Pagi telah tiba, sinar mentari membuat Stella yang baru 2 jam terlelap akhirnya kembali terjaga. Ia menatap sekeliling ruang kamar yang begitu asing, dan dirinya hanya seorang diri di dalam sana.
Tiba-tiba Stella tercekat, saat mendapati tubuhnya yang hanya dibalut selimut tebal diiringi rasa nyeri di seluruh tubuhnya.
Stella mendudukkan tubuhnya sembari memegang kepalanya yang masih berdenyut sakit. Seketika ingatannya kembali saat dirinya dipaksa meminum wine oleh seorang pria, dan akhirnya ia tak bisa mengendalikan dirinya.
Seketika air matanya luruh, saat tersadar apa yang ia lakukan bersama seorang pria di dalam kamar ini. Hatinya terasa hancur saat mahkota yang seharusnya ia jaga untuk suaminya di masa depan telah direnggut oleh pria brengsek itu.
"Arrghh!" Stella meraung sembari memukul keras kepalanya. Jijik, malu, benci menjadi satu di dalam pikirannya, ia merasa seperti perempuan murahan dalam 1 malam. "Bajingan! Kenapa hidup gue kayak gini?!"
Stella menangis sejadi-jadinya, ia sangat takut untuk kembali bertemu dengan pria itu, yang sialnya Stella tak mengingat jelas wajahnya.
Puas menangis, Stella pun bergegas mencari sembarang pakaian yang bisa untuk menutupi tubuhnya, dan kabur dari tempat ini.
Beberapa menit berlalu, Stella telah keluar dari dalam kamar dengan mengenakan kemeja putih, dan celana lepis panjang. Ia melangkah pelan supaya tak ada yang tahu keberadaannya yang kini telah sampai di ruang tamu.
Stella terus mengawasi keadaan sekitar dan sesekali berjalan mundur, hingga tak menyadari kakinya menabrak seseorang yang tergeletak di lantai dengan hidungnya yang mengeluarkan darah.
Stella reflek menutup mulutnya yang hampir berteriak. Jantungnya berdegup lebih cepat saat suara derapan langkah menuju ke arah ruang tamu.
Stella buru-buru mencari tempat untuk bersembunyi, dan berlari menuju belakang sofa.
"Gerta, bangun, Nak! Ayo buka mata kamu! Ayah sudah bawakan obat!" Pria itu berusaha membangunkan putranya yang pingsan dengan menepuk kedua pipinya.
"Ini gara-gara anak sialan itu! Dia nggak pernah mau urusin kakaknya!"
"Yogi!" panggil pria itu dengan suara keras. "Yogi! Buruan ke sini, atau kamu saya bunuh!"
Tak lama seorang lelaki datang menghampirinya, dan segera membantu pria itu untuk membopong putranya menuju mobil yang sudah terparkir di halaman.
Stella menghela napas lega, dan kembali berlari menuju halaman. Sepertinya keberuntungan sedang berada di pihaknya, terbukti gerbang besar itu terbuka lebar tanpa penjaga, dengan cepat Stella berlari meninggalkan rumah besar itu. Ia bersumpah tak akan pernah kembali lagi.
Sepanjang perjalanan Stella terus menahan tubuhnya yang sakit, dan lemas. Bibirnya terlihat senada dengan warna kulitnya, napasnya tersenggal, perutnya begitu lapar, parahnya lagi ia tak tau arah jalan pulang.
Stella memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya di teras toko yang masih tutup, ia sama sekali tak membawa uang, bahkan ponselnya dibawa oleh Sofia. Stella menelungkupkan wajahnya, bahunya bergetar pertanda ia kembali menangis.
"Kenapa dunia jahat sama aku? Aku masih punya masa depan, kenapa mama juga jahat sama aku?" Stella terisak sembari menjambak rambutnya. Hatinya begitu sakit ketika bayangan wajah Sofia terlintas di benaknya.
Suasana yang sepi kini seketika lenyap saat suara derapan langkah kaki berhenti tepat di depannya, diiringi suara napas yang tersenggal-senggal. Hal itu membuat Stella mendongakkan wajahnya, dan menatap heran pada cowok yang kini tengah menyeka keringatnya dengan seragam sekolahnya.
Pandangan mereka saling bertemu, saat cowok itu menoleh ke samping.
"Lo? Lo nggak kabur?!" ujar cowok itu bernada panik.
Stella mengkerutkan dahinya bingung. "Kabur?"
Cowok itu mengangguk cepat, dan menoleh ke belakang sejenak. "Ada razia! Lo harus lari kalau nggak mau ditangkap Satpol PP!"
Stella dibuat melongo oleh penuturan cowok itu. "Lo pikir gue gelandangan?!" Protesnya tak terima.
Cowok itu mengabaikan pertanyaan Stella, dan memilih berjongkok di depannya. Hal itu membuat Stella kembali dibuat bingung.
"Naik! Cepatan naik!" pinta cowok itu dengan nada paksaan.
"Na-naik ke mana?" Rupanya Stella masih belum paham maksud cowok itu.
"Naik ke punggung gu-"
"Woi! berhenti di sana!" teriak petugas Satpol PP yang tak jauh dari mereka.
Stella mendadak panik, ditambah terkejut saat cowok itu tiba-tiba menggendongnya di belakang, dan membawanya kabur dari petugas.
"Lo mau bawa gue ke mana?! Lo pikir gue gelandangan?! Yang harus ditangkap itu elo. Turunin!" Stella memukul punggung cowok itu sedikit keras.
"Pakaian lo ada yang robek, muka lo kumal banget! Siapa yang percaya kalau lo bukan gelandangan?" ujar cowok itu yang kini berlari menuju bangunan rumah kosong.
Cowok itu menurunkan gendongannya, dan menarik Stella untuk bersembunyi di balik dinding yang terlihat sudah berlumut.
Cowok itu membekap mulut Stella saat suara dari seseorang tak jauh dari mereka.
"Ke mana anak itu?"
"Coba kita cari ke arah sana!" Salah satu pria menunjuk ke arah timur, lalu berlari meninggalkan halaman bangunan.
Terdengar hembusan napas lega dari cowok itu, yang kini telah merosotkan tubuh lelahnya, dan bersandar pada dinding.
"Heh, gara-gara lo sekarang gue nggak tau arah jalan pulang!" ujar Stella begitu kesal.
Cowok itu lantas berdecak, sembari menatap Stella dengan datar. "Harusnya lo ngucapin terimakasih! Udah ditolongin, masih bacot! Minimal beliin gue es teh, panas banget gila!"
"Sarap! Gue bukan gelandangan, asal lo tau! Gue model!" protes Stella.
"Tapi muka lo mirip-"
"Apa?!" Stella berkacak pinggang, membuat cowok itu tergelak.
"Emang rumah lo mana?" tanya cowok itu sembari menompang dagunya menatap wajah Stella, dengan wajahnya yang begitu tengil.
"Nggak gue bawa!" ketus Stella lalu memalingkan wajahnya.
"Galak banget lo jadi cewek, eh ... btw lo kayaknya masih seumuran deh sama gue, kok nggak sekolah?" tanya cowok itu.
Stella melirik sinis, "Harusnya pertanyaan itu juga wajib dijawab sama lo!"
Cowok itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Gue bolos hehe, lupa ngerjain matematika. Ketahuan deh, kalau gue lagi main PS."
Stella merotasikan bola matanya sebagai respond.
Cowok itu menatap Stella begitu intens, sebelumnya ia tak pernah berjumpa dengannya, dari sekian banyaknya gadis yang ia kenali di daerah sekolahannya.
Setelah beberapa menit saling diam, tiba-tiba cowok itu mengulurkan tangannya ke arah Stella.
"Gue Altra, nama lo siapa? Nggak mau jawab, berarti namanya My Mine."
🍂
"Kamu bohongin saya Sofia!" bentak Dewangga pada wanita di seberang sana.
"Bohong? Apa maksud kamu?"
"Kamu nipu saya, kenapa kamu kasih gaun itu buat seorang gadis?! Kamu tahu? Saya sudah merenggut kesuciannya!" Dewangga meraup wajahnya begitu kasar. Pria itu tak peduli dengan orang-orang di sekitar koridor rumah sakit tengah memperhatikannya.
"Bagus dong! Kamu justru dapat perawan! Kebetulan aku juga baru datang bulan, jadi sebagai gantinya aku kasih anak aku aja."
"Gila kamu Sofia! Tega ngorbanin anak sendiri, demi uang?!"
Wanita itu tertawa lepas di seberang sana. "Kita sama-sama gila, Dewangga ...." Sofia memindahkan ponselnya pada telinga kanan, sembari menekan tombol remot tv. "Oke ... tenang! Aku bakal tanggung jawab, selesai nanti aku bakalan datangin kamu. Oke, see you babay Dewangga Sayang! Oh iya, thank's lima ratus jutanya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐋𝐓𝐑𝐀𝐊𝐒𝐀 (My Absurd Husband)
Ficção AdolescenteEnd✔ R 17+ "Altra kalau kita nanti terpisah, aku bakal cari cara buat kita kembali." Sesuai seperti apa yang Stella janjikan untuk Altra, ia rela mengorbankan semuanya untuk seseorang yang sangat berarti di masa lalunya. Altra kehilangan memori inga...