Seorang anak kecil berusia dua belas tahun tengah berdiri diam menyaksikan sang ayah menyiksa seorang pria.
Teriakan kesakitan dari korban tidak mengetarkan dia untuk beranjak pergi dari tempat dia berdiri. Kedua bola mata korban bahkan tengah dimainkan oleh sang ayah dengan dilemparkan keatas langit berulang kali seolah bermain dengan sebuah bola kasti.
"Kau tidak berniat menguliti dia?" tawar Stevan kepada sang sulung.
"Aku benci teriakan darinya," komentar Argo terhadap pertanyaan sang ayah.
Stevan melemparkan sebuah pisau kecil kepada sang anak. Argo merentangkan tangan kanannya untuk menangkap pisau tersebut. Tangkapan Argo mendarat dengan sempurna salah sedikit saja telapak tangan Argo akan tergores.
"Kau lakukan yang kau katakan," perintah Stevan.
Anak itu maju ke depan untuk menghampiri sang ayah yang masih memegang kedua bola mata yang dipaksa lepas dari tempatnya. Orang yang disiksa Stevan adalah musuh mereka.
"Memang dia ingin melakukan apa?" tanya Argo.
Argo mengoreskan pisau kecil tersebut ke pipi yang sudah terdapat banyak luka gores disana. Pekikan kesakitan seolah tuli di pendengaran mereka berdua. Dia tersenyum smirk karena berhasil membuat kulit pipi korban sedikit terlihat tulang wajahnya. Stevan sedikit tertawa akan tingkah anak sulungnya.
"Ah dia akan menculik Rimba," ujar Stevan memberitahu.
"APA?!" kaget Argo.
"Kau yang membunuhnya atau diriku, my first boy?" tawar Stevan.
"Aku saja. Dia salah memilih lawan," jawab Argo.
Mangsa yang merasa bahaya mulai gelisah bahkan wajahnya tampak ketakutan walaupun tanpa kedua mata. Ketakutan tidak terlihat di wajah Argo. Bahkan sejak bayi dia jarang menangis membuat kedua orangtuanya khawatir terhadap Argo.
Argo mulai mendekat kearah daun telinga dengan mudah memotongnya dari yang kanan lalu kiri. Suara permohonan ampun tidak digubris oleh Argo sama sekali. Stevan memilih menonton saja aksi sang anak.
Selesai memotong kedua telinga. Argo menusukkan pisau tepat kearah dada dimana letak jantung berada. Stevan mencegah tindakan Argo membuat sang anak kesal.
"Ck kenapa kau menghentikanku, Stevan?!" kesal Argo.
"Punya anak kagak ada hormatnya sama bapak sendiri," komentar Stevan tidak suka sang anak memanggil namanya sendiri.
"Sendirinya saja sering memanggil opa dengan nama," sahut Argo.
"Hahaha putramu benar-benar duplikat dirimu," tawa Bram yang baru datang.
Stevan mendengus akan suara tawa sang ayah. Argo memilih melepaskan tangan besar Stevan dari pergelangan tangan dia. Argo mulai menusuk sedikit demi sedikit dada mangsa di depannya. Stevan menghampiri sang ayah dan mendapatkan jitakan sayang dari Bram.
Aksi brutal Argo menguliti orang membuat semua penjaga bergidik ngeri. Ayolah Argo masih bocah dibawah umur yang tidak trauma mengenai darah bahkan pembunuhan di depan matanya.
Bram menatap dalam diam aksi brutal cucu pertamanya. Argo nampak lihai menguliti tubuh manusia bahkan wajah Argo nampak senang akan itu semua.
Tiga puluh menit kemudian akhirnya organ vital terlihat jelas. Organ yang nampak sehat membuat otak kriminal Stevan bekerja dengan cepat.
"Ar boleh tuh organ vitalnya. Kamu cabut secara hati-hati agar tidak rusak," ujar Stevan memberi usul kepada Argo.
"Aku mengerti otak bisnismu papa," sahut Argo.
Argo menuruti ucapan sang ayah untuk melepaskan satu persatu organ vital secara hati-hati. Saat jantung dilepaskan mangsa langsung tiada seketika. Argo menatap datar itu semua terbiasa akan semuanya.
Kedua ginjal, paru-paru, usus, dan jantung berada di bawah lantai. Argo mengambil semua organ vital tersebut tanpa rasa jijik dengan menggendong mereka layaknya sebuah mainan.
Anak tersebut memberikannya kepada sang ayah. Bram memberikan sebotol air kepada Argo diterima baik oleh Argo.
"Opa bahkan mengira umurmu tidak akan bertahan lama Argo," ujar Bram kepada Argo.
"Kok gitu sih opa?" bingung Argo.
"Saat dirimu bayi kau membuat panik setiap harinya akibat kau jarang menangis bahkan saat kelaparan sekalipun. Dokter bahkan mengkhawatirkan kondisi anehmu, dia mengira dirimu mengalami gejala yang tidak bisa merasakan apapun," ujar Stevan.
"Lantas diriku kenapa?" tanya Argo.
"Sifatmu memang pendiam, namun saat kelahiran Rimba akhirnya kau bisa menangis juga," ujar Bram.
"Aku kira waktu itu boneka tahu ternyata saat aku tahan hidungnya malah menangis Rimba nya. Jadi aku menangis deh karena panik," ucap Argo polos.
"Anakmu sudah psikopat sejak dini," komentar Bram.
"Hey kau juga psikopat pak tua!" pekik Stevan.
Argo tidak peduli mengenai perdebatan antara sang ayah dan kakeknya. Dia lebih baik keluar dari ruang bawah untuk membersihkan diri. Argo membuka bajunya yang berlumuran darah dan mandi agar bau amis tidak tercium.
Selesai mandi Argo menuju ke kamar Fano. Saat dibuka ternyata kedua adiknya tengah tidur siang bersama.
Argo yang lelah ikut tidur bersama mereka berdua. Dia memeluk kedua adiknya sangat erat. Mereka yang merasa dipeluk membalas pelukan Argo tak kalah erat.
Sore harinya balita berusia tiga tahun terbangun dari tidurnya merasa ingin membuang air. Fano membangunkan kedua kakaknya agar mengantarkan dia ke kamar mandi. Mereka berdua setuju untuk mengantarkan Fano menuju kamar mandi.
Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis
Sampai jumpa
Jumat 12 Januari 2023

KAMU SEDANG MEMBACA
Save My Brothers (END)
Ficción GeneralArgo sosok pria dewasa yang kehilangan kedua adiknya. Sosok pria dewasa yang memang terkenal dingin itu semakin tidak tersentuh sejak kematian kedua adiknya. Bahkan di usia 35 tahun Argo belum juga menikah. Kedua orangtuanya sering menjodohkan dia n...