77 (petualangan)

1K 126 14
                                        

Libur akhir minggu ini merupakan hal menyenangkan. Di sebuah kamar ada seorang remaja tengah membaca setiap rencana yang dia susun. Beberapa target dia beri tanda merah. Ada juga yang berwarna hitam pekat.

"Hitam mereka tiada. Jadi tersisa beberapa orang lagi. Kuharap dengan begini tidak ada kejadian tersebut di masa depan," harap sang remaja.

Langkah Argo lebih maju dibandingkan sang ayah. Dia bertindak sendirian untuk menghabisi beberapa musuh di masa depan. Tersisa beberapa orang lagi untuk dia bunuh.

Tanpa Argo sadari ada sosok Rimba memeluk sebuah bola basket sangat erat. Anak yang lebih muda tiga tahun dari Argo itu memperhatikan catatan sang abang.

"Abang ini artinya apa?" tanya Rimba.

Mendengar suara seseorang secara tiba-tiba, Argo langsung terjatuh dari kursinya. Rimba membantu sang abang untuk berdiri.

"Maaf abang. Kakak lupa mengetuk pintu," ujar Rimba.

"Tak masalah," ujar Argo.

Memiringkan kepala memperhatikan setiap catatan aneh sang abang. "Kenapa nama ini dicoret?" tunjuk Rimba ke sebuah nama.

"Dan tidak perlu tahu," jawab Argo.

Ia melipat catatan lantas menaruhnya di laci meja belajar. "Dan untuk apa kesini?" tanya Argo.

"Kita main basket yuk bang!" ajak Rimba.

"Boleh saja," ujar Argo.

"Ayo pergi!" ajak Rimba menarik tangan kanan abangnya.

Sang sulung menurut saja saat Rimba menarik tangan dia. Di depan pintu kamar ada sosok Fano tersenyum lebar. "Adek ikut!" pekik Fano.

"Ayo!" ajak Rimba.

Argo mengangkat tubuh kecil Fano dan menggendongnya. Rimba diam saja memperhatikan. Ketiga bersaudara itu menuju pintu utama untuk keluar. Mengenai Lusi sang ibu tengah sedikit sibuk membahas sesuatu dengan sang kakek.

Mereka tidak masalah ditinggalkan begitu saja. Sebelum pergi Argo memberi pesan kepada kedua orangtuanya bahwa mereka pergi. Selesai memberitahu sebuah mobil khusus mereka berhenti di depan mereka.

Masuk ke dalam mobil untuk segera pergi dari rumah. Rimba bangkit berdiri membisikkan sesuatu kepada sang supir pribadi.

Dirasa paham sang supir mulai menjalankan mobil. Para penjaga rumah tidak mengikuti mobil mereka. Argo tidak suka akan keramaian, jadi ia lebih mudah diincar oleh musuh disebabkan benci dikawal.

Tak lama pemandangan jauh lebih gelap. Fano diam saja balita berusia tiga tahun itu sedikit ketakutan. Tangan sang abang memegang erat tangan kanannya. Rimba terlihat biasa saja akan semua ini.

"Kenapa kita kesini?" tanya Argo kepada Rimba.

"Abang sering mengeluh tidak suka suasana ramai. Jadi aku pikir dengan suasana hutan akan membuat abang lebih senang bermain denganku," ujar Rimba polos.

Sumpah demi apapun Argo tidak habis pikir dengan pemikiran adik pertamanya ini. Pertama Fano baru pertama kali melihat bagaimana hutan itu. Sang ayah hanya mengajarkan tentang bela diri saja.

Jadi tentang alam liar seperti sekarang cukup menyeramkan bagi Fano. Wajar Fano ketakutan dia masih sangat kecil.

Beberapa saat kemudian mereka tiba di hutan yang lumayan lama. Sang supir berhenti sesuai ucapan Rimba.

Mereka bertiga turun dari mobil. Fano memegang kedua tangan sang kakak sangat erat. Rimba tersenyum tipis kepada Fano.

"Kita akan bersenang-senang disini," ujar Rimba.

Save My Brothers (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang