Epilog

1.5K 128 31
                                    

Bertahun-tahun kemudian sosok Argo telah tumbuh menjadi remaja yang tampan. Sekarang ia duduk di kelas tiga sma. Ia tengah fokus belajar, tak lama ada seseorang masuk ke dalam kamarnya.

"ABANG!" pekik Rimba.

Argo menatap sang adik Rimba. Seragam sekolah putih biru masih melekat di tubuh Rimba. Ia malah memeluk sosok Argo sangat erat.

"Abang!" rengek Rimba.

"Ada apa?" tanya Argo mengelus rambut Rimba.

"Kakak tadi hajar orang lagi. Dia saja lemah, masa baru satu kali pukulan langsung pingsan," jawab Rimba.

Argo terbiasa akan itu semua. Ayolah Rimba ini memang biang masalah sejak kecil. Sekarang ia juga tetap melakukan kenakalan tersebut.

Argo berusia enam belas tahun. Sementara Rimba berusia tiga belas tahun. Tak lama ada sosok anak kecil berseragam putih merah masuk.

"Abang! Kakak! Kalian ngapain sih?!" pekik Fano.

Lemak di tubuh Fano telah menghilang. Ia tumbuh menjadi anak kecil yang sangat sehat. Tersisa lemak di kedua pipinya saja.

"Hari ini perayaan kematian mereka," ujar Argo.

"Aku malas datang," ujar Rimba.

"Tapi kita jarang kesana lho," ujar Fano.

Argo bangkit berdiri. Ia malas membicarakan mengenai perayaan tersebut. Setiap tahun mereka akan mengunjungi pemakaman dimana kedua sosok tersayang telah tiada.

Remaja itu melirik kearah foto keluarga di kamarnya. Ia sedikit menghela nafas kasar. Jujur dia belum menerima takdir ini.

Alasan utama dia memang mencengah kematian kedua adiknya. Namun akibat tindakan ia ada dua nyawa perlu dikorbankan.

Tidak ada yang berubah hanya siapa yang perlu menggantikan kematian Rimba dan Fano. Argo menatap kedua adiknya sejenak.

"Kalian jangan kesana. Abang tidak akan mengantarkan kalian," ujar Argo.

"Masih ada om Ed," ujar Rimba.

"Ck!" kesal Argo.

"Abang kami juga ingin berdoa saja," ujar Fano.

"Tidak ada. Kalian berdua di rumah saja!" tegas Argo.

"Kenapa abang berubah sih?!" kesal Rimba.

"Aku tidak berubah. Keadaan yang memaksa diriku," ujar Argo.

"Kami tidak menyalahkan kematian mereka kepada abang kok," ujar Rimba.

"Jangan mengungkit itu semua," desis Argo.

"Kalian bertiga kenapa bertengkar sih?" ujar seseorang.

Sosok pria dewasa datang dengan penampilan yang sedikit menyeramkan. Namun tidak bagi menurut mereka bertiga.

Fano memeluk tubuh pria dewasa tersebut. "Papa itu abang menyebalkan!" rengek Fano menunjuk kearah Argo.

Argo memalingkan wajahnya. Ia tidak mau menatap wajah ayahnya sendiri. Stevan menggendong putra bungsunya. Stevan mencium puncak kepala Rimba lantas mendekati putra sulungnya.

"Kita kesana untuk mengunjungi saja," ujar Stevan.

"Kalian saja. Abang akan di rumah," ujar Argo.

"Kakak ajak dulu adiknya bermain. Papa akan berbicara sebentar dengan abang," ujar Stevan.

"Okey!" pekik Rimba.

Stevan menyerahkan Fano kepada Rimba. Fano langsung memeluk leher Rimba sangat erat.

Save My Brothers (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang