Di sebuah ruangan rawat ada sosok pria tengah menggendong anaknya yang memeluk erat lehernya. Bahkan sang anak tidak mau melepaskan pelukan sama sekali. Di sampingnya ada sang istri mengelus rambut anaknya.
Di ruangan tersebut ada dua sosok anak kecil yang nampak sedikit heran. Mereka sedikit bingung akan semua hal yang terjadi.
"Abang kok tumben mau deket sama papa?" tanya Fano kepada sang kakak.
"Entah kakak juga bingung," sahut Rimba.
Mereka berdua sibuk memakan cemilan yang dibelikan sang kakek. Memang baik Fano anak bungsu atau Rimba anak tengah tidak cemburu akan interaksi itu. Cuma kedua anak kecil itu merasa heran saja tidak biasanya sang kakak begitu.
"Rimba dan Fano biar bersamaku saja," ujar Bram mengelus rambut Argo yang masih nyaman bersembunyi di pundak sang ayah.
"Maaf merepotkanmu ayah," ujar Lusiana tidak enak.
"Tidak masalah. Kedua anakmu bukan tipikal anak yang rewel juga," ujar Bram.
"Mereka tidak rewel hanya sering menjahiliku saja!" protes Stevan.
"Jangan banyak mengeluh kau Stevan. Aku saja yang pusing membesarkan kau dan Marcus tidak masalah akan kenakalanmu," sahut Bram.
"Hahaha papa dimarahin opa," tawa Rimba nista.
"Kasihan deh lho!" ledek Fano.
"Sudahlah bawa kedua setan kecil itu!" kesal Stevan yang sangat jengkel akan ucapan kedua anaknya.
"Sayang sabarlah," ujar Lusiana.
"Mereka yang duluan sayang!" pekik Stevan.
"Papa," gumam Argo.
"Sst bobo lagi ya," ujar Stevan menepuk pelan punggung Argo.
"Kami pulang dulu. Kalian jangan terlalu memaksakan diri untuk menjaga Argo. Apabila lelah hubungi aku saja," ujar Bram.
"Jaga mereka baik-baik ayah. Biasanya tingkah keduanya sangat liar seperti monyet," ujar Stevan.
"Papa juga monyet!" ledek Fano.
"Sayang lihat putramu!" pekik Stevan.
"Jangan begitu ya adek," nasihat Lusiana kepada sang anak.
"Baiklah. Maafkan adek ya papa," sahut Fano.
"Ya nak," ujar Stevan.
Bram memegang kedua tangan cucunya keluar ruangan rawat. Kondisi Argo belum sepenuhnya pulih luka di pundaknya lumayan dalam. Jadi dokter menyarankan agar dirawat inap beberapa hari hingga lukanya mengering.
"Abang sini mama gendong," ujar Lusiana melepaskan kedua tangan sang anak yang tidak pernah lepas memeluk leher Stevan.
"Tidak mau!" pekik Argo.
"Biarkan saja sayang. Tubuh Argo tidak terlalu berat juga," ujar Stevan.
Stevan tidak keberatan menggendong Argo sejak anaknya bangun tidur hingga hari menjelang malam. Argo akan menangis apabila tidak digendong sang ayah. Suatu hal yang memang jarang terjadi.
"Kau lapar tidak sayang?" tanya Lusiana.
"Sedikit sayang. Aku tadi lupa makan siang," ujar Stevan.
"Kukira kau tadi telah makan siang saat kutinggalkan ke toilet," ujar Lusiana.
"Yah aku tidak tega menurunkan Argo dari gendonganku karena dia menangis tidak mau jauh dariku," ujar Stevan.
"Aku akan belikan makanan untukmu." Lusiana mencium kening Argo yang masih saja diam. "Kau menginginkan sesuatu untuk dimakan?" tanya Lusiana terhadap suaminya.
"Apa saja. Aku bukan pemilih juga kan," sahut Stevan.
"Baiklah." Lusiana mendongkak wajah sang anak sulung. "Jagoan mama yang satu ini mau nitip sesuatu?" tanya Lusiana mengelus rambut Argo.
"Tidak mau apapun lidahku pahit," sahut Argo.
"Makan bersama papa ya?" tanya Stevan kepada sang anak.
"Iya," sahut Argo.
"Belikan makanan yang tidak terlalu pedas," ujar Stevan.
"Oke mama beli dulu ya," ujar Lusiana.
Pria dewasa itu menutup kedua mata sang anak sejenak dia mendekat kearah sang istri lantas mencium bibirnya sekilas. Sang istri tersenyum dan membalas ciuman sang suami. Lusiana pergi dari ruangan rawat sang anak dan Stevan membuka mata anaknya.
"Gunung pertama bagi keluarga jovetic. Itu arti namamu nak," ujar Stevan.
"Kenapa namaku kental dengan bahasa jawa?" tanya Argo kepada sang ayah.
"Namamu memang telah papa rencanakan sejak kamu masih dalam kandungan mama," ujar Stevan mengelus rambut Argo.
"Terus nama adek kok beda sama aku dan Rimba?" tanya Argo.
"Adikmu sebenarnya bukan hal yang benar-benar direncanakan oleh papa dan mama," ujar Stevan.
"Jadi papa hanya sekedar bingung menamai anak begitu?" tanya Argo memastikan.
"Yah bisa dibilang begitu," ujar Stevan santai.
"Papa perih pundakku," keluh Argo.
"Tidur ya agar rasa sakitnya hilang," ujar Stevan.
"Mimpi buruk itu datang saat aku menutup mataku. Aku takut gagal melindungi kedua adikku pah," ujar Argo sedih.
"Papa akan berusaha melindungi kalian bertiga. Mengenai masa depan itu masih sangat lama sekali.
"Papa tidak akan membiarkan kalian tiada sebelum papa. Jadi kamu tenang saja," ujar Stevan menenangkan anak sulungnya.
"Ingatan itu sangat jelas sekali pah. Mungkin saja ada nyawa lain yang perlu dipertaruhkan agar kedua adikku selamat di masa depan," ujar Argo.
"Papa rela melakukan hal tersebut asal kalian hidup bahagia," ujar Stevan.
Pintu ruangan diketuk beberapa kali. Stevan menepuk punggung Argo dan membuka pintu ternyata salah satu anak buahnya.
"Ada apa?" tanya Stevan.
"Begini Mr. Van organisasi black mulai menyerang beberapa wilayah kecil kita untuk dikuasai. Menurut orang yang selamat setelah penyerangan bahwa sang pemimpin ingin bertemu dengan anak bungsumu," ujar pria tersebut.
"Hapus data ketiga putraku dari dunia bawah bahkan media cetak. Aku akan membuat dunia tidak tahu tentang ketiga malaikat kecilku," ujar Stevan.
"Saya juga mendapatkan beberapa pengkhianat untuk anda siksa," ujar pria tersebut.
"Mutilasi saja mereka. Dan jual organ vital mereka ke pasar gelap," jawab Stevan.
"Baik Mr.Van saya akan melaksanakannya," ujarnya.
"Mata-mata," gumam Argo.
Saat pria tersebut akan membuka pintu suara tembakan terlebih dahulu terdengar. Percikan darah menyebar akibat tembakan tersebut. Asap dari pistol yang digunakan Stevan terlihat jelas.
"Kau memang memiliki intuisi yang bagus," ujar Stevan.
"Kan tidak mungkin anak buah biasa tahu mengenai keberadaan papa," ujar Argo santai.
Pria dewasa itu tergelatak begitu saja mungkin nyawanya telah hilang dari tubuh. Stevan duduk sebentar membiarkan mayat di depannya.
"Kita akan melakukan sebuah akting," ujar Stevan.
"Yah aku mengerti," ujar Argo.
Mereka berdua memilih berpura-pura tidur tak lama ada seorang suster datang untuk memeriksa keadaan Argo. Suster tersebut histeris karena ada mayat di kamar rawat pasien.
Yah ayah dan anak itu berpura-pura tidak tahu. Suster percaya akan ucapan mereka berdua. Tanpa suster ketahui bahwa mereka saling melempar senyum smirk.
Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis
Sampai jumpa
Jumat 02 Februari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Save My Brothers (END)
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah keluarga saja tidak lebih. Argo sosok pria dewasa yang kehilangan kedua adiknya. Sosok pria dewasa yang memang terkenal dingin itu semakin tidak tersentuh sejak kematian kedua adiknya. Bahkan di usia 35 tahun...