Abel menepuk sofa di ruang tamunya, memberi isyarat supaya Alfa duduk di sampingnya. Mata Abel terus memerhatikan Alfa, meminta penjelasan mengapa dia berkata demikian.
"Ayo dong, cerita sama gue," pinta Abel sedikit memaksa, Alfa hanya menggeleng pelan menjaga privasi keluarganya. Ketika Abel sudah berada pada keppo tingkat dewa, Alfa membentak menyuruhnya diam.
"Jangan ceritakan kepada siapapun," Abel mengangguk, kedua bola matanya bertemu dengan mata hitam Alfa. "Gue merasa sendirian di dunia ini. Nggak ada lagi yang peduli sama gue. Papah yang seharusnya jadi perisai, lebih memilih pekerjaan daripada hidup putranya ini. Sementara mamah gue, dia sudah meninggal sejak gue masih balita."
Abel sedikit terisak mendengar cerita Alfa, setetes air matanya mulai menetes. Tidak menyangka, Alfa yang dingin punya banyak masalah di hidupnya.
Abel menepuk pelan bahu Alfa, berusaha menenangkan Alfa. "Lo nggak sendirian. Ada gue, Kaila, Vanes, Irvan, Satya, sama Naufal. Jadi gue berharap jangan anggap lo sendirian. Okay?"
Alfa bangkit dari duduknya, mengusap air mata yang berusaha jatuh di pipinya. Alfa memungut tas dan kunci motornya, "Gue pulang dulu, Bel," pamit Alfa dan di angguki oleh Abel.
Abel tersenyum tipis, dirinya sedikit senang dengan sifat hangat Alfa baru tadi. Abel tidak percaya, jika Alfa akan menceritakan kisah keluarganya padanya. Walau dalam hati, Abel merasa sangat tak tega menerdengar kan kisah keluarga singkat Alfa yang kurang harmonis.
***
Suasana kantin yang riuh menemani segerombolan siswa-siswi yang tengah meramaikan suasana kantin.
"Dalam Islam cowok sama cewek itu nggak boleh pacaran, adanya ta'aruf," celetuk Abel yang membuat Kaila, Satya, Vanes, dan Irvan saling pandang. Ada sedikit rasa tidak rela dalam diri mereka.
"Tapi kalo udah cinta gimana, dong?" Tanya Vaness.
Naufal menghela napas, kemudian tangannya mengambil sedotan dan mengaduk es teh. "Jadi gini deh, kalian nggak perlu pacaran mending temenan."
"Lo sirik ya, karena nggak bisa menaklukkan hati cewek?" Satya menautkan kedua alisnya, meminta penjelasan dari Naufal.
"Lo udah kayak ustadz aja Fal," sambung Irvan terheran-heran.
"Bukan gitu, kalian kan masih kecil. Gue cuman takut diusia sekecil kalian, kalian udah banyak dosa," Naufal menatap mereka berempat secara bergantian.
"Kayak lo nggak pernah buat dosa aja," Naufal tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya dan melanjutkan meminum es dihadapannya.
"Gue setuju sama Naufal. Bukan karena gue jomblo! lagian kalian kan belom muhrim. Ntar dimarahin Pak Ustadz sama Bu ustadzah baru tau rasa." Sahut Abel yang sedari tadi hanya diam, menyimak percakapan mereka.
Irvan, Vaness, Satya dan Kaila saling tatap menatap. Ada rasa tidak rela dihati mereka. Irvan terus mengaduk-aduk es teh setengah habis di hadapannya. Suasana keheningan terus menyelimuti mereka.
Sambil berjalan lari Eki menatap keadaan sekitarnya. Eki berjalan menuju meja yang di kenalnya, matanya tertuju pada bangku Naufal. Sebelum duduk, Eki memesan makanan dan minuman untuk dirinya.
"Widihhh... teman baru ya?" tanya Satya yang melihat Naufal akrab dengan wajah asing itu. Sepertinya Satya belum kenal dengan Eki.
"Oh ini!" Ujar Naufal jarinya telunjuknya menunjuk kearah teman disampingnya. "Dia Eki, yang gue ceritain itu lo Sat!"
Satya tertawa terbahak-bahak setelah Naufal mengenalkannya kepada Eki. Sejujurnya setelah Naufal menceritakan tentang Eki yang katanya selalu mengupil di kelas, Satya jadi penasaran dengan wajah Eki.
"Oh jadi lo yang namanya Eki?"
Naufal menatap satu per satu wajah teman di sekelilingnya. Tanpa permisi, Naufal menyeruput es teh di hadapannya hingga tak tersisa setetes pun. Irvan pemilik es teh itu, tak terima jika es teh pesanannya harus habis di perut orang lain.
"Eh itu es teh gue, kenapa lo habisin? Ujar Irvan marah. "Balikin nggak? Lo harus tau kalau gue haus berat."
"Udah masuk perut, lagian tuh kan es teh nya udah setengah dari awal. Masa iya gue kudu ganti?"
"Pokoknya lo kudu ganti, TITIK. Ngaak boleh nawar, atau..." Irvan menjotos-jotoskan tangannya ke telapak tangannya, dan menatap Naufal tajam.
"Iyeiye... Bu tambahan es teh satu,"
Abel yang sedari tadi melihat wajah Eki, teringat sesuatu.
"Sepertinya gue pernah ketemu lo?" ujar Abel pada Eki, yang tentu membuat Abel mengingat-ingat wajah Eki.
"Ya iyalah, kamu itu kan orang gila yang di taman dekat UKS bukan?"
Abel yang tidak terima dikatain gila, langsung melemparkan sedotan yang ada di gelas Irvan ke arah Eki. Lemparan itu melesat pas kearah dahi Eki.
"Gimana nggak gila. Waktu itu aku menanyakan dimana letak ruangan kepadanya. Tapi anak ini malah menunjukkan jalan kearah toilet wanita. Aku malu sekali waktu tau, untung ada orang baik yang menunjukkan lokasi dengan benar," Eki berbicara seperti berteriak, apalagi logat batak yang keluarnya membuat orang yang di dekatnya tertawa terbahak-bahak.
"Udah lo sabar ae!" Naufal menenangkan Eki.
"Ngomong-ngomong ada apa ni, kenapa mukanya pada melas kayak gini?" lanjut Eki.
"Ki kalau menurut agama kan pacaran itu nggak boleh kan?" cerocos Abel menjawab pertanyaan Eki.
"Ya iyalah. Dosa" jawabnya kencang. "Emang kenapa?"
Satya menarik napasnya dalam- dalam, mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu. "Huhhh... kayaknya yang di katain Naufal dan Abel ada benarnya, gue juga takut kecil-kecil gini dosa gue udah banyak. Gimana nanti kalau udah gede, gue takut dosa. Mendingan hubungan kita sampai sini saja, tapi kita bakalan jadi teman baik ko, mungkin teman tapi suka. Tuhan tidak melarang makhluk-nya untuk menyukai orang lain kan?"
Kaila yang mengerti perasaan Satya mengangguk-angguk kepalanya lemas, dan mengulurkan tangannya kearah Satya. "Kita temenan!"
Vanes melakukan hal yang sama kepada Irvan. "Van hubungan kita sampai disini saja, gue juga takut. Tapi kita masih kayak dulu temenan tapi saling suka. Makasih atas waktu dan perhatian lo selama ini, lo yang terbaik," Vanes mengulurkan tangannya kearah Irvan dan Irvan menerima ulurannya.
Makanan dan minuman pesanan Naufal dan Eki akhirnya datang juga. Tak lupa Naufal memberikan segelas es teh untuk mengganti es teh milik Irvan yang ia habiskan tadi. Masalah pun akhirnya selesai teratasi.
"Perasaan dari pagi gue belum lihat Alfa, dimana Alfa? tanya Naufal yang membuat dirinya merasa jengkel karena tidak sekelas dengan geng Alfa.
"Lo belum tahu kalau Alfa nggak masuk sekolah?" Naufal menggelengkan kepalanya pelan, dirinya memang benar tidak mengetahui hal ini.
"Kenapa lagi bocah tengik itu?"
Serempak semuanya menggeleng. Entah sudah keberapa kalinya Alfa tidak masuk sekolah. Tidak ada kabar berita yang di dapatkan dari pangeran patung itu. Bahkan ponselnya pun tak aktif. Abel merasa cemas akan hal ini, pasalnya kemarin setelah pulang dari rumah Abel, Alfa masih baik-baik saja.
"Biasa langganan," celutuk Irvan yang masih mengaduk-aduk teh pemberian Naufal.
"Gue juga nggak tahu. Pasti saja setiap bokapnya pulang luar kota, pasti bocah itu jarang berangkat sekolah."
"Kangen kalik sama bokap nya. Makanya nggak berangkat sekolah," celutuk Vanes polos.
Abel jadi teringat cerita keluarga Alfa kemarin. Abel semakin penasaran dan cemas di buatnya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Alfa? Kenapa pria itu sangat misterius? Apa yang sebenarnya telah di sembunyikan Alfa dari teman-temannya. Pertanyaan tidak masuk akal ini, terus terpikir di otak Abel.
KAMU SEDANG MEMBACA
AlfAbel [END]
Teen FictionDi kursi panjang ini ku dudukan badanku Menatap kerinduan bintang malam Angin malam megingatkanku Akan lembaran kecil puisi kenangan Tentang tawa yang menggetarkan hatiku Tentang senyum yang menenagkan Dimana rembulan tersenyum padaku Membisikan ray...