🐑 44

1.5K 24 13
                                    

3 hari kemudian.

"Apa buktinya kalau Semesta sama Arel yang udah bikin Altra jadi masuk ke rumah sakit?"

Marco tersenyum miring, ia sudah menduga Genta pasti tak semudah itu untuk percaya dengannya. Cowok itu terlihat mengeluarkan ponselnya dari dalam saku lalu mendekatkan benda pipih itu tepat di telinga Genta.

"Lo dengerin baik-baik," kata Marco.

"Sejak kapan gue anggap dia teman?"

Kedua telapak tangan Genta menggenggam kuat tongkat biliar saat mendengar suara seseorang dari dalam ponsel Marco. Itu suara Semesta.

"Selamanya gue benci sama Altra. Dan ya ... kita akui kalau kita yang rencanain buat nyelakain dia, oh ... tadinya sih semua teman-temannya juga pengin kita celakain, tapi karena gue masih punya hati jadi–"

Marco menarik ponselnya dan kembali menyimpannya ke dalam saku.

"Sengaja gue rekam, biar tau siapa musuh kalian sebenarnya," kata Marco.

"Altra nggak akan dengerin omongan gue lagi," sahut Genta. Cowok itu membuang napas berat, "Altra sekarang benci gue, karena gue penyebab dia kehilangan memori."

Marco mengkerutkan dahinya, seakan tak paham apa yang Genta katakan.

"Altra, benci sama lo? Kehilangan memori? Jadi selama ini dia amnesia?"

Genta mengangguk, ia kembali membidik bola biliar di hadapannya. Dalam diam, Genta mengingat kejadian 3 tahun yang lalu. Kejadian di mana yang membuat Genta dilanda rasa bersalah ketika bersama Altra.

Flashback on.

"Jadi gue boleh peluk lo?"

Perempuan berseragam SMP itu mengangguk sembari tersenyum ceria. Ia merentangkan tangannya untuk menyambut pelukan dari Altra.

Keduanya saling berpelukan begitu erat hingga tak menyadari seseorang berjalan di belakang Altra sembari membawa sebatang kayu berukuran sedang.

"Maaf Al, tapi gue nggak mau lo punya hubungan sama orang yang udah ngehancurin keluarga gue."

"Arghh!" Altra seketika tersungkur di sertai darah yang perlahan mengalir dari kepala belakang.

"Altraa!" perempuan itu berteriak ketakutan saat kekasihnya yang ia peluk tiba-tiba terjatuh dengan kepala yang bersimbah darah.

"Bagus, Genta!"

Stella menoleh ke sumber suara dan mendapati sang ibu berjalan sembari berjalan ke arah cowok bertopi hitam yang baru saja membuang balok kayu itu di pinggir jalan.

"Ma-Mama?!"

"Akhirnya Stella bisa terbebas dari anak ini!" seru Sofia begitu girang.

"Kamu yakin nggak mau dibayar?" tanya Sofia.

Cowok itu menggeleng, tanpa mengalihkan pandangannya dari Altra yang sudah tak sadarkan diri.

"Oke! Jaga baik-baik ayahmu itu, dia suka nelpon saya tengah malam," ucap sofia lalu menarik tangan Stella agar ikut dengannya.

"Mama, aku nggak mau! Aku mau sama Altra!"

"Diem! Dasar anak sialan! Gara-gara dia, kamu jadi males buat kerja!"

Flashback off.

Genta memejamkan matanya, bayangan masa lalunya terus menghantuinya sampai sekarang. Bekerja sama dengan Sofia untuk memisahkan Altra dan Stella pernah ia lakukan, lantaran ia tak mau sahabatnya mempunyai hubungan dengan orang yang telah menghancurkan keluarganya, sedangkan Sofia tak mau anaknya terus bertemu dengan Altra hingga melupakan pekerjaannya.

"Gen?" Panggilan dari Marco membuat lamunan Genta seketika buyar.

Setelah menyodokkan bolanya, Genta kembali menegapkan punggungnya dan menatap Marco.

"Lo cukup tau sampai sini, but thank you udah kasih tau gue kebusukannya Semesta sama Arel," ucap Genta sembari tersenyum tipis lalu meringis lantaran bekas pukulan dari Altra di ruang rawat beberapa hari yang lalu masih terasa nyeri.

🐑

"Lusiana, maafkan aku yang udah bertahun-tahun bohongin kamu."

Vano membuang napas gusar, ia bahkan tak mampu menatap wanita yang ada dihadapannya saat ini. Malu, menyesal dan takut telah hingga di benaknya.

Bagaimana bisa ia mengkhianati cinta dari wanita berhati lembut itu, bahkan hingga 16 tahun lamanya.

"Semua sudah terjadi, nggak ada yang perlu disesali," kata Lusiana sembari tersenyum tipis. Tak dipungkiri meskipun terlihat tegar, sembab di mata cantiknya beberapa hari belum juga pudar.

"Vano, menyesalah kalau kamu nggak bertanggung jawab sampai tua besok, Arshan butuh seorang Ayah. Anak itu diam bukan berarti dia tak peduli oleh apapun, Arshan ada karena kalian, maka dari itu kamu harus bertanggung jawab sepenuhnya untuk dia," tutur Lusiana sembari mengusap lengan Vano. Tak ada kemarahan setelah Vano mengatakan semua rahasianya, wanita itu justru membantu mencari jalan terbaik untuk mereka.

Air mata Vano kembali luruh, bagaimana bisa wanita itu berusaha untuk tetap tersenyum sedangkan hatinya terluka.

"Altra, Ayyara. Mereka masih punya aku dan kakek neneknya, sedangkan Arshan dia hanya mempunyai seorang ibu. Vano, jangan bedakan kasih sayangmu buat dia, Arshan sudah aku anggap sebagai putraku," lanjut Lusiana.

Vano mendongak, sebisa mungkin ia menatap kedua netra Lusiana yang selalu memancarkan ketulusan.

"Apa setelah ini aku masih boleh bertemu dengan mereka?" tanya Vano.

Wanita itu mengangguk sembari tersenyum, "Mereka tetap anak kamu sama aku, kamu bebas bertemu kapan pun."

Tanpa izin, Vano langsung memeluk tubuh Lusiana begitu erat. Wanita itu menepuk bahu Vano yang bergetar tanda ia sedang menangis.

Vano menangkup pipi Lusiana dan menatapnya begitu lekat. Entah kenapa rasa itu datang ketika semuanya sudah terlambat.

"Saya boleh ijin cium kamu sebagai salam perpisahan?" tanya Vano dengan suaranya yang bergetar.

Lusiana mengangguk kecil sebagai tanda mengjinkan Vano untuk menciumnya.

Perlahan Vano mendaratkan bibirnya pada kening Lusiana, air matanya kembali luruh dadanya semakin terasa sesak, terlintas kenangan tentang mereka yang hari-hari dilalui dengan tawa bersama kedua anaknya. Tak lama kemudian ia memundurkan kepalanya dan kembali menatap Lusiana.

"Jadi ayah yang hebat buat Arshan ya?"

Vano mengangguk dan mengecup punggung tangan Lusiana. Pria itu meraih ranselnya, dan kembali melangkah mundur.

"Selesai sidang perceraian kita, tolong tetap jadi teman baikku seperti dulu."

Lusiana kembali mengangguk dan membalas lambaian tangan dari Vano yang sudah berdiri di depan pintu mobil.

Air mata yang sedari tadi ditahan oleh Lusiana akhirnya luruh, dadanya begitu sesak bahkan tubuhnya terasa lemas. Tak semudah itu untuk terlihat baik-baik saja di saat Vano menjelaskan perasannya pada masa lalunya.

Ya Tuhan, cukup Vano orang yang aku cintai pergi meninggalkanku. Jangan buat aku kembali merasa kehilangan. Batin Lusiana dengan matanya menatap nanar mobil Vano yang telah menjauh dari halaman rumah mereka.

Tbc.

 𝐀𝐋𝐓𝐑𝐀𝐊𝐒𝐀 (My Absurd Husband)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang