Akibat penyerangan secara tiba-tiba oleh musuh rencana mereka menikmati pasar malam diundur. Keluarga kecil yang terdiri dari kedua orangtua dan ketiga anak laki-laki tengah pergi menuju ke rumah sakit. Sosok kepala keluarga terus saja menatap kearah kursi samping dimana sang istri tengah menahan darah yang terus mengalir di pundak kiri sang sulung.
Rimba anak tengah berusaha menenangkan sang adik yang masih saja menangis padahal Stevan juga melihat bahwa Rimba tengah menangis juga. Stevan sedikit menggelengkan kepalanya menatap tingkah kedua anaknya itu.
"Lu bawa mobil cepetan dikit Stevan!" protes Lusiana memukul bahu sang suami.
"Sabar napa! Dikira gua pembalap kali!" kesal Stevan akibat ucapan sang istri.
"Papa buruan!" pekik Rimba.
"Pokoknya abang kalau nambah sakit adek marah sama papa!" pekik Fano.
Stevan akhirnya mengangguk memilih mempercepat laju mobil yang dia kendarai. Stevan paham bahwa Argo bukan tipikal anak yang mudah menyerah.
Bahkan Stevan lihat sebenarnya Argo telah bangun cuma dia sengaja diam saja tidak memberitahu ibunya. Stevan paham Argo ingin manja sebentar dengan sosok ibunya.
Beberapa menit kemudian mereka tiba di rumah sakit. Stevan memilih menggendong tubuh Argo sementara mengenai mobil terserahlah.
Di koridor rumah sakit Stevan berlari duluan dibandingkan istri dan kedua anaknya. Saat di rasa jauh dia memukul kepala sang anak yang masih saja berpura-pura tidur.
"Kau ini buat khawatir mama saja," omel Stevan kepada Argo.
"Anak sakit malah diomelin heran dah gua," ujar Argo malas.
"Lu mah anak ajaib Argo," ujar Stevan santai.
Walaupun Stevan memarahi Argo dia tetap saja khawatir terhadap keadaan sang anak. Stevan juga menahan darah yang mulai mengering di pundak kiri Argo. Argo diam saja dia memilih menyenderkan kepalanya di pundak Stevan dengan nyaman.
"Kau putra pertamaku Argo. Sosok yang mengajarkanku mengenai bagaimana rasanya menjadi seorang ayah," ujar Stevan.
"Buruan jalannya. Badan gua lemes banget," ujar Argo tidak suka akan ucapan sang ayah.
"Golongan darah lu sama kayak gua. Jadi santai aja kali," ujar Stevan santai.
Mereka berdua akhirnya tiba di ruangan operasi. Argo yang akan dipindahkan ke ruangan operasi malah tidak mau. Stevan sedikit heran akan itu semua ketika melihat wajah Argo dia akhirnya mengerti.
"Sepertinya putra saya ingin ditemani oleh saya," ujar Stevan kepada dokter.
"Baiklah silahkan tuan," ujar dokter.
Di ruangan operasi setelah dokter membius Argo untuk kelangsungan operasi. Stevan diam saja memperhatikan bagaimana dokter bekerja dia tidak bisa keluar disebabkan tangan kanan Argo memegang kemeja yang digunakan Stevan.
"Maafkan papa sedikit egois ya, Ar. Kau belum sepenuhnya merasakan kasih sayang malah mendapatkan kedua adik," batin Stevan menatap wajah damai Argo.
Beberapa jam kemudian peluru yang tertanam di pundak Argo berhasil dikeluarkan. Stevan biasa saja menatap para dokter yang melakukan operasi di depan matanya.
Stevan bahkan pernah mengambil peluru yang tertanam di tangan kanan dia sendiri tanpa bantuan obat bius.
Jadi hanya operasi kecil saja tidak berpengaruh banyak untuk dirinya sendiri. Selesai melakukan operasi Argo dipindahkan ke ruangan rawat untuk mendapatkan perawatan secara intesif.
Di ruangan rawat hanya terdengar celotehan dari kedua anak yang asyik sendiri. Mulut mereka penuh oleh cemilan yang diberikan sang ibu. Di sisi lain Stevan sibuk telepon dengan seseorang terlihat juga bahwa Stevan menahan amarah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Save My Brothers (END)
General FictionArgo sosok pria dewasa yang kehilangan kedua adiknya. Sosok pria dewasa yang memang terkenal dingin itu semakin tidak tersentuh sejak kematian kedua adiknya. Bahkan di usia 35 tahun Argo belum juga menikah. Kedua orangtuanya sering menjodohkan dia n...