35. I'm Afraid

8.1K 138 1
                                    

Nora meletakkan tas kerja Aldrich ke atas meja, wanita itu berjalan mendekati ranjang di mana terdapat Aldrich yang tengah tertidur di atas ranjang dengan posisi telentang.

Nora mendudukkan diri di tepi ranjang, berusaha berbasa-basi wanita itu memulai di pembicaraan.

"Kau lembur?"

"Hem," Aldrich bergumam dengan masih memejamkan mata, tidak berniat menatap Nora yang masih menatapnya.

"Kau belum makan. Ayo ke dapur, aku akan membuatkan makanan untukmu."

Kali ini Aldrich tak merespon, pria itu masih memejamkan mata dengan lengan yang kini bergerak menutupi wajahnya.

"Baiklah jika kau tidak ingin. Tunggu saja di sini, aku akan membuatkan makanan untukmu." Nora berdiri dari duduknya, wanita itu hendak pergi menuju dapur namun langkahnya terhenti saat Aldrich menggenggam tangannya.

"Aku sudah makan," singkatnya dengan membuka mata menatap Nora. Nora mengangguk mengerti, kembali mendudukkan diri di tepi ranjang wanita itu menatap Aldrich dengan senyum yang selalu tersungging di bibirnya.

"Aku ingin memberitahu sesuatu--"

"Jangan menggangguku untuk saat ini, aku benar-benar lelah." Nora menutup bibirnya rapat-rapat.

Satu kalimat itu mampu membuat Nora paham jika Aldrich saat ini benar-benar lelah, ia ingin tidur dan tak ingin di ganggu untuk saat ini.

Nora tersenyum paksa, berusaha terlihat baik-baik saja meski respon Aldrich sedikit membuatnya sedih.

Sepertinya berita kehamilannya yang akan di sampaikan pada Aldrich di tunda sampai besok. Nora akan berusaha tetap sabar.

Nora memperhatikan Aldrich, pikirannya berkelana, selain ingin memberi tahu kabar kehamilannya, Nora juga di rudung rasa takut.

Ia takut jika sampai Aldrich tidak bahagia mendengar kabar baik itu. Mungkin jika sifat Aldrich sebaik dulu, Nora tak akan pernah ragu untuk memberi tahu kabar ini. Tapi sekarang,

Nora cemas.

Ia takut jika sampai Aldrich tidak menerima kehamilannya dan meminta hal-hal buruk dengan menggugurkan kandungannya.

Nora menggigit bibir dalamnya, memeras pelan ujung pakaiannya. Matanya terus menatap Aldrich dengan pikiran berkecamuk dan pandangan sendu.

Apakah ia harus menutupi kabar kehamilannya untuk sementara waktu? Atau memberi tahunya secepat mungkin, bisa saja hal itu bisa merubah Aldrich-- atau mungkin tidak.

Nora menghela napas, mencoba melupakan masalah itu wanita itu berdiri dari duduknya. Membantu melepas jas yang terpasang di tubuh Aldrich dengan perlahan. Karena kelelahan dengan urusan kantornya, Aldrich bahkan sampai lupa mengganti pakaiannya.

Setelah melepas jas Aldrich dengan susah payah, wanita itu juga ikut melepas sepatu pantofel milik Aldrich yang masih terpasang di kakinya.

Nora menghela napas, entah kenapa jika melakukan pekerjaan biasa seperti ini di malam hari sedikit membuatnya lelah.

Nora berdiri menatap Aldrich, sekarang ia bingung ingin tidur di mana. Ia ingin tidur di atas, tapi takut jika Aldrich akan marah.

Taulah, suaminya itu sangat menjaga jarak jika tidur dengannya. Bahkan di rumah sendiri mereka terpisah ranjang.

"Aldrich, apa aku boleh tidur di sini?" gumam Nora dengan suara kecil, takut-takut jika sampai membuat Aldrich marah. Tapi suara kecilnya itu malah sama sekali tidak mendapat respon. Nora sadar, Aldrich tak mendengar.

Nora menghela napas, dari pada mendapat marah dari Aldrich, lebih baik ia mengalah.

Nora membungkuk dalam, berusaha menjangkau bantal dan selimut yang sedikit jauh dari hadapannya, apalagi tubuh Aldrich menjadi pembatas yang membuatnya sedikit kesusahan.

Nora menghembuskan napas lega saat mendapat apa yang ia inginkan, wanita itu mengatur selimut sebagai alas tidur di atas lantai marmer yang dingin dan setelahnya ikut meletakkan bantalnya.

Sebelum benar-benar tidur Nora menatap Aldrich yang sudah memejamkan mata, tersenyum kecil ia berjongkok.

Wanita itu memperhatikan dengan seksama wajah tampan suaminya. Pantas saja banyak wanita yang menyukainya, pahatan indah di wajahnya ternyata menjadi salah satu alasan,

Dan Nora sedikit menyesal memiliki suami setampan Aldrich.

Nora memperhatikan napas Aldrich yang teratur, sepertinya pria itu tengah tertidur.

Memanfaatkan situasi, wanita itu mengalihkan pandang ke arah lain, menggigit pelan bibir dalamnya, Nora kembali memfokuskan pandang pada wajah Aldrich.

Ia berjongkok pelan hingga membuat wajah keduanya semakin dekat.

Cup.

Nora mengecup pelan pipi Aldrich dan mengelus lembut rambut hitam suaminya. Nora yang masih tak berniat menjauhkan tubuh mengubah posisi ke belakang, kembali memeluk erat tubuh suaminya yang di lapsisi kemeja putih.

"Aku takut." Nora bergumam dengan meremas pelan bagian depan kemeja Aldrich.

Nora memejamkan mata, hatinya benar-benar sakit, sebenarnya tanpa sepengetahuan siapa-siapa ia benar-benar rapuh. Sedari awal Aldrich bersikap buruk dan selalu menyakitinya benar-benar membuatnya tertekan. Apalagi ia tidak punya teman untuk mengadukan keluh kesahnya. Nora menyimpannya sendiri karena tidak ingin menyalurkan rasa sedihnya pada siapapun terlebih keluarganya.

Apalagi kondisi kehamilannya sekarang benar-benar membuatnya merasa was-was. Banyak orang di luar sana yang tak ingin rumah tangga mereka baik-baik saja termasuk Cassandra.

Nora lelah, tapi ia berusaha untuk baik-baik saja. Jika kebahagiaan tidak pernah di milikinya, maka biarlah orang-orang sekitarnya yang merasakannya. Nora hanya tidak ingin membuat keluarganya risau jika ia berkata yang sebenarnya tentang rumah tangganya dan Aldrich.

Rasanya Nora ingin mengakhiri hidup saja agar penderitaannya bisa berakhir dan kepura-puraan yang terjadi akan segera selesai. Dan sekali lagi kehadiran seorang bayi di janinnya kini menjadi alasan untuknya tetap kuat.

Sekarang ia hanya bisa pasrah, menunggu keajaiban datang, biarkan waktu berjalan dengan semestinya dan membawanya pada kebahagiaan yang di  harapkan.

Nora dengan perlahan menjauhkan tubuh, ia kembali menatap Aldrich untuk berjaga-jaga, takut-takut jika pria itu terbangun dan malah memarahinya. Menghapus air mata yang meleleh  membasahi pipinya.

Di rasa aman, Nora segera menjauh. Wanita itu segera merebahkan tubuh di atas lantai yang di lapisi selimut. Sedikit tak nyaman memang karena tak terbiasa tidur dengan lantai yang keras tak seperti ranjang yang terkesan empuk.

Dalam tidurnya, Nora terus saja menghapus air matanya yang terus mengalir membasahi pipinya, hidungnya bahkan sudah memerah. Nora tidak ingin menangis, tapi jika memikirkan apa yang terjadi padanya sekarang membuat air matanya tak berhenti untuk mengalir. Tanpa sadar bibirnya terus bergetar, Nora menutup mulutnya dengan kedua tangan, menggigit bibir dalamnya kuat-kuat untuk menahan isakan yang hendak lolos dari bibirnya.

Bahkan oksigen yang berada di sekitarnya mendadak jadi menipis.

Nora tidak tau apa yang terjadi padanya, mendadak ia malah menjadi cengeng seperti ini, tak seperti biasanya. Mungkin  ini terjadi karena efek kehamilannya. Atau mungkin ... Ia sudah benar-benar lelah dengan semua yang terjadi hingga tak sanggup terus berpura-pura dengan terlihat baik-baik saja.

Nora menghembuskan napas, berusaha mengatur pernapasannya agar kembali normal. Setelahnya wanita itu pun kembali memejamkan mata.

Tidak terlalu lama memejamkan mata Nora akhirnya tertidur, berharap jika hari esok akan semakin baik dari biasanya karena Nora tidak pernah berhenti mengharapkan keajaiban terjadi padanya.

Aldrich yang tadinya tertidur tanpa di sadari malah membuka mata, menatap datar Nora yang sudah tertidur pulas dengan tubuh meringkuk kedinginan.

Aldrich menatap datar, segera turun dari atas ranjang dan mengangkat tubuh Nora kembali ke atas ranjang. Aldrich meraih bantal dan selimut yang tertinggal dan memasangkannya di tubuh Nora dan setelahnya tertidur kembali dengan memeluk erat wanita itu.

***

Vote+Komen

Follow, klik 👉 meserrine

Meniduri Wanita Lain [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang