jawaban yang diberikan Alfa mendekati jawaban yang menurutnya benar. Abel bingung apakah kali ini dirinya harus meprcayai Alfa. Tidak ingin membuang kesempatan, Abel menyalin semua jawaban yang di berikan oleh Alfa kepadanya.

***

Abel berjalan santai mencari bus umum yang akan dia tumpaki untuk pulang. Sambil meminum es teh yang ada di tangannya, gadis itu berhenti di salah satu halte yang terdapat di depan sekolah dan duduk di kursi panjang. Abel menyipitkan matanya. Pikirannya terus teringat tentang masalah kemarin yang dialaminya.

Lagi-lagi Monic muncul dihadapannya. kali ini dia tidak membawa kedua bodyguardnya, dia datang sendiri. Seperti kemarin, sebelum berbicara gadis berambut pendek itu menepuk-nepukan tangannya. Bibirnya tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putihnya.

"Bagus! Dari dulu dong kayak gini, nggak usah cari muka ke Alfa," ujarnya menepuk pundak Abel.

"HAH? CARI MUKA? Ngaca disini siapa yang sebenarnya ngemis dan cari muka? Ngelabrak orang itu menjijikan lebih baik mengungkapkan perasaan langsung walau tertolak.” Abel berbicara begitu tegas. Karena keinginannya untuk melindungi Alfa, sekarang Abel sudah lebih berani melawan Monic yang serakah ini.

Monic merasa dirinya telah di hina oleh adik kelasnya juga musuh bebuyutannya. Tangan Monic mulai panas rasanya ingin mengeluarkan semua kekuatan yang ia miliki sekarang. Tangannya sudah terangkat keatas dan dalam hitungan detik.

Plakk....

Eki yang sedari tadi melihat drama antagonis itu panas. Eki melihat salah satu temannya di jadikan korban. Eki menggantikan Abel yang akan terkena pukulan gadis iblis itu. Pipinya merah memar dan panas.

"Eki lo nggak apa-apa kan?" ujar Naufal disampingnya.

"Ya pasti sakit dodol!"

"Oh jadi kalian semua pelindungnya Abel? Eh Bel mantra apa sih yang lo gunain, sampai semua cowok deketin lo. Nggak cukup apa godain Alfa, murid baru aja udah lo godain," ujar Monic murka.

"Eh alis tebel sebelah! Dengerin ya, Abel itu temen gue. Nggak usah berani-berani gangguin dia lagi, apalagi ikut campur. Lo itu siapa berani ngatur-ngatur?"

"Dan lo siapa hah berani ngatur gue!"

"Gue? Gue Naufal dan ini temen gue Eki. Kalau lo mau tanya siapa gue lagi, gue bisa sikat lo sampe habis. Nggak ada urusan lain apa ke sekolah selain gangguin hidup orang? Pikir tuh masa depan lo yang nggak ada tujuan jelas. Dasar cewek nggak tau malu.” Naufal membela temannya yang tidak bersalah. Temannya ini sudah mendapatkan ancaman dan perlakuan tidak baik di sekolahnya sendiri.

Monic menghentakkan kakinya keras. Langkahnya begitu tertekan saat meninggalkan halte itu. Perasaan dendam dan kebencian terus menyelimuti tubuhnya. Naufal merasa bangga, karena dirinya dapat mengusir wanita licik di hadapannya. Naufal juga dapat mengetahui masalah yang menimpa Abel. Naufal harap dirinya bisa membantu Abel untuk menyelesaikan masalah ini.

"Gue mohon jangan ceritain ke siapa-siapa tentang masalah ini. Apalagi ke Alfa, gue mohon," lirih Abel.

"Memangnya kenapa, kan bagus kalau si Alfa tau. Masalahnya akan cepat selesai. Terua Alfa bisa terpesona sama elo dan akhirnya kalian jadian. Sesuai apa yang lo mimpiin sejak dulu kan."

"Bukan itu masalahnya. Kemarin aja monic berani menyakiti Alfa, padahal dia juga menyukai Alfa kenapa bisa setega itu melukai Alfa. Anak itu sudah benar-benar kelewatan batas, kita tidak tau tindakan apa yang akan ia lakukan untuk memfitnah orang untuk mendaptkan Alfa. Jadi tolong jangan omongin ke siapa-siapa."

"Lo bener juga Bel! Kita belum tahu apa strategi dia berikutnya. Kita akan ikutin dulu apa permainannya," Ujar Naufal serius.

"Mendingan hari ini lo pulang bareng Eki aja, gue punya firasat kalau cewek itu bakalan ngejar lo lagi," ujar Naufal mengalihkan pembicaraan.

"Iya saya setuju. Kebetulan saya masih nyasar dengan jalanan kota Jakarta."

AlfAbel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang