Ia tidak tahu harus pergi kemana, tapi berdiam diri juga sudah bosan. Tapi tekadnya kuat untuk pergi meninggalkan zona nyamannya. Kaki jenjangnya melangkah santai menyusuri setiap koridor. Beberapa orang yang ia lalui menunduk hormat padanya.
Saat melewati sebuah ruangan, ada suara besi yang terdengar saling bersautan. Entah apa yang membawanya mendekat dan masuk ke ruangan itu tanpa permisi. Toh pintu ruangan itu dibukakan untuknya, ia bisa masuk dengan bebas.
Ruangan besar dengan langit-langit yang tinggi. Ada jendela-jendala yang amat besar di dalam sana. Seratus persen cahaya disana adalah cahaya dari luar. Karena masih siang, ruangan itu menjadi terang.
Ada dua orang di tengah ruangan yang sedang asik mengayunkan pedang panjang itu satu sama lain. Satu diantaranya ia mengenali dengan baik.
Fokus salah satu diantara mereka buyar, pedangnya terjatuh ke lantai begitu saja.
"Bisakah kita istirahat sebentar?" seorang yang baru saja kalah itu meminta pada orang yang berani menjatuhkan pedangnya.
"Baik, Pangeran."
Ruangan itu hanya ada mereka berdua. Merasa ditatap intens, membuat yang baru saja masuk ke ruangan itu memilih untuk berbalik. Ia tidak terlalu suka interaksi dengan adiknya itu.
Baru akan melangkah, sebuah pedang berhenti tetap di depan wajahnya. Benda panjang nan tajam itu hampir saja menusuk wajahnya jika ia bergerak sedikit lebih ke depan.
"Untuk apa pengecut sepertimu berada di sini?"
"Singkirkan itu dariku!"
"Cih, kau takut? Hah! Yang benar saja! Dasar tidak berguna, pecundang!"
Ia berbalik untuk menatap wajah songah orang yang berstatus sebagai adiknya.
Yang lebih muda terkekeh meremehkan. Menatap rendah pada kakaknya. "Aku bahkan tidak yakin kau bisa menggunakannya."
"Lalu apa masalahnya untukmu?"
"Dasar tidak berguna! Untuk apa kau tetap hidup jika menyusahkan!"
"Selama aku tidak mengusik hidupmu, itu bukan masalah bukan?"
"Hey! Kau memang tidak mengusik!" nadanya meninggi, sengaja menekankan setiap katanya. "Kau malah mengganggu kehidupanku! Karena dirimu, hidupku benar-benar gila! Karena kau yang tidak berguna, aku yang menanggung semuanya, bodoh!"
"Oh, mungkin itu takdirmu. Aku tidak peduli, nikmati saja," dengan rasa tidak bersalah sama sekali, ia segera berlalu dari sana.
Tapi adiknya yang emosi itu tidak akan membiarkannya begitu saja. Kaki panjangnya berlari mendekat tanpa suara. Ia menempelkan mata pedang itu pada leher kakaknya, sampai menyentuh kulit leher sang kakak. Sementara ia berdiri di belakang kakaknya, tidak memberi celah sang kakak untuk pergi begitu saja.
Wajahnya ia posisikan di samping wajah kakanya. Bibirnya didekatkan pada telinga kiri sang kakak. "Bukankah hidupmu itu tidak berguna? Bagaimana jika aku bantu untuk mengakhirinya saja? Lebih cepat bukankah lebih baik? Jadi tidak ada lagi orang yang akan direpotkan olehmu. Benar?"
"Lakukan saja jika kau bisa," ucapannya tenang. Tapi pergerakkannya lebih cepat, menyikut perut adiknya dengan kencang, membuat sang adik mundur. Meski lehernya harus tergores saat adiknya bergerak mundur.
"Kau pikir aku takut padamu, pecundang kecil? Serangan sekecil itu saja kau kalah, jadi siapa yang bodoh?Tidak usah mengajakku bermain, kau tahu hasilnya akan seperti apa bukan? Hanya orang yang paling lemah yang berani melawan orang lemah."
Yang lebih tua benar-benar berlalu dari sana.
"Hahaha, di bodoh itu, berani juga ternya. Lain kali aku akan serius padanya. Mungkin sebenarnya dia bisa, hanya saja tidak ada yang tahu akan hal itu. Ah, sial! Aku tidak bisa berada di bawahnya, aku harus selalu diatas!"
![](https://img.wattpad.com/cover/331584338-288-k331533.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ARTHEIRE
FanficEND Keadaan membuatnya tidak bisa melakukan apapun. Dia yang seharusnya bisa diandalkan, justru tidak bisa melakukan apapun. Lantas bagaimana kelanjutan Artheire? Arye tidak memiliki pilihan untuk menentukan kelanjutannya, seolah menyimpan permata i...