Tringg
Bel yang terpasang di atas pintu kafe berbunyi ketika Tika membukanya. Gadis itu mengedarkan pandangannya untuk mencari Alatas yang mengajaknya bertemu di tempat ini.
Sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman saat seorang laki-laki melambaikan tangannya dari bangku paling belakang.
Gadis itu pun kembali melangkah untuk menghampirinya.
"Hai Kak Ala, maaf aku lama," kata Tika setelah memposisikan dirinya di depan Alatas.
Cowok itu mengangguk sembari tersenyum simpul. Ia pun mengeluarkan sebuah kotak berukuran sedang dan menyodorkannya pada Tika.
"Gue balikin carousel-nya," ucap Alatas.
Dahi Tika berkerut memandang kotak biru yang beberapa bulan lalu ia berikan pada Alatas.
"Loh kenapa? Carousel-nya rusak ya? Jangan dibalikin, Kak Ala," ucap Tika dan memberikannya kembali pada Alatas. "Nanti aku belikan yang baru."
"Bukan rusak," jawab Alatas. Cowok itu menatap mata Tika yang terlihat menuntut jawaban lebih dari yang ia ucapkan. "Kita berhenti ya?"
Mata Tika terlihat meredup, ia tetap diam seakan masih menunggu kalimat yang akan disampaikan Alatas.
"Kita nggak akan terus bersama, karena kita berbeda."
Tika tersenyum simpul, tanpa Alatas beri tahu pun ia telah paham.
"Jadi, itu alasan Kak Ala menghindar? Dan setiap aku mau ajak ke suatu tempat Kak Ala bilang selalu ada urusan keluarga?" tanya Tika tanpa memudarkan senyumnya.
Alatas menunduk, rasa yakin untuk melepaskan gadis itu berubah menjadi rasa takut kehilangan.
"Gue ... udah banyak bohong sama lo," kata Alatas.
Tika mengangguk mengerti meskipun matanya menyiratkan rasa kecewa begitu mendalam. "Termasuk janin yang dikandung Stella kan?"
Alatas tersentak dan kembali mendongak menatap Tika dengan pandangan gelisah. "Lo tau dari mana?"
Tika tersenyum tipis dan kembali menatap Alatas. "Kak Ala sendiri."
Dahi cowok itu lantas berkerut. Melihat Alatas yang terlihat bingung, Tika pun mulai menceritakannya.
"Aku tau, orang yang udah mukul kepala Kak Genta waktu memaksa Stella buat ikut sama dia itu Kak Ala sendiri."
Jantung Alatas berpacu begitu cepat ketika Tika sudah lebih dulu mengetahuinya.
"Meskipun Kak Ala pakai masker dan melepas kacamatanya, tapi aku tau karena kaos yang kamu pakai. Aku memesan kaos itu dengan desain yang berbeda." Tika merasakan hatinya begitu sesak, saat teringat Alatas dengan lantang mengaku bahwa janin yang dikandung Stella adalah anaknya.
"Kak Ala bawa pergi Stella dan ninggalin Kak Genta yang udah pingsan di sana."
"Tika ... maafin gu-"
"Aku yang dari tadi ngumpet langsung nolongin Kak Genta dan bawa dia ke klinik," potong Tika.
Gadis itu mengusap pipinya yang basah karena air mata.
"Aku diem karena aku nggak mau bikin Kak Ala terus kepikiran, karena aku tau ini masalah besar. Aku biarin Kak Ala cerita sendiri suatu saat nanti. Kalau pun Kak Ala jujur, demi Tuhan aku nggak marah sama sekali."
Alatas mendongakkan kepalanya menahan air matanya yang hendak mengalir.
"Selama ini aku berusaha nahan diri karena sikap Kak Ala yang semakin hari semakin berubah, apalagi saat Stella keguguran. Aku makin takut jauh dari Kak Ala, aku cerewet karena aku nggak mau kelihatan sedih di depan Kak Ala," ungkap Tika dengan parau.
Alatas meraup wajahnya. Ia terus diterpa rasa bersalah, membuatnya harus menahan diri agar tidak memeluk gadis di depannya.
"Maafin aku, Kak Ala pasti pusing banget dengerin suaraku."
Alatas menggeleng, ia lantas menggenggam erat kedua tangan Tika. "Kenapa jadi lo yang minta maaf? Lo nggak mau mukul orang brengsek yang udah ada di depan mata lo?"
"Justru kalau mukul Kak Ala, sakit hati aku bakal bertambah," jawab Tika sembari menarik kedua tangannya dari genggaman Alatas. "Kak Ala, aku bakal turutin kemuan kamu buat berhenti."
Bahu Alatas terlihat menurun, hatinya kembali terasa nyeri. Ingin rasanya Alatas menarik kalimat yang ia sampaikan tadi.
"Aku tau kita berbeda, bahkan liat Kak Ala masuk ke tempat ibadah aku merasa kita jauh berjuta meter. Mungkin ini yang terbaik buat kita. Aku berharap kita tetap jadi sahabat selamanya, aku mau anakku nanti bersahabat baik dengan anakmu besok," ucap Tika kembali tersenyum.
"Tika, gue-"
"Udah mau malam, Kak Aksa pasti udah nyariin. Aku pamit ya Kak," potong Tika sembari meraih tas selempangnya di kursi samping.
"Gue tau caranya kita bersatu," kata Alatas agar Tika berhenti berkemas. "Gue nggak mau kita putus."
Gadis itu memicingkan sebelah matanya, "Bukannya Kak Ala yang minta buat berhenti? Aku nggak mau mempertahankan suatu hal yang nggak pasti. Maaf Kak Ala, aku lebih setuju keputusanmu yang pertama."
Tika segera beranjak dari tempatnya dan mengabaikan Alatas yang terus memanggil namanya agar berhenti. Di saat Alatas hendak mengejar Tika, dadanya yang terasa begitu sesak membuatnya mengurungkan niatanya untuk beranjak.
Keringat dingin mulai membanjiri tubuhnya disusul kepalanya yang terasa semakin memberat.
"Tika, tolong ...," lirih Alatas di saat pandangannya mulai mengkabur.
Sayangnya punggung gadis itu semakin menjauh di balik pintu kafe yang kembali tertutup.
Brakk
Seluruh pengunjung kafe terkejut saat mendapati Alatas yang tergeletak di lantai dalam keadaan tak sadarkan diri.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐓𝐑𝐀𝐊𝐒𝐀 (My Absurd Husband)
Teen FictionEnd✔ R 17+ "Altra kalau kita nanti terpisah, aku bakal cari cara buat kita kembali." Sesuai seperti apa yang Stella janjikan untuk Altra, ia rela mengorbankan semuanya untuk seseorang yang sangat berarti di masa lalunya. Altra kehilangan memori inga...