Setelah selesai libur pendek selama tiga hari, anak-anak kelas 12 melaksanakan ujian sekolah berbasis Negara yang sudah dimulai hari ini. Kelas XII IPS 2 dibagi menjadi dua kelas. Nomer absen 1-16 menepati ruang 5 sementara 17-32 menepati ruang 6. Alfa, Abel, dan Irvan memasuki ruang yang sama, sementara Kaila dan Satya memasuki ruang 6.
Hari pertama USBN sudah di pertemukan dengan mata pelajaran terberat baik Mipa maupun IPS. Kelas Mipa harus menghadapi mata pelajaran matematika, peminatan kimia, LM Perancis. Di kelas IPS, mereka harus menghadapi mata pelajaran matematika, peminatan ekonomi, LM Jepang.
Abel duduk termenung menatap lembar soal yang bertuliskan mapel Ekonomi, padahal baru satu jam lalu otaknya sudah panas menjawab soal matematika yang sama sekali tidak dimengertinya.
Abe menengok kepalanya ke segala arah, melihat keadaan teman-temannya yang akan di jadikan korban contekan. Abel melihat ke depan, melihat pengawasan yang sedang sibuk memainkan handphonenya. Ini adalah kesempatan Abel untuk mencari contekan. Abel menatap ke arah meja Irvan yang terus menunduk ke bawah, sepertinya Irvan membawa contekan. Tatapannya beralih ke sebelah kiri, di lihatnya Alfa yang tengah sibuk mengerjakan soal. Abel ingin memanggil Alfa, tetapi niat itu ia urungkan. Biarkan Alfa berkonsentrasi.
Di menit-menit terakhir Abel terus menatap Alfa, berharap Alfa menatapnya balik dan dirinya bisa bertanya. Abel kurang mempercayai jawaban dari teman-temannya, dirinya ingin lebih memastikan jawaban terbenarnya kepada si genius Alfa.
"Alfa," panggil pelan Abel yang membuat Alfa mengharapkan wajahnya kepada Abel. "No 30-40."
Alfa menatap lembar jawaban miliknya, melihat semua nomer yang di tanyakan Abel. Alfa memberikan kode tangan untuk menjawab pertanyaan Abel, Abel yang mengerti dengan kode itu segera menyalin di lembar jawaban.
"Makasih-makasih."
Alfa kembali melihat lembar jawabannya. Meneliti pilihan ganda yang belum di silangnya. Karena waktu hampir habis, Alfa mengumpulkan lembar soal dan jawabannya kepada pengawas. Lalu berjalan meninggalkan ruangan.
***
Pulang sekolah ini Alfa mampir ke rumah Abel. Alfa ingin berbincang-bincang sebentar dengan keluarga Abel, mumpung mamah dan Abang Abel berada di rumah. Papah Abel masih berada di luar kota, karena pekerjaan kantornya yang belum juga selesai.
Alfa berjalan perlahan-lahan, menyapu tatapan matanya ke deretan dinding tembok yang terdapat bingkai-bingkai foto. Sekitar lima bingkai foto, terpampang foto Abelnwaktu kecil hingga seumuran sekarang. Ruangan ini sudah tidak asing lagi bagi Alfa, apalagi Alfa pernah menginap semalam di rumah ini. Jadi Alfa sangat hafal benar dengan letak-letak accesoris yang berada di ruangan Abel.
"Itu foto Abel waktu masih kecil. Tante ceritaiin ya, dulu tuh Abel kecilnya nakal susah di atur. Nggak bisa diam, apalagi kalau sudah main sama abangnya. adanya berantem mulu," cerita Mama Abel pada Alfa yang membuat Gilang abangnya terkekeh geli.
"Jangankan dulu mah, sekarang aja masih tetap nakal. Pacarnya satu doinya lima," sambung Gilang memanas-manaskan suasana
"Bohong itu Mah, Al. Jangan percaya sama omongan Bang Gilang, di kelasnya aja nggak ada yang percaya sama bang Gilang. Pantes aja nasibny masih Jones, mana ada orang yang mau sama bang Gilang," sambung Rahel yang merasa di fitnah.
"Ya sudah-sudah, Mama percaya sama omongan kalian berdua. Alfa di minum dulu minumnya, cemilannya di makan dulu," suruh Mama Abel sopan, "Bagaimana dengan keluarga mu Alfa? Mamah, Papah baik-baik saja?"
Abel menatap iba ke arah Alfa. Mamahnya memang belum tahu tentang latar belakang keluarga Alfa. Apalagi soal kematian Mamah Alfa yang sudah beberapa tahun lalu.
"Papah baik-baik saja. Sekarang Papah lagi di Surabaya, biasanya pulangnya seminggu tiga kali. Kalau Mamah, Mamah sudah nggak ada sejak aku kecil. waktu itu ulang tahunku yang ke empat tahun."
Mamah Abel dan Gilang menatap tak percaya ke arah Alfa. Anak yang tampak baik-baik saja bahkan hampir memiliki kehidupan sempurna, ternyata memiliki masalah yang begitu besar. Gilang tidak percaya dengan perkataan yang di lontarkan Alfa, pasalnya saat Alfa menginap satu kamar di kamarnya Alfa tidak pernah menceritakan apapun. Bahkan anak itu sangat bahagia.
"Maafin Tante Alfa. Tante benar-benar nggak tahu."
"Nggak apa-apa Tante. Kadang aku sering berpikiran, jika mamah masih berada di dunia ini. Mamah pergi sebentar keluar, dan secepatnya kembali. Tetapi setiap kali aku berpikiran seperti itu, mamah juga tak kunjung pulang ke rumah. Di situ aku sadar, Mamah benar-benar sudah tiada."
Mamah Abel berjalan mendekati kursi yang di duduki oleh Alfa. Dirinya mengerti perasaan apa yang tengah di rasakan oleh Alfa ketika di tinggal pergi selamanya oleh Mamah tersayangnya, rasa itu juga pernah di rasakan oleh Mamah Abel ketika dirinya masih berusia 12 tahun. Waktu itu nenek Abel meninggal dunia karena penyakit kanker yang di alaminya, dan saat itu juga mamah Abel menjadi anak piatu.
"Udah Alfa jangan sedih. Kalau kamu kangen dengan sosok mamah kamu, kamu boleh menganggap Tante sebagai mamah kamu. Panggil Tante dengan sebutan mamah," Mamah Abel mengusap punggung Alfa pelan, memeluk anak itu lekat-lekat.
"Mamah?" panggil Alfa pelan kepada mamah Abel.
"Panggil saja Tante mamah, Tante nggak keberatan. Malahan Tante senang kalau punya anak yang mandiri seperti kamu ini."
"Mamah... " ujar Alfa sekali lagi. Sudah lama lidah Alfa tidak mengucapkan nama Mamah di hari-harinya. Sudah lama juga Alfa merindukan sosok Mamah di hidupnya. Bukannya Alfa tidak bersyukur memiliki Papah yang kuat dan tabah seperti papahnya sekarang ini. Hanya saja kasih sayang Papah sangat berbeda dengan kasih sayang Mamah yang tulus.
“Kata Abel kamu masuk penyaringan SNMPTN ya? Abel sering cerita ke mamah kalau kamu anak yang genius.”
Abel menganggukan kepalanya membenarkan jika dirinya masuk penyaringan SNMPTN di sekolahnya, “Iya Mah, tapi kalau genius kayaknya enggak deh.”
“Ah kamu itu Al otak kamu itu cerdas banget, masa nggak mau ngaku kalau jenius.” Mamah Abel melontarkan candaanya, melihat Alfa yang kikuk di hadapannya, “Ambil jurusan apa? Dimana?”
“Manajemen UI mah.”
Mamah abel kaget mendengar jawaban yang di lontarkan Alfa. Alfa berani mengambil universitas favorit di Indonesia ini, bahkan dengan jurusan yang banyak peminat.
“Andai salah satu anak mamah otaknya ada yang encer, pasti mamah masukin mereka ke UI. Lihat Abel dan Gilang aja kalau belajar pas ulangan doang, itu saja kalau inget.”
Abel dan gilang melotot kearah mamahnya. Bagaiamnaa bisa mamahnya ini mempromosikan kelemahan anaknya kepada Alfa? Abel dan gilang semakin malu di buatnya. Maklum saja mereka bukan tipe-tipe anak ambis apalagi dengan kemampuan otak yang encer.
Mamah Abel dan Alfa tertawa saat melihat ekspresi Abel dan abangnya yang marah. Mereka berdua benar-benar lucu dan kompak.Alfa tersenyum tulus, melihat kebahagiaan keluarga Abel yang mau menerimanya sebagai bagian dari mereka. Bagi Alfa, mamahnya memang sosok yang tidak bisa di gantikan oleh siapapun, dia adalah wanita terhebat yang Alfa miliki di dunia ini. Tetapi setelah kehadiran mamah Abel di kehidupan Alfa, Alfa merasa dirinya yang dahulu kembali bangkit. Sosok Mamah yang selalu di inginkannya datang, membawakan kebahagiaan tersendiri untuk Alfa.
KAMU SEDANG MEMBACA
AlfAbel [END]
Teen FictionDi kursi panjang ini ku dudukan badanku Menatap kerinduan bintang malam Angin malam megingatkanku Akan lembaran kecil puisi kenangan Tentang tawa yang menggetarkan hatiku Tentang senyum yang menenagkan Dimana rembulan tersenyum padaku Membisikan ray...