Suara kicauan burung membuat sosok pria dewasa yang berstatus sebagai seorang ayah dari tiga anak terusik dari tidurnya. Saat membuka mata dia melihat si bungsu tidur di dadanya ketika berusaha bangun dia sulit bangun ternyata kedua anaknya yang lain memeluk tubuh dia.
Merasa ada suara masuk disana ada sang istri terlihat baru saja selesai mandi. Stevan tersenyum kearah Lusi membuat istrinya menatap malas Stevan.
Lusi telah memakai pakaian di dalam kamar mandi. Dia malas akan sikap mesum Stevan yang tidak tahu tempat. Melihat tatapan memelas Stevan membuat Lusi terkekeh akan tingkah manja Stevan saat sakit.
Dengan pelan Lusi menggendong tubuh Fano yang tertidur pulas. Ketiga anaknya dia pindahkan ke bawah satu-persatu tanpa kesulitan ke samping dekat sofa disana sudah ada kasur yang memang sengaja dia siapkan untuk tidur.
"Sayang! Peluk!" rengek Stevan merentangkan tangannya kearah sang istri.
Lusi mendekat kearah sang suami. Dia duduk di samping Stevan karena tidak mau Stevan memindahkan tubuh kecil Lusi di pangkuannya dan memeluknya sangat erat. "Kau ini kalau bertingkah manja sama persis seperti ketiga anakmu," ujar Lusi.
Stevan tidak peduli dia malah semakin bersembunyi di bahu sang istri. "Aku tidak pernah manja tahu sayang! Mendiang bunda saja aku merasakan kasih sayangnya cuma sebentar makanya aku sangat manja padamu," adu Stevan.
Wanita yang berstatus sebagai istri Stevan memaklumi sifat manja sang suami. Sifat yang juga turun kepada ketiga anaknya membuat Lusi merasa memiliki empat bayi besar di rumah. Apalagi pernah suatu waktu mereka sakit secara bersamaan membuat dia sangat kerepotan.
Ditambah mereka tidak mau jauh sama sekali darinya. "Sayang," gumam Stevan.
"Ada apa?" tanya Lusi mengelus rambut sang suami.
"Kepalaku pusing banget. Mau dielusin sampai bobo," ujar Stevan.
"Aish kau ini seperti anakmu saja," ujar Lusi.
"Sayang!" rengek Stevan tidak terima.
Memilih mengalah Lusi dengan lembut mengelus rambut Stevan. Tak lama suara dengkuran halus terdengar membuat Lusi tersenyum. Dia dengan pelan berusaha melepaskan pelukan sang suami malah membangunkan Stevan.
"Sayang!" rengek Stevan.
Dengan pelan Lusi kembali menidurkan sang suami persis seperti anak kecil. Dia sedikit perlahan-lahan menggendurkan pelukan dan memposisikan Stevan di tempat tidur agar nyaman dalam tidur.
Dirasa aman membuat Lusi bernafas lega. Tepukan di pipi Argo membuatnya terbangun dari tidur. Hal pertama yang dilihat Argo adalah sang ibu tersenyum lembut kearahnya.
"Selamat pagi mama," ujar Argo.
Kecupan di kening diberikan oleh Lusi kepada sang anak. Argo tersenyum dan membalas tindakan sang ibu dengan hal yang sama.
Melirik kearah ranjang rumah sakit dimana ayahnya tertidur. "Papa belum bangun?" tanya Argo.
"Oh papa tadi sedikit rewel baru aja tidur," sahut Lusi.
"Yah berarti aku tidak sarapan sama mama," keluh Argo tidak bersemangat.
Lusi menepuk pundak sang anak. "Hari ini abang, kakak dan adek bersama om dulu ya sarapannya. Maaf ya mama jaga papa dulu kan kamu tahu papa kalau sakit rewel banget," ujar Lusi.
"Hehehe iya aku mengerti," tawa Argo.
"Abang cuci muka dulu ya. Kalau mau bolos sekolah gak papa mama tidak larang kok. Kamu rajin banget sih sekolahnya," ujar Lusi.
"Terus Rimba?" tanya Argo.
"Adikmu kalau perkara bolos paling semangat dia pasti berkata aku bebas dari guru galak," ujar Lusi.
"Iya Dan memang begitu," sahut Argo.
"Sang sulung menggelengkan kepala beberapa kali karena sekilas melihat mengenai masa lalunya dulu. "Lho abang sakit mama panggilkan dokter, ya?" tanya Lusi khawatir.
"Tidak perlu mah. Hanya sedikit menyesuaikan cahaya tadi," sahut Argo.
"Syukurlah," ujar Lusi bernafas lega.
Mendengar suara bangun ternyata Fano balita berusia tiga tahun itu memang terbiasa bangun pagi untuk sarapan bersama-sama. Melihat sang kakak belum bangun dia duduk di perut Rimba. Merasa berat Rimba terbangun dari tidur ternyata ulah sang adik.
"Hey adek!" kesal Rimba.
"Kakak bangun dong! Adek laper tahu mau sarapan!" pekik Fano kepada sang kakak.
"Awas dulu kamu nya jangan di perut kakak," ujar Rimba.
Balita itu turun dari perut Rimba. Anak berusia sembilan tahun menatap wajah sang abang membuat Argo tidak mengerti.
"Kalian bersama om dulu ya sarapan pagi ini," ujar Lusi kepada ketiga anaknya.
"Kok bukan bersama mama?" tanya Rimba.
"Papa kalian sedikit manja sama mama," sahut Lusi.
"Tinggalin papa saja dia sudah besar kok manja," ujar Fano.
"Ucapan adek benar mah. Papa tidak perlu dijaga kayak anak kecil saja," sahut Rimba.
"Kenapa semakin lama mirip Stevan sih?" batin Lusi mendengar ucapan kedua anaknya.
Alasan Stevan dan ketiga anaknya sering bertengkar yah itu. Sifat mereka persis sama tidak mau kalah satu sama lain. Untung ada Lusi yang akan memisahkan pertengkaran antara ayah dan anak tersebut.
"Pagi kakak ipar! Para keponakanku yang tampan!" sapa Marcus.
Kedatangan Marcus membuat Lusi tersenyum berbeda dengan tiga bocah disana. Argo memberitahu bahwa untuk cuci wajah dulu sebelum pergi bersama Marcus. Mereka menurut lantas pergi menuju kamar mandi yang berada disana.
Marcus yang menjabat sebagai adik Stevan menatap ranjang Stevan tidur. Wajah damai dalam tidur Stevan membuat dia tenang.
"Menurut dokter abang kenapa kak?" tanya Marcus kepada Lusi.
"Anemia dan memang imun tubuh Stevan sedikit menurun," jawab Lusi.
"Tidak biasanya abang begini. Mungkin saja belakangan ini dia memikirkan banyak hal berat dalam otaknya," ujar Marcus.
"Dia berkata padaku sebelum sakit bahwa musuh semakin mengincar ketiga anak kita. Kupikir itu hal yang sangat mengganggu pikirannya," ujar Lusi.
"Aku telah memberitahu Bang Edward untuk menggantikan abang sementara di kantor. Biarkan abang istirahat hingga kondisi dia benar-benar pulih," ujar Marcus.
"Terimakasih dek kamu sangat pengertian," ujar Lusi.
"Sama-sama kak," ujar Marcus.
"Dulu aku hampir memiliki seorang adik namun tidak jadi," ujar Lusi.
"Mengenai keselamatan ketiga bocil aku telah memberitahu ayah. Dia berkata akan membantu memantau dari kejauhan terutama Argo," ujar Marcus.
"Papa juga akan kesini untuk membantu menjaga mereka," ujar Lusi.
"Mama!" panggil Fano.
Pekikan balita itu mengalihkan perhatian kedua orang dewasa itu. Ternyata Argo memandikan kedua adiknya. Memang ada baju ganti yang dibawakan oleh Marcus pagi tadi untuk ketiga keponakannya.
"Wah keponakan om udah ganteng semua! Yuk sarapan dulu mengisi tenaga!" ajak Marcus.
"Ayo!" pekik Fano dan Rimba bersemangat.
"Mama mau dibawakan apa oleh kami?" tanya Argo kepada sang ibu.
"Apa saja nak," sahut Lusi.
"Baiklah," ujar Argo.
Marcus membawa ketiga bocah keluar ruangan rawat Stevan untuk sarapan terlebih dahulu.
Kepergian mereka membuat Lusi terdiam. Dia memikirkan mengenai seseorang yang mengincar Argo sangat gencar agar sang anak tiada.
Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis
Sampai jumpa
Jumat 08 Maret 2024
Maaf telat update ya

KAMU SEDANG MEMBACA
Save My Brothers (END)
Fiction généraleArgo sosok pria dewasa yang kehilangan kedua adiknya. Sosok pria dewasa yang memang terkenal dingin itu semakin tidak tersentuh sejak kematian kedua adiknya. Bahkan di usia 35 tahun Argo belum juga menikah. Kedua orangtuanya sering menjodohkan dia n...