Memakan sesuatu yang sangat diinginkan menjadikan kesenangan tersendiri bagi Argo. Setiap permintaan Argo ataupun kedua saudaranya yang lain akan dikabulkan oleh Stevan.
Dulu dia tidak banyak meminta apapun kepada kedua orang tuanya. Beda lagi seperti sekarang dia lebih mudah meminta apapun kepada kedua orang tuanya.
Suasana rumah sekarang lumayan sepi. Rimba dan Fano tengah bermain di taman belakang rumah. Tokoh utama kita tengah memperhatikan Lusi yang asyik membuat kue.
Sejak tadi Lusi terkekeh melihat ekspresi putra sulungnya yang tampak sangat lucu. Bagaimana tidak Argo melongo menatap oven yang tengah melakukan tugasnya.
Sosok ibu itu kadang bingung mengenai sisi dewasa Argo. Dia tahu bahwa Argo merupakan jiwa dewasa yang masuk ke raga anak kecil. Anehnya jiwa itu seperti terbawa menjadi anak kecil kembali.
Suara jepretan foto membuyarkan Argo. Ternyata itu suara kamera sang ibu yang mengabdikan momen dia.
"Mama!" panggil Argo.
Lusi mendekat kearah Argo. Ia mengelus rambut Argo yang sedikit panjang. "Kenapa anak ganteng mama?" tanya Lusi.
"Abang mau kue itu," tunjuk Argo kearah oven.
"Tenang mama buat banyak kok. Sekarang Abang lihat dulu kedua adikmu tengah bermain apa ok," ujar Lusi menepuk kepala Argo.
"Okey!" pekik Argo.
Remaja berusia dua belas tahun berlari menuju ke taman belakang rumah. Sosok tinggi Stevan mendekat kearah sang istri. "Ketiga putraku kemana sayang?" tanya Stevan.
"Mereka tengah bermain di belakang," jawab Lusi.
Di tempat ketiga bocah kematian. Tanpa disangka ada tiga pria dewasa mengepung mereka. Ketiga bersaudara itu saling merapatkan tubuh satu sama lain. Tatapan ketiga pria nampak meremehkan mereka.
"Kalian menginginkan kematian kami?" tanya Argo kepada mereka.
"Tentu saja," ujar salah satu dari mereka.
"Bang! Dek! Saatnya mempraktekkan apa yang diajarkan oleh papa Minggu lalu," ujar Rimba kepada kedua saudaranya.
"Tentu saja," sahut Fano.
"Kalian terlalu percaya diri," remeh salah satu dari mereka.
Entah darimana mereka bisa masuk begitu mudah di kediaman mereka. Mungkin saja dikarenakan lokasi taman belakang rumah berhadapan langsung dengan tanah kosong dan gelap memudahkan mereka menyusup masuk.
Mereka bertiga berpencar untuk mengalahkan satu persatu musuh. Di sisi Fano dia nampak jauh berbeda dengan sang lawan.
"Menyerahlah anak kecil!" remeh orang tersebut.
"Kata papa seorang pria dilarang menyerah sebelum bertarung," ujar Fano.
"Kau akan kubunuh dalam dua kali percobaan," ujar orang itu.
Pria itu mengeluarkan pisau untuk menakuti Fano. Tidak ada raut takut sama sekali dari wajah sang balita berusia tiga tahun itu.
Pisau berayun kearah Fano dihindari dengan mudah oleh sang balita. Gerakan Fano sangat lincah tidak kaku sama sekali. Dia saja melompat untuk menghindari tendangan pria dewasa itu. Tepat mendapatkan momentum Fano memukul perut sang pria cukup keras. Itu tidak berhasil dia masih berdiri walaupun pisau terjatuh.
Baru saja pria akan membalas sedikit kesulitan karena Fano lebih pendek darinya. Seringai di wajah balita itu membuat heran sang pria dewasa. Tanpa diketahui bahwa Fano memukul wajahnya sangat keras.
Dengan gerakan cepat Fano mengambil pisau dan menodongkannya kearah leher sang pria dewasa yang sudah terkapar. "Kau kalah om," ledek Fano.
Di sisi Rimba dia sangat meledek setiap serangan yang berhasil dia tangkis. Setiap orang itu melayangkan tendangan ataupun pukulan berhasil dikembalikan oleh Rimba. Merasa kesal dia mengeluarkan pistol. Baru saja akan menembakkan pistol dengan cepat Rimba menendang tangannya.
Sang pria akan mengambil pistol dia kalah cepat dengan Rimba. Anak berusia sembilan tahun itu menodongkan pistol tepat kearah jantung berdetak. "Papa bilang ini organ vital manusia. Kalau aku lepaskan sebuah tembakan maka om akan mati," ujar Rimba.
Argo tengah mempermainkan musuh. Berulangkali dia menghindari setiap tembakan. Tidak cukup menggunakan senjata tersebut. Sang pria mengeluarkan granat.
Raut wajah Argo semakin dingin. Dia berlari dan menendang granat itu keluar taman belakang rumah. Sang musuh mengeluarkan pedang samurai. Argo menarik tangan musuh dan mengambilnya secara paksa. Sisi sadis Argo bangkit.
Tanpa memperhatikan sekitar dia menebas salah satu tangan musuh. Tentu saja teriakan kesakitan membuat seisi rumah kaget.
Fano dan Rimba saja kaget akan perbuatan sang abang. Mereka belum pernah melihat sang abang sangat sadis.
"Wow hebat," kagum Stevan.
"Didikanmu keren juga," ujar Lusi menyenggol bahu Stevan.
"Anak kalian masih dalam bahaya itu," ujar Edward.
"Musuh sudah berhasil ditaklukan. Mereka akan aman sekarang kok," sahut Stevan.
Stevan mengkode anak buahnya untuk mengamankan para penyusup. Malam ini akan menjadikan malam panjang pagi anak buah Stevan. Mereka pasti akan mendapatkan hukuman dari Stevan akibat lalai menjaga ketiga putranya.
"Anak-anak! Ayo makan kue!" ajak Lusi.
Ketiganya langsung membuang senjata yang mereka pegang begitu saja. Seperti anak kecil pada umumnya mereka saling berlomba untuk tiba lebih dulu.
Di dapur mereka menikmati kue cokelat dan segelas susu strawberry. Tak lupa dengan sosok Stevan yang ikut juga.
Fano menatap aneh Stevan. "Papa ngapain sih disini?" tanya Fano.
Stevan tidak menjawab dia malah mengangkat tubuh Fano untuk duduk di pangkuan dia. "Papa bosan, jadi melihat aksi kalian tadi sangat menyenangkan," ujar Stevan memeluk tubuh Fano sangat erat.
"Papa aneh bukannya menolong anak dalam bahaya tadi," keluh Rimba.
"Papa rasa kalian mampu mengatasi itu semua," ujar Stevan santai.
"Tidak berguna sekali," ujar Argo.
"Awas ya mendatangi papa dikarenakan kangen!" ledek Stevan kepada sang sulung.
Fano tertawa diikuti oleh yang lain. Mereka tahu bahwa sang sulung tidak tahan berjauhan dengan ayahnya sendiri.
"Kok Abang tadi menebas tangan musuh sih?" tanya Rimba.
"Abang malas saja," sahut Argo.
"Malas kenapa?" tanya Fano.
"Dia melawan anak kecil menggunakan berbagai senjata agar rencana dia berhasil," sahut Argo.
"Itu artinya Abang kalian marah dikarenakan tindakan sang penyusup ketika bertarung," ujar Stevan.
"Memang musuh Abang melakukan apa saja?" tanya Lusi.
"Abang tendang tangan dia yang memegang benda berbentuk mirip jagung gitu," jawab Fano polos.
"Benda apa itu kak?" tanya Lusi.
"Granat deh. Kakak udah tahu dikarenakan dikenalkan sama guru sekolah tentang beberapa benda berbahaya yang harus dihindari apabila bertemu," jawab Rimba.
"Pantas saja Abang kalian marah," ujar Stevan.
"Fungsi jagung itu apa?" tanya Fano.
"Granat adek," koreksi Argo.
"Susah tahu bilangnya!" protes Fano.
"Bisa dibilang dia seperti bom waktu. Dia juga akan meledak dalam waktu dekat. Maka dari itu Abang menendang granat ke luar agar kalian tidak terkena dampaknya," ujar Stevan.
"Adek belum tahu mengenai itu!" pekik Fano.
"Mama akan memberitahu adek ya," ujar Lusi.
"Okey!" pekik Fano.
Argo tersenyum melihat wajah sang adik. Dia tidak masalah membahayakan nyawa asal kedua adiknya selamat.
Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis
Sampai jumpa
Minggu 07 Juli 2024
Maaf penulis baru update soalnya kemarin hpku mati total dan perlu diperbaiki dulu
Nanti dua bab lagi akan update
KAMU SEDANG MEMBACA
Save My Brothers (END)
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah keluarga saja tidak lebih. Argo sosok pria dewasa yang kehilangan kedua adiknya. Sosok pria dewasa yang memang terkenal dingin itu semakin tidak tersentuh sejak kematian kedua adiknya. Bahkan di usia 35 tahun...