"Gue nggak nyangka kalau lo tega ngelakukan ini." Abel berjalan perlahan-lahan ke arah gadis yang ia ajak bicara.
"Bagi gue lo itu bukan sekedar sahabat, gue udah menganggap lo seperti kakak gue sendiri. Gue senang berteman dengan lo, karena lo orangnya baik, perhatian, pintar. Tapi apa? Itu cuman kebohongan! Kebohongan! Lo menikam gue dan teman-teman gue dari belakang. Licik!" lanjutnya, matanya yang merah sudah berkaca-kaca.
"Apa maksud lo? Gue nggak nger-,"
Karen melangkahkan kakinya keras, suara kakinya terdengar jelas, bergema dan mengentak-entak. Tanpa peduli dengan keadaan kelas yang mulai ricuh, Karen melangkah maju, mendekati gadis yang sedang di caci maki itu.
Satu tepukan terdengar keras di telapak tangan Karen. "Lo nggak ngerti? Hah? Lo nggak ngerti? Lalu apa yang baru saja lo masukin di dalam laci Abel? Sekedar kertas? Atau ancaman?"
Tepat didepan pintu kelas, segerombolan murid menyaksikan kejadian yang terjadi di dalam kelas. Gadis itu menarik tangan Karen kuat, dibawanya Karen ke belakang ruangan.
"Gimana sih lo? Bukannya bantuin gue malah tambah mojokin gue," bisik gadis itu pelan, tetapi dapat terdengar jelas oleh Karen.
Wajah Karen semakin memerah, ia menggenggam erat telapak tangannya mengepal, "Gue udah bilang ke lo, hentikan permainan ini. Gue tau, lo bantuin Monic bukan karena lo benci dengan Abel, tapi lo menginginkan Alfa, lo hanya menginginkan Alfa. Lo mengambil kesempatan ini untuk bisa mendapatkan Alfa, dan semua orang akan berpikir jika pelakunya adalah Monic, bukan lo," ungkap Karen dengan lantang dan jelas.
Gadis itu membeku seketika, kepalanya ia tundukkan ke bawah. Dipejamkannya mata perlahan tetapi sangat menekan. Ditariknya napas kasar, "Bukan gue pelakunya, ngapain juga gue harus diam-diam mengancam sahabat gue sendiri demi si Alfa, itu nggak mungkin. Fitnah!" tegas gadis itu lantang.
"Cukup! Hentikan dramanya."
Irvan memasuki ruang kelas, dan menutup rapat pintu kelas. Sambil menggenggam handphone Irvan bersamaan dengan Satya berjalan maju mendekati gadis yang sekarang sedang dicerca teman-temannya itu. Matanya berkaca-kaca.
"Vanes lo masih aja meneror Abel. Lo harusnya sadar kalau Abel itu sahabat lo sendiri, lo nggak pantas melakukan kayak gini."
"Loh... kok malah Abel yang dibelain sih? Oh, atau gara-gara kejadian tadi lo deketin si Satya, lo jadi belain si Abel kan? Lo pasti takut kalau si Satya bakal balikan lagi dengan Kaila, tenang aja itu nggak akan pernah terjadi."
Kaila menutup mulutnya tak percaya, drama apalagi ini. apa yang sudah diketahui oleh Vanes yang dirinya sendiri tidak mengetahuinya.
"Bukan itu. Sekarang gue nggak punya niat untuk deketin si Satya. Gue sadar, gue benar-benar bersalah. Saat Kaila mengucapkan 'Selamat' kepada gue, gue sadar kalau gue itu benar-benar jahat. Gue benar-benar jahat. Gue mau lo berhenti meneror Abel. Kalau lo suka dengan Alfa, lo bisa bilang sendiri ke Alfa nya, bukan begini caranya. Lo meneror orang yang dia sendiri belum tahu sebab akibat dirinya diteror. Alfa dan Abel kan cuman temenan, kenapa lo anggap serius?"
"Bukan itu mau gue. Gue tahu mereka tidak pacaran, tapi kedekatan mereka membuat gue cemburu. Gue cemburu Kak. Bagaimana pun caranya gue harus mendapati hati Alfa. Huft.... gue juga mau Abel jatuh, laginya gue cemburu banget dengan Abel, gue cemburu karena dia bisa mendapatkan semua yang diinginkannya. Bagaimanapun caranya, gue mau Abel hancur."
Suara itu lenyap seketika di handphone Irvan. Abel dan Kaila menutupkan mulut dengan kedua tangannya. Dengan mata yang sudah memerah, Abel menahan isakan tangis yang sedari tadi ia tahan.
Sekarang air mata keluar dari mata Irvan. Hatinya benar-benar sakit dirinya benar-benar hancur. Orang yang selama ini ia prioritaskan, ia cintai ternyata berkhianat dengan dirinya. Bukan hanya dengan dirinya saja, ia membohongi semua sahabat-sahabatnya. Parahnya, pacarnya itu berani mengancam temannya demi mendapatkan sahabatnya Alfa. Apa kurangnya Irvan? Apa semua cinta dan kasih sayang yang tulus yang ia berikan pada Vanes itu kurang? Kebersamaanya selama ini di anggap apa oleh cewek itu?Dengan tegar, Kaila melangkah maju mendekat Vanes, mendekat sangat dekat. Kaila menatap mata Vanes meminta kepastian. Ia menggenggam erat tangan Vanes, mulutnya yang sedari tadi membisu akhirnya mengeluarkan suara juga.
"Vanes, katakan kalau semua ini bohong. Katakan kalau lo nggak pernah ngelakukan seperti ini. Katakan! Gue udah bilang katakan! Katakan Vanes!"
Vanes melepaskan genggamannya. Dirinya memundurkan langkahnya lebih jauh dari Kaila. Dipojok belakang, Vanes menjongkok dan menyenderkan punggungnya di tembok. Dirinya menuduk.
"Itu semua benar, itu semua benar." Vanes bangkit, berdiri melangkah mendekati Abel.
"Yang lo cari tahu itu benar. Gue benci dengan lo yang sok polos, Gue benci dengan lo Abel. Entah gimana asal mulanya, gue nggak tahu intinya gue benci sama lo. Dimata gue, lo itu saingan gue. Bukan hanya saingan pelajaran lo juga saingan cinta gue. Dimana ada lo, disitu kebencian gue muncul. Sekarang dan selamanya gue benci sama lo."
"Lalu lo anggap gue apa?” Irvan sama teriaknya dengan Vanes dirinya benar-benar gila.
Vanes menangis saat melihat wajah Irvan yang telah ia kecewakan. Sebenarnya Vanes tidak benar-benar menyukai cowok itu.
"Sudah selesaikan masalah ini, mendingan kita berteman saja. Tidak ada manfaatnya juga kalau kita saling bertengkar," ujar Abel menenangkan masalah. Walaupun dari hati kecilnya Abel sangat-sangat kecewa.
"Enggak! Enggak segampang itu! Gue nggak mau! Karena gue bukan orang yang gampang menyerah, gue akan melakukan yang gue bisa untuk mendapatkan semua yang gue mau."
“Mulai detik ini kita nggak ada hubungan apapun lagi Nes. Lo udah benar-benar menyakiti hati gue. Gue nggak akan pernah memaafkan lo.”
Irvan berlari meninggalkan kelas. Depresi mendegar kenyataan yang terjadi. Dirinya berusaha sekuat mungkin menenagkan pikirannya. Vanes bukan satu-satunya cewek di dunia ini, Irvan yakin jika dirinya akan mendapatkan cewek terbaik kelak. Sekarang Irvan tahu, jika cinta itu tidak selalu berakhir bahagia. Cinta tidak seperti apa yang dia bayangkan, cinta yang indah penuh kedamaian, kesetiaan, ketenangan, kebahagiaan. Baginya, cinta hanyalah pengorbanan. Pengorbanan yang selalu berakhir menyakitkan.
Abel mengusap air matanya yang jatuh dikedua pipinya. Dirinya menggenggam tangan Vanes, seperti yang Kaila lakukan pada gadis dihadapannya itu. Dengan cepat, Vanes melepaskan genggamannya dan berjalan jauh menuju daun pintu.
"Tunggu!" Henti Abel saat mengetahui Vanes akan keluar kelas, "Lo suka kan dengan Alfa? Kenapa nggak bilang aja? Gue nggak marah, sama sekali nggak marah. Lo sahabat gue, lo pasti tahu, kalau gue dan Alfa itu tidak ada hubungan apa-apa. Gue dekat dengan Alfa karena Alfa teman satu bangku gue. Lo nggak usah cemburu, lo bisa dapatkan Alfa gue nggak marah. Gue bisa bantu lo."
Vanes menutup erat kedua kupingnya menggunakan kedua tangannya. Dirinya sangat sebal mendengar pengakuan yang diberikan mantan sahabatnya itu.
"Cukup Abel! Gue nggak suka seperti ini. Menurut gue ini kurang seru. Gue bukan wanita yang mudah menyerah. Gue wanita yang sangat suka tantangan! Dan lo harus tahu, gue bukan sahabat lo lagi!" Vanes membuka pintu dan melangkah keluar kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
AlfAbel [END]
Teen FictionDi kursi panjang ini ku dudukan badanku Menatap kerinduan bintang malam Angin malam megingatkanku Akan lembaran kecil puisi kenangan Tentang tawa yang menggetarkan hatiku Tentang senyum yang menenagkan Dimana rembulan tersenyum padaku Membisikan ray...