60

73 3 0
                                    


Hyunjin yang merasa lelah di seluruh tubuhnya memilih merebahkan dirinya di atas tanah, tidak peduli jika itu akan mengotori pakaiannya.

Di taman yang sepi, remaja tinggi itu sendirian. Menatap pada langit yang berwarna keemasan. Sebentar lagi matahari terbenam, tapi Hyunjin tidak segera pergi ke kamarnya setelah latihan hari ini selesai.

Ibunya baru saja menekan dirinya, tepat sebelum ia terdampar di tempat ini. Seperti biasanya, Arina memarahinya atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Terus menekannya, membuat Hyunjin muak dengan wanita yang telah melahirkannya delapan belas tahun yang lalu.

Sejak lama memang Hyunjin sudah membenci ibunya, itu sebuah fakta. Sejak kecil Hyunjin selalu ditekan oleh ibunya. Memaksanya untuk berlatih terus menerus. Memakinya jika melakukan sedikit kesalahan. Tidah membiarkan Hyunjin memiliki waktu untuk bersantai, bahkan beristirahat sejenak pun tidak diizinkan.

Tidak pernah Hyunjin merasakan 'main' sejak ia kecil, hal yang sering dilakukan semua putra Arye selain dirinya dan kakaknya, Minho. Hyunjin kecil bahkan selalu menatap iri pada saudara-saudaranya yang bisa bermain dengan senang. Kenapa Hyunjin tidak bisa melakukannya? Kenapa Hyunjin tidak memiliki kesempatan seperti mereka?

Memang ada hal baik yang Hyunjin dapatkan. Ia bisa mengungguli semua saudaranya, bahkan Changbin, kakaknya. Menjadi yang terbaik di semua bidang.

Tapi apa yang Hyunjin dapatkan dari semua kemampuannya? Tidak ada. Hyunjin tidak merasa mendapat keuntungan apapun. Yang ada hanyalah makian dari sang ibu jika sedikit saja kesalahan ia lakukan. Bahkan baru mencoba untuk ikut bermain saja Hyunjin langsung dimarahi.

Sering kali Hyunjin mengambil kesempatan untuk bermain dengan Jeongin, tapi tidak bisa. Saat bertemu dengan anak itu, ibunya yang entah darimana, pasti akan datang dan melarangnya.

Kenapa Jeongin? Karena hanya anak itu yang tidak menatapnya dengan tatapan tajam. Anak itu selalu menatapnya dengan tatapan polos yang khas, bahkan tidak ragu memberinya senyuman. Sementara saudaranya yang lain tidak pernah melakukan itu. Yang Hyunjin yakini, tidak ada dari saudaranya yang tidak membencinya. Jikapun ada, itu hanya Jeongin.

Hyunjin tahu apa sebabnya. Itu karena ibunya, Arina. Hyunjin sering melihat Arina memarahi saudaranya yang lain. Hyunjin sadar ibunya selalu menatap mereka dengan tatapan benci. Hyunjin mengerti dengan keadaan itu.

Tapi Jeongin, mau bagaimanapun Arina menatapnya, memarahinya, memakinya, Jeongin tidak pernah membalas itu semua pada Hyunjin. Jeongin tetap anak yang baik hati, yang mau tersenyum padanya jika mereka tidak sengaja bertemu.

Hyunjin berdiri dari tempatnya merebahkan diri. Tenggorokkannya terasa kering, ia belum meminum apapun setelah berlatih, untuk mengganti cairan tubuhnya yang terbuang. Tapi tidak sengaja ia melihat seseorang yang sangat tidak ia sukai. Seseorang yang ia pikir menjadi orang yang membuat beban dalam hidupnya.

Hyunjin mengambil sebuah kerikil. Melempar batu ke arah orang yang tengah menikmati kegiatannya. Ada seorang lagi yang menemani.

"Akh!" meringis saat pelipisnya terkena batu. Langsung mencari pelaku yang telah melakukan itu padanya. Mendapati Hyunjin yang berdiri santai, dengan senyum miring yang tertuju padanya.

Hyunjin kembali melepar batu lainnya. Tapi kali ini gagal, karena targetnya berhasil menghindari. Hal itu membuat Hyunjin kesal, kembali melempar kerikil lainnya.

"Awas!"

Yeji terkejut saat ia tiba-tiba saja didorong. "Kenapa, Kak?"

"Ada orang gila."

"Kak, kakak berdarah."

Minho usap pelipisnya yang masih terasa sakit. Memang benar, darah di pelipis itu menyebar ke tangannya saat ia pegang lukanya.

ARTHEIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang