Bintang-bintang berkelap-kelip jauh di malam yang dingin. Musik berkumandang. Hiasan lampu berwarna-warni berjejer terang di rumah Irvan. Semua orang disana sedang asyik menikmati pesta ulang tahun yang di selenggarakan oleh Irvan.
Tidak hanya teman sekolahnya saja yang ada, tetapi beberapa rekan kerja ayah Irvan juga ikut bergabung. Irvan tengah sibuk menyambut tamu undangan yang datang. Beberapa tumpukan kado, terkumpul menjulang di kamar milik Irvan.
Sambil memegang segelas sirup, Abel menengok-nengokan kepalanya ke segala arah. Mencari sosok yang dikenalnya di tempat ramai ini. Mata Abel tertuju pada daun pintu yang terbuka lebar, Abel segera berlari ke sana, tangannya masih menggenggam gelas kaca.
"KAILA... SATYA..." teriak Abel setelah berada tak jauh dari mereka. Tetapi mereka yang dipanggil tak mendengar teriakan keras Abel, karena suara dentuman musik yang membuat telinga menjadi ngilu.
"Huhhh... kalian berdua dipanggil dari tadi nggak noleh-noleh," kesal Abel setelah berada dihadapan Kaila dan Satya.
"Eh Abel,” jawab Kaila sambil menyengir.
"Dimana Alfa?" tanya Satya yang sedari tadi tak melihat Alfa.
"Katanya Alfa jemput Eki dirumahnya, soalnya Eki belum tahu rumah Irvan."
"Naufal?"
"Naufal disuruh Irvan jemput Kak Karen."
Setelah lama berdiri diambang pintu, Abel menyuruh mereka untuk masuk ke rumah Irvan. Abel pegel sedari tadi berdiri terus, Abel ingin mencari kursi kosong atau tempat apa saja yang bisa digunakan untuk duduk. Abel menemukan anak tangga yang sepi di duduki tamu, dengan cepat Abel menarik tangan Kaila dan menyuruh Kaila duduk di salah satu anak tangga.
Sebelum itu Kaila mengambil makanan favoritnya untuk dijadikan santapan saat menongkrong nanti. Dengan geragas, Kaila mengambil lima buah sushi, satu mangkuk salad, satu piring sate, cemilan kebab dan segelas air sirup. Karena tangan Kaila cuman dua, tidak bisa membawa semua makanan yang dipilihnya. Kaila menyuruh Abel membawakan separuh dari makanannya.
"Gue laper Bel. Tadi gue sengaja nggak makan sore biar bisa puas makan di sini,: ujar Kaila dengan polosnya.
Ternyata sikap irit Satya masih juga belum berhenti. Kenapa temannya ini bisa bertahan dengan orang sepelit Satya? Abel menggelengkan kepalanya, lalu menutupi wajahnya dengan telapak tangannya. Abel malu dengan tingkah laku Kaila yang sangat gragas."Lo nggak makan Bel?" tanya Kaila sebelum menyuapkan makanannya kedalam mulut.
"Nggak. Tadi gue datang awal, udah nyicipin semuanya."
Kaila menjitak dahi Abel pelan, ingin rasanya Abel melahap habis-habis teman di depannya itu, "itu namanya sama aja. Cuman bedanya lo ngambil makanannya satu-satu, kalau gue langsung lima."
Tak lama kemudian Alfa datang bersama Naufal dan Eki. Mereka ikut duduk di anak tangga, sambil menunggu Satya yang ntah dari mana menghilang saat izin mencari makanan."Dimana kak Karen?" tanya Abel pada Naufal.
"Udah lari cari Irvan," jawab Naufal. "Tadi waktu gue jemput Karen, gue ketemu Vanes. Vanes nitipin kado ke kak Karen untuk Irvan."
"Kenapa dia nggak datang ke sini aja?"
"Malu kali."
Alfa berdiri dari duduknya, menyuruh Abel ikut bersamanya. Abel yang disuruh hanya manut mengikuti perintah Alfa.
"Mau kemana?" tanya Abel pada Alfa.
"Keluar ruangan, engap di dalam."
Alfa menyuruh Abel untuk melewati pintu samping rumah Irvan, karena pintu utama sudah penuh terisi oleh para tamu. Tidak salah jika tamu undangan Irvan sangat meledak, banyak dari mereka juga yang tidak mendapatkan undangan hadir di acara ini. Irvan adalah salah satu atlet olahraga yang terkenal di sekolahnya. Terlebih lagi, sejak saat SMP Irvan sering menjuarai pertandingan basket yang membuatnya lebih terkenal.
Abel melihat sekeliling ruangan, dekorasi-dekorasi monokrom dengan tambahan lampu warna-warni membuat ruangan ini terlihat menakjubkan. Abel melihat-lihat rak panjang kaca yang berisi piagam penghargaan, piala-piala kejuaraan, kalung penghargaan. Di atas rak panjang, tertuliskan ukiran nama Irvan yang berarti semua penghargaan itu berasal dari jerih payah Irvan.
Abel berhenti di rak kaca, karena Alfa yang tidak melanjutkan langkah kakinya untuk berjalan. Alfa berhenti setelah berhadapan dengan pria paruh baya yang menggunakan jas hitam berdasi. Abel mengerutkan keningnya heran, karena sebelumnya Abel belum pernah melihat pria itu.
"Ternyata kamu tidak lupa dengan hari ulang tahun temanmu, anakku. Aku kira kamu melupakannya seperti kepada ku," ujar pria paruh baya itu formal.
Alfa menatap tajam mata pria itu, lalu membuang tatapannya ke segala arah. "Lalu bagaimana dengan diriku yang selalu kau abaikan. Papah?"
Pria itu tersenyum kecil, menatap wajah putranya. Tatapannya berganti ke arah kanan, menatap wajah Abel yang berdiam kikuk di bawah rak-rak kaca, “Kau seharusnya mengerti tentang keadaan papahmu ini.”
"Bagaimana aku bisa mengerti, jika kau tidak pernah ada untukku. Kau selalu sibuk dengan pekerjaan mu, sampai kau lupa jika dirumah mu kau memiliki seorang anak.”
"ALFA! Jaga ucapamu!"
Abel tersentak kaget mendengar amarah yang keluar dari mulut papah Alfa. Sedari tadi mereka berbicara dengan nada pelan, tetapi sekarang suaranya bisa terdengar hingga pojok-pojok ruangan.
"Tuan Ryan kau disini rupanya. Ada Alfa juga, ayo silakan menikmati acaranya," ujar ramah papah Irvan yang baru saja datang.
"Hai Tuan Anwar. Selamat atas hari ulang tahun putra mu yang ke delapan belas tahun. Semoga Putra mu jadi anak yang lebih berbakti kepada orang tua."
"Terimakasih. Sudah lama kita tidak saling jumpa, aku kira kau tidak menghadiri pesta ini."
Tuan Anwar mengajak Papah Alfa pergi berbincang-bincang. Tanpa pamit dan permisi, mereka meninggalkan Alfa dan Abel di ruang tengah.
***
Alfa menerobos angin malam yang dingin, bersama dengan Abel keluar dari keramaian pesta Irvan. Angin malam yang berhembus kencang, membuat ujung hidung dingin membeku. Abel menggosok-gosokan tangannya untuk mendapatkan kehangatan.
Alfa menambah laju motornya semakin kencang, membuat semua angin yang datang masuk hingga rusuk-rusuk tulang. Abel menyuruh Alfa untuk merendahkan laju motornya, tetapi pemuda itu tidak mendengarkan perkataan Abel. Abel semakin ngeri ketika dibonceng oleh Alfa sekarang ini.
Di bundaran lapang, Alfa memarkirkan motornya. Menyuruh Abel turun dari motornya. Alfa melepaskan helm yang digunakannya. Suasana bundaran lapangan kota malam ini sangat ramai. Banyak sekali pasangan muda-mudi yang menongkrong memenuhi bundaran lapangan. Mungkin karena ini malam Sabtu, maka peningkatan pengunjung yang datang juga banyak. Alfa mendudukkan tubuhnya di rumput-rumput lapangan itu, menyuruh Abel tetap bersamanya.
"Apa lo sering bersikap seperti itu kepada papah lo?" tanya spontan Abel yang sedari tadi terpikir sepanjang perjalanan.
"Apa hati lo nggak merasa sakit, setelah mengatakan semua yang lo katakan seperti tadi?"
Masih tak ada jawaban dari Alfa. Abel mengelus pundak Alfa pelan, tangan yang satu lagi memegang kuat lengan Alfa.
"Alfa lo lihat orang-orang yang ada disini. Mereka terlihat seperti bahagia. Tetapi kita tidak tahu, jika di balik tawa kebahagiaan, mereka juga memiliki masalah. Pada setiap manusia pasti kits memiliki masalah ntah itu kecil atau besar, tetap saja masalah adalah masalah. Tuhan adil, Tuhan akan memberikan obat waktu untuk menghilangkan masalah yang dihadapi umatnya."
"Lo jangan mengecewakan papah lo, karena dalam waktu sibuk apapun dia masih pulang kerumah untuk melihat putranya. Kalau benar dia tidak peduli dengan lo, dia nggak mungkin pulang kerumah. Papah lo uangnya banyak, kenapa dia nggak menetap di rumah yang dekat dengan tempat kerjanya saja? Kan itu lebih simpel daripada seminggu sekali pulang ke Jakarta. Lo tau kenapa? Karena papah lo sayang banget sama lo, dia nggak mau ngerepotin lo yang harus pindah-pindah sekolah mengikuti papah lo bekerja," jelas Abel panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
AlfAbel [END]
Teen FictionDi kursi panjang ini ku dudukan badanku Menatap kerinduan bintang malam Angin malam megingatkanku Akan lembaran kecil puisi kenangan Tentang tawa yang menggetarkan hatiku Tentang senyum yang menenagkan Dimana rembulan tersenyum padaku Membisikan ray...