🐑 45

1.3K 23 10
                                    

Hari Senin telah tiba, hari yang terasa begitu panjang apalagi setelah lelahnya berdiri beberapa puluh menit untuk mengikuti upacara. Belum sempat penghuni kelas XI. IPA 1 melepas penatnya, sang bendahara justru menjalankan tugasnya untuk menagih tunggakan mereka. Siapa lagi jika bukan Genta.

"Kass! Yang belum bayar buruan dibayar! Duitnya mau dipakai buat beli penghapus papan tulis!" teriak Genta sembari berjalan menyusuri setiap meja.

"Beli lagi?!" protes Aksa.

"Patah!" sembur Genta.

"Gue absen ya nih! Nurani kurang lima ribu, tapi udah gue bayarin-"

"Hah?! Lo bayarin? Kapan?!" Itu suara Aksa yang telah berdiri dari bangkunya.

"Biasa aja, Anjir! Lagian meringankan beban cewek itu termasuk pahala," kata Genta dengan bangga.

"Makasih Genta," ucap Nurani sedikit malu.

Genta membalasnya dengan senyuman manis sembari mengacak puncak kepala Nurani, membuat Aksa ingin sekali mematahkan tangan cowok itu.

"Aksa kurang enam ribu!"

"Besok!" timpal Aksa yang sepertinya sudah jengah ditagih terus-menerus.

Genta menggelengkan kepalanya berusaha untuk sabar.

"Alatas kurang sepuluh rib-"

"Viral! Remaja berumur enam belas tahun mengalami koma usai dianiaya teman satu kelasnya, karena kerap menagih uang kas."

Kalimat yang dibacakan Alatas dari layar ponselnya, mampu membuat Genta gelagapan.

"Ya ... ya kan, ini tugas gue, Nyet! Lo semua mau kelas jadi maju nggak sih?" ujar Genta begitu kesal.

"Makanya lo beli dagangan gue, biar gue bisa lunasin utang kas!" timpal Alatas.

"Oh iya, Ala ... aku mau beli penggaris dong! Kamu ada?"

Suara seorang gadis yang kini telah berdiri di samping Alatas membuat cowok itu lantas menoleh ke arahnya.

"Ya jelas ada lah! Lo mau penggaris bentuk apa? Gue punya semua!" Alatas lantas mengeluarkan dagangannya yang tak bisa dibilang sedikit dari dalam tas. Aksa yang duduk di sampingnya hanya menggelengkan kepalanya.

"Kayak penggaris gue deh," gumam Arshan sembari meraih penggaris berwarna biru dari meja Alatas.

"Sembarangan! Lo pikir cuma lo aja yang punya?" ujar Alatas lalu merebut penggarisnya dari Arshan.

"Ini juga penggaris gue deh kayaknya!" Aksa justru ikut menimpali. Hal itu membuat Alatas semakin kesal. Ia ingin menggeplak kepala Aksa, tapi ia urungkan karena gadis itu lebih dulu menyela.

"Aku beli yang ini deh, gambar minion lucu!" Gadis berambut sebahu itu mengambil penggaris berawarna kuning.

"Nah iya itu juga bagus tuh! Ini juga cocok buat nempeleng kepalanya Genta!" Sahut Alatas begitu semangat.

"Oke, berapa harganya?" tanya gadis itu.

"Buat lo lima ribu aja sih," balas Alatas sembari tersenyum.

"Gue beli di koperasi harganya nggak sampai segitu, tuh?" sahut Genta yang sudah berada di hadapannya.

"Nggak usah rese ya lo!" ujar Alatas. "Lo- hehe oke makasih! Lain kali beli lagi ya!" Cowok itu melambaikan tangannya sembari tersenyum manis, lalu beralih menatap Genta dengan tatapan sinis. "Nih gue bayar dua ribu dulu!"

"Kok cuma dua ribu?" protes Genta.

"Nggak mau yaudah, sini balikin!"

Genta lantas memasukkan uang yang diberikan Alatas ke dalam buku kas dengan perasaan dongkol.

Berbanding terbalik dengan Alatas yang begitu senang karena jualannya laku meskipun hanya satu. Diam-diam ia memasukkan uangnya ke dalam sebuah buku catatan berisi lembaran uang yang selalu ia simpan di dalam tasnya.

🐑

Pantulan bola voli yang dimainkan oleh Altra pada waktu jam istirahat, menggema di setiap sudut lapangan indoor.

Beberapa kali bola itu dilempar begitu kuat hingga mampu memantul pada dinding teratas.

"Argh! Lo udah rebut Ayah gue!"

Altra langsung mencengkram kerah seragam Arshan yang sedari tadi hanya diam menerima amukan Altra.

"Lo udah hancurin keluarga gue!"


Punggung Arshan terbentur keras pada dinding setelah Altra mendorongnya begitu kuat. Kabar perceraian kedua orang tuanya membuatnya begitu terpuruk dan tak habis-habisnya menyalahkan Arshan.

"Maaf ...." Hanya itu yang bisa Arshan katakan, ia tak tahu harus berbuat apa selain menerima kembali kemarahan Altra.

"Kenapa harus lo orangnya?! Kenapa harus lo yang rebut Ayah gue?!"

Altra mengacak rambutnya frustrasi, memukul Arshan berulang kali tak cukup membuatnya merasa puas. "Gue benci sama lo! Kenapa nggak dari dulu lo mati?!"

"Ya Tuhan, Altra!"

Stella yang baru saja datang sembari membawa 2 botol minuman dingin itu bergegas menghampiri mereka setelah mendapati Arshan yang bersandar lemah di dinding dengan luka lebam menghiasi wajahnya.

Stella langsung menarik Altra ke dalam pelukannya, agar tak berbuat lebih pada Arshan.

"A-Arshan, tolong jangan ketemu sama Altra dulu, gue mohon!" Stella menatap Arshan yang terlihat begitu kesakitan. "Kondisi Altra belum sepenuhnya pulih, gue takut terjadi apa-apa sama dia."

Arshan membuang napas berat, ia kembali menatap Altra yang tengah mencengkram kepalanya sendiri. "Altra, tolong maafin gue. Andai gue tau hal ini akan terjadi, gue lebih milih mati di dalam kandungan dari pada lihat lo yang kesakitan karena gue."

"Pergi, Anjing!" bentak Altra seakan tak mau mendengar penjelasan Arshan.

"Arshan, please!" Stella kembali memohon. Maka mau tak mau, cowok itu beranjak dari lapangan dan kembali mengubur harapannya untuk kembali berdamai dengan Altra.

"Sayang?" panggil Stella sembari mengusap rambut Altra.

"Gue nggak mau mereka cerai," kata Altra begitu lirih bahkan seperti berbisik. Cowok itu menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Stella.

Kedua tangan Stella menepuk pelan bahu Altra untuk memberi rasa tenang.

"Dia bukan Ayah gue lagi ya?"

"No, nggak boleh berpikir kayak gitu! Sayang, dengerin aku ya? Apapun keputusan Mama kamu, aku yakin itu yang terbaik. Aku emang enggak tau masa lalu mereka, tapi Ayah tetaplah seorang Ayah, kamu nggak boleh anggap dia sebagai mantan Ayah kamu, oke?" tutur Stella sembari mengusap rambut Altra.

"Nangis aja, nggak ada larangan cowok untuk nangis."

Stella tahu bagaimana rasanya di posisi seperti Altra, ia bahkan pernah merasakannya saat menginjak Sekolah Dasar. Butuh bertahun-tahun agar Stella terbiasa hidup dengan ibunya, sang Ayah yang setiap hari ia rindukan justru telah mempunyai putri baru.

"Kenapa Mama setuju sama perceraian itu?" gumam Altra.

"Karena hubungan tanpa cinta, yang ada justru menyakiti diri sendiri. Sama saja kita mempertahankan penyakit tanpa memberinya obat,"

ucap Stella sembari mencium kening suaminya.

Tbc.

 𝐀𝐋𝐓𝐑𝐀𝐊𝐒𝐀 (My Absurd Husband)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang