46 (argo)

1.7K 154 10
                                        

Di sebuah sudut kota tepatnya di gang gelap tempat dimana segala nafsu dunia manusia bisa dilepaskan disana. Beberapa kasus pemerkosaan sering terjadi disana entah korban laki-laki ataupun perempuan tidak pandang bulu. Terlihat ada sosok remaja berusia dua belas tahun tengah mengawasi seseorang. Di tangannya ada sebuah pisau kecil untuk menjaga dirinya.

Remaja kecil itu adalah Argo. Sejak sepulang sekolah dia mengawasi sosok pemuda yang terlihat mencurigakan. Sejak beberapa minggu terakhir kemanapun Fano pergi dia terlihat mengawasi sekitaran sang adik.

Sebagai seorang kakak dia berniat akan sedikit memberikan pelajaran kepada orang tersebut.

Walaupun hanya senjata sederhana dia yakin akan kemenangan berada di pihaknya. Merasa diawasi pemuda itu mendekati kearah Argo dia tersenyum smirk mendapatkan mangsa untuk kepuasan nafsunya.

Dia menarik kerah baju Argo hingga tubuh kecil Argo sedikit terangkat keatas. "Lumayan juga kau bocah walaupun kau seorang laki-laki masih bisa kutusuk lewat belakangmu," ujarnya dengan wajah penuh nafsu.

Argo meludah kearah orang dihadapannya membuat orang tersebut marah akan tindakan Argo. Dia dengan cepat membanting tubuh Argo ke tanah. Dengan wajah penuh gairah nafsu dia akan melepaskan celana Argo ditahan dengan cengkraman cukup kuat oleh Argo.

Tapi pemuda itu tidak getar dia tetap saja berusaha walaupun hasilnya tetap saja gagal. Ketika merasa kesal dia berusaha untuk memukul wajah Argo tapi ditahan oleh Argo.

Wajah Argo menatap datar sang pemuda di hadapan dirinya. "Kau pikir aku anak kecil yang mudah kau perkosa begitu saja!" remeh Argo.

"Ck kau seharusnya tunduk padaku bocah dan rasakan surga dunia!" kesal Sang pemuda.

"Cepi Bagaskara seorang pemuda yang memang seorang troublemaker. Kau seorang bisexsual memiliki ketertarikan kepada seorang pria ataupun wanita."

"Menurutku kau hanya seorang pedofil disebabkan korbanmu seorang anak kecil saja."

"Para wali korban kejahatanmu merupakan orang kalangan menengah bawah maka dari itu hukum berlaku tumpul," ujar Argo santai.

Pemuda bernama Cepi itu langsung mencekik leher Argo sangat kuat mendengar segala hal ucapan Argo. Dia tahu bahwa remaja kecil di hadapannya bukan hanya menggertak saja tapi dia benar-benar tahu segalanya mengenai dirinya.

Tawa Argo membuat heran Cepi. Anak kecil itu memang tampak kesulitan bernafas walaupun tetap saja tertawa.

"Kau bocah gila!" kesal Cepi.

"Anak seorang mafia tidak takut kematian," ujar Argo dengan senyum smirknya.

Cepi melepaskan tangan dia dari leher Argo. Ternyata kali ini dia salah memangsa seseorang bukannya dia mendapatkan kepuasan malah dia yang menjadi mangsa. Ketika dia akan pergi seseorang menembak bahunya.

Tak lama ada segerombolan pria berpakain hitam mendekat. Kedatangan mereka membuat wajah Argo nampak malas. Dia tahu bahwa mereka semua adalah bawahan sang ayah.

Orang-orang itu sedikit membuka jalan untuk kehadiran sang atasan dan juga tangan kanannya. Sang bos langsung memeluk tubuh Argo sangat erat. Bahkan dia mau menggendong dibalas penolakan oleh Argo.

"Abang tidak suka," ujar Argo.

Tidak mendengarkan ucapan sang anak dengan cepat Stevan menggendong tubuh Argo. Dia bahkan menepuk punggung agar anaknya diam. Cara Stevan berhasil sang anak anteng walaupun wajahnya tetap saja cemberut.

Edward yang berada disana sedikit terkekeh melihat interaksi ayah dan anak tersebut. "Tuan muda lebih baik serahkan ini kepada kita saja," ujar Edward.

"Abang saja yang bunuh dia!" protes Argo tidak setuju.

"Hey nak tenanglah," ujar Stevan menenangkan sang anak.

Stevan pikir sejak merasakan sakit sang anak memang lebih sering bertingkah seperti remaja seusianya. Argo seolah lupa bahwa dia merupakan jiwa orang dewasa yang terjebak di tubuh anak kecil.

Dibalik itu semua Stevan bersyukur setidaknya Argo tidak akan mengingat kenangan pahit di masa lalu. "Kita siksa dia di ruangan biasa," ujar Stevan.

Argo menatap wajah sang ayah. Namun Stevan malah mencium kening Argo membuat sang anak malu seketika bahkan bersembunyi di ceruk leher ayahnya.

Stevan memberikan kode agar pemuda bernama Cepi itu diamankan dan akan menyiksanya di ruangan bawah tanah.

Meninggalkan semua anak buah yang sibuk mengurus perintahnya Stevan tetap saja melihat wajah malu anaknya. Jarang sekali Argo menampikan ekspresi seperti itu bahkan dia kadang lupa bahwa Argo itu anak kecil.

Sosok sang anak seorang telah dewasa sejak lahir. Tidak ada rengekan, tangisan atau hal yang sebaiknya dialami oleh seorang anak ketika masa tumbuh kembang. Jadi setelah Argo mendapatkan semua ekspresi itu membuat Stevan semakin bahagia bahwa anaknya juga seorang manusia juga.

Julukan Argo saja wajah tanpa ekspresi atau si kulkas kecil sejak kecil disebabkan dia jarang menampilkan banyak ekspresi. Di dalam mobil Stevan tetap menggendong tubuh Argo.

Stevan mengelus rambut sang anak sayang. Dia rencananya akan menjemput kedua anaknya di sekolah hari ini ternyata terjadi hal tidak terduga.

Rimba sang anak tengah berkata bahwa abangnya akan membunuh seseorang di sebuah gang sendirian. Sebagai seorang ayah Stevan tetap saja khawatir apalagi Argo baru saja pulih.

"Anak papa!" panggil Stevan.

"Abang," sahut Argo.

"Iya abang," ujar Stevan.

Sang anak menetap wajah Stevan. "Lain kali jangan gegabah nak. Seorang mafia akan melakukan sebuah taktik untuk sebuah serangan besar," nasihat Stevan kepada sang anak.

Hanya anggukkan kepala sebagai jawaban dari Argo. Tidak terasa nafsu makan Argo juga bertambah seperti kedua adiknya. Terlihat jelas bahwa kedua pipi tirus Argo sekarang telah sedikit berisi. Bahkan ketika menjawab pertanyaan Stevan rambut Argo bergoyang mengikuti gerakan kepalanya.

Tidak tahan akan rasa gemas Stevan mencium brutal kedua pipi Argo. Sang anak yang tidak siap harus menerima segala perbuatan sang anak.

"Ed anakku sekarang imut semua," pamer Stevan.

"Lu tiap kali ada kelebihan anak dipamerin mulu!" kesal Edward di kursi pengemudi.

"Yah makanya anakmu pada gemuk sana!" pekik Stevan.

"Lu mafia bego! Sempat banget berkata begitu!" pekik Edward.

Dada Stevan dipukul keras oleh orang yang berada di pangkuannya. "Abang gak gemuk ya cuma pipinya sedikit berisi saja!" protes Argo tidak terima.

"Hehehe iya anakku sayang," sahut Stevan.

"Definisi bapak bucin anak yah gini," ujar Edward malas.

Sejak awal Stevan dengan Lusi saja dia tahu kisah cinta mereka. Pernikahan yang menyebabkan kedua musuh bebuyutan akur memang suatu hal yang patut diacungkan jempol.

Dari awal sejak pernikahan Stevan tipikal sosok suami terbaik. Dia kadangkala menemani sang istri ke salon atau pergi menonton film. Ketika anak pertama lahir dia juga sering membantu menjaga dan merawatnya.

Stevan belajar bahwa sosok suami bukan sekedar memberikan nafkah saja, tapi juga harus ada peran ayah kepada anak-anaknya.

Terbukti ketiga anak Stevan bukan orang penakut. Mereka sangat pemberani bahkan pernah menantang bahaya tidak peduli resiko kematian.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Kamis 25 April 2024

Save My Brothers (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang