10

123 13 0
                                    


Martha menghentikan langkahnya saat melihat satu dari putranya berdiri sendirian di dalam ruangan itu. Matanya terpejam dengan kedua tangannya bertaut erat. Martha hanya melihatnya dari jauh. Melihat wajah damai yang tengah khusyuknya berdoa.

Meski dari jaraknya yang sekarang, Martha bisa melihat saat air mata menuruni pipi putranya. Anak itu masih terlihat tenang, hingga ketenangan itu berubah. Kedua bahunya mulai bergetar dengan isakkan kecil yang mulat muncul.

Martha ikut merasa sesak hanya dengan melihatnya. Martha tahu, putranya itu tengah merasakan kesedihan dalam keterdiamannya. Meski tidak ada kata yang keluar dari mulutnya, Martha yakin ada banyak sekali kata yang keluar dari dalam hatinya.

Melihat itu mampu membuat Martha tidak bisa menahan air matanya juga.

Terlalu larut dengan hatinya, kakinya tidak bisa menopang dirinya sendiri. Ia terduduk di posisinya yang tidak berpindah. Tangannya ia bawa untuk mengusap wajahnya yang basah. Air mata seperti tidak ingin berhenti, bentuk dari sesak yang ia rasakan di dadanya. "Hiks, Ibu."

Martha segera mendekat. Mendekap erat tubuh yang sudah bergetar karena tangis itu. "Ibu disini, Sayang. Ibu disini."

"Hiks ibu, ibu."

"Ini, Ibu. Ibu disini bersamamu."

"Aku sayang ibu."

"Ibu pasti menyayangimu juga. Ibu menyayangimu."

Anak itu semakin terisak. Membuat luka di hatinya seolah terbagi ke hati Martha juga.

Dalam isaknya, Martha menenangkan putranya. Martha mengerti perasaan sedih putranya, meski ia tidak merasakannya dan tidak sepenuhnya bisa memahami. Tapi ia mengerti putranya itu.

Arye yang memang ingin memasuki ruang itu memilih untuk berhenti. Ia tidak pernah melihat satu putranya itu menangis sampai seperti itu. Putranya yang paling tenang, terlalu tenang seakan eksistensinya itu tidak ada.

Takut mengganggu keduanya, Arye memilih pergi dari sana. Memberi ruang dan waktu pada dua orang itu.

***

"Jeongin!"

Saat namanya dipanggil, ia menoleh. Mendapati remaja tinggi menghampirinya. Ia menunggu apa yang diinginkan orang itu.

"Selamat ulang tahun ya."

"Terima kasih, Kak."

"Maaf aku telat. Ini hadiah dariku."

"Untukku?"

"Iya."

"Makasih, Kak," Jeongin menerima pemberian Hyunjin. Keduanya tidak terlalu dekat memang, tapi setiap ada kesempatan, pasti Hyunjin akan menggunakannya dengan baik.

"Hyunjin."

"Kakak duluan ya. Semoga suka hadiahnya, Adik."

Jeongin hanya mengangguk. Hyunjin tidak membiarkannya menjawab, remaja tinggi itu segera menjauh.

Melihat Arina yang masih diam di tempatnya, Jeongin membungkuk hormat.

"Kamu jangan pernah dekati Hyunjin. Mengerti?"

"Maaf, Ibu Ratu."

"Jangan coba mencari perhatiannya, ingat itu."

Jeongin kembali membungkuk hormat saat Arina meninggalkannya. Ia tidak mengerti kenapa Arina mengatakan itu padanya. Menarik perhatian Hyunjin? Untuk apa? Mendekati Hyunjin, mereka saja sama sekali tidak dekat.

"Hey, ada apa?"

"Tidak ada."

"Apa itu?"

"Bukan apa-apa, Kak."

ARTHEIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang