31 (koma)

2.6K 179 8
                                        

Ruangan serba putih hal yang dilihat pertama kali oleh Argo. Bahkan sejauh mata memandang hanya ada warna putih saja. Tepukan di pundak menyadarkan Argo ternyata itu sosok Henry.

"Ternyata wajahmu putih sekali Henry," ujar Argo melihat wajah Henry untuk pertama kalinya.

Sejak dulu Henry bersembunyi dalam bayangan maka dari itu Argo tidak tahu bagaimana wajah sang alter ego sesungguhnya kecuali mata yang semerah darah.

"Kau tahu aku tiada akibat tenggelam wajar wajahku jadi putih seperti ini," sahut Henry santai.

"Lantas darimana sifat psikopatmu itu?" tanya Argo heran.

"Itu sifat yang diturunkan oleh ayahmu sendiri Argo. Aku hanya mengikuti jalan pikiran dari otakmu saja," jawab Henry.

Ciri-ciri Henry layaknya remaja laki-laki berusia lima belas tahun, tinggi 165 cm, mata merah, wajah putih bersih walaupun lebih layak disebut putih pucat.

"Sepertinya aku akan beristirahat sementara waktu disini," ujar Argo.

Anak berusia dua belas tahun bersender di sebuah pohon tak lama penampilan dia berubah. Yang tadinya seorang anak kecil perlahan-lahan berubah menjadi seorang pria dewasa.

"Disini kau berubah menjadi dirimu sebenarnya," ujar Henry.

Argo membuka mata dia melihat telapak tangan dia yang kembali seperti sebelum dia mengulang waktu. Dia tersenyum akan semua itu dan lebih memilih tidur.

"Kedua adikmu dibunuh oleh orang yang sama. Kurasa dengan membunuh dia lebih awal ada kemungkinan kedua adikmu selamat dari mautnya," ujar Henry memberi saran.

"Musuhku berusia sembilan tahun sama seperti adikku Rimba. Mana bisa aku membunuh anak kecil tanpa alasan," jawab Argo.

"Kau tahu lebih baik mencegah daripada menyesal kedepannya," ujar Henry.

"Dia salah satu pewaris di dunia bawah apabila aku bergerak membunuh dia sekarang maka ayahnya akan memulai perang dengan papa," sahut Argo.

"Bagaimana kau yakin akan hal tersebut?" tanya Henry.

"Dunia bawah bukan kalangan biasa mereka bisa dengan mudah menemukan siapa yang telah menyakiti anggota keluarganya. Malah kemungkinan mereka lebih cepat membunuh kedua adikku," ujar Argo.

"Kau ada benarnya juga." Henry duduk di samping Argo dan memilih menatap langit berwarna putih. "Lantas sekarang kau akan melakukan apa?" tanya Henry kepada Argo.

Tidak ada jawaban dari Argo sama sekali. Dia juga bingung apa yang akan dia lakukan untuk mencegah kematian kedua adiknya.

Sementara di rumah sakit keluarga Jovetic mendapatkan kabar buruk bahwa Argo dinyatakan koma entah kapan dia akan sadar.

Kabar itu membuat Stevan marah dia dengan segera berlalu pergi bersama sang istri menuju dimana tempat sang pelaku Argo koma.

Sementara kedua anaknya dijaga oleh Marcus dan Bram. Mereka tidak diizinkan untuk ke rumah sakit oleh kedua orangtuanya.

Di rumah kediaman Jovetic kedua anak kecil tengah bermain walaupun terlihat ada kesedihan di raut wajah mereka berdua.

"Kak Rimba!" panggil Indra kepada Rimba.

Mereka berempat tengah mencoba menghibur kedua bersaudara yang bersedih walaupun tidak berpengaruh. Mereka memang bermain namun tidak ada raut bahagia sama sekali.

"Ayolah dek tersenyum!" bujuk Kevin kepada adik sepupunya.

"Abang belum pulang," sahut Fano sedih.

"Yakin dong bang Argo pasti segera pulang sebentar lagi," ujar Bobby kepada sang adik sepupu.

"Kalian boleh pergi saja," usir Rimba.

"Hey Rimba kami disini untuk menghibur kalian," ujar Bryan.

"Mas Bryan tidak dapat menghibur kami," ujar Rimba datar.

Rimba mengusir keempat sepupunya dari kamar sang abang Argo. Sejak Argo diculik mereka memutuskan tidur disana menunggu sosok Argo sadar.

Kedua orangtua mereka berkata bahwa Argo baik-baik namun hingga sekarang sosok Argo belum juga muncul.

"Abang kok lama sih tidurnya?" tanya Fano.

"Entahlah kakak tidak tahu," sahut Rimba.

Mereka memilih tidur dibandingkan memikirkan tentang kondisi Argo. Tak lama suara isakan terdengar dari mereka berdua. Jujur mereka tidak mau sang abang berkorban demi keselamatan mereka berdua.

Menurut mereka Argo terlalu sempurna sebagai seorang abang. Dulu dia sosok dingin tanpa tersentuh walaupun tetap menjaga mereka dari kejauhan. Sekarang Argo lebih berani bertindak melindungi mereka secara terang-terangan.

Suara pintu terbuka tidak membuat kedua anak kecil tersebut tersadar. Disana ada sosok kedua orangtua mereka bertiga. Mereka juga merasakan tentang rasa sakit kedua anaknya.

"Kurasa kematian secara instan bukan pilihan yang tepat," ujar Lusi.

"Kau telah membuat dia buta sayang dengan menusukkan pisau tepat kearah matanya," sahut Stevan.

"Aku yang melahirkan dan mengandung Argo saja tidak berani bermain tangan dengannya. Dia orang asing malah berani membuat putraku koma," desis Lusi.

"Sayang jaga kedua anak kita saja. Mengenai sang pelaku akan kupermainkan hingga dia memohon untuk kematian dia sendirii," ujar Stevan.

"Menghukum dia di tangan Argo keputusan yang sangat tepat," ujar Lusi.

Stevan tersenyum smirk dia suka akan gagasan sang istri. Kedua pasangan suami istri itu mendekat kearah kedua anaknya yang tetap tertidur walaupun sambil menangis.

Mereka naik ke ranjang dan memeluk kedua anaknya sangat erat agar mereka merasakan kasih sayang.

Pagi hari Rimba membuka mata ternyata dia tengah dipeluk sangat erat oleh sang ayah. Merasa nyaman Rimba kembali mencari tempat di dada bidang Stevan agar bisa tidur.

Merasakan pergerakan Stevan membuka mata disana sang anak kedua tengah berusaha tidur kembali. Stevan yang peka mengelus punggung Rimba tak lama suara dengkuran halus terdengar membuat Stevan terkekeh geli.

"Kurasa kau ini memang anakku yang sangat manis," ujar Stevan.

Stevan mencium wajah Rimba. Dia merasa gemas akan penampilan Rimba. Seorang kakak yang memakai baju tidur bermotif spongebob yang terlihat cukup kebesaran di tubuhnya.

Ayah beranak tiga itu mengerti Rimba memakai baju milik Argo kebiasaan aneh Rimba apabila tidur bersama sang abang.

"Maaf ya kalau kamu merasa kekurangan kasih sayang papa dan mama," ujar Stevan mengelus rambut Rimba.

Rencana awal Stevan dan Lusi memang memiliki dua anak saja. Namun takdir berkata lain jadi mereka menerima saja kehadiran Fano sebagai sang bungsu.

Perhatian mereka awalnya memang untuk Fano seiring berjalan waktu perlahan mereka mulai membagi waktu untuk anaknya yang lain. Mereka tidak mau ketiga anaknya merasakan pilih kasih.

Parenting Stevan dan Lusi cukup baik. Dibawah tekanan sebagai pewaris bisnis gelap keluarga mereka mampu membagi waktu demi ketiga anaknya.

Lusi memutuskan tinggal di rumah dan Stevan mengurus dunia bawah. Apabila ada suatu hal yang tidak beres mengenai bisnis miliknya maka Lusi akan turun tangan langsung.

"Setiap anak memang berkah dari sang pencipta sayang," sahut Lusi.

"Aku tidak masalah memiliki anak berapapun asalkan kita mampu adil kepada mereka semua," ujar Stevan.

"Ucapanmu benar sayang," sahut Lusi.

Belajar dari kolega bisnis yang kadang menyembunyikan salah satu anaknya akibat suatu hal entah apa itu. Baik Stevan dan Lusi berjanji tidak akan menyembunyikan ketiga anaknya dari dunia. Biarkan mereka tahu bahwa Argo Siji Jovetic, Rimba Dan Jovetic dan Stefano Mahardika Jovetic merupakan ketiga putra kebanggan mereka berdua.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Rabu 20 Maret 2024

Save My Brothers (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang