10. Player yang sebenarnya

4K 239 0
                                    

Lara menipiskan bibirnya. Bergerak gusar memikirkan kejadian di sekolah tadi. Cewek itu siapa? Kenapa ngomong seakan dia kekasih Karang, tapi si cewek itu pakai jaket Avi?

Eh, iya kenapa Lara tak mengatakan itu? Tadi kan dirinya yang dikatain gampangan. Harusnya bales aja,

"Elo tuh yang gampangan! Ngomongin cinta sama cowok ini tapi pake jaket cowok lain! Dasar ular!"

gitu. Tapi malah ngga kepikiran.

Gadis itu meruntuk, kebiasaan orang kalo inget pas udah dihina.

Lara turun dari kasurnya berdiri di depan cermin melihat bayangannya sendiri. Ia menghelaikan nafas. Dengan pelan tangannya bergerak membuka paha kanannya meringis kecil.

Rasa perih menjalar dibagian sana. Kulitnya nampak keunguan lumayan besar. Adisty kembali mengamuki dirinya. Menanyakan kenapa Lara bisa dekat dengan Karang dan bagaimana gadis itu menurut saja meninggalkan tas belanjaan mereka di mall kemarin.

Lara diam. Hanya bisa diam. Sebab itulah Adisty menyebutnya bisu. Lara tak suka berbicara dengan orang yang ia benci. Sekolah, anak kelas, guru-guru yang hanya diam pura-pura tidak tahu jika ada murid korban bully seperti dirinya. Ia membencinya.

Dari awal Lara bisa melawan tapi lama-lama mereka makin tak segan menyakitinya. Ia benci orang berkuasa. Menggunakan koneksi untuk mengancam yang lebih rendah tak berdaya.

Lara memandang marah pada pantulan wajahnya sendiri. Marah kepada dirinya kenapa dia selalu tak bisa berkutik atas semua perlakuan semena-mena orang padanya. Marah kenapa dia selalu menyusahkan orang disekitarnya. Aige, Avi, dan kematian bunda yang masih diselimuti rasa bersalahnya.

Lara memalingkan wajah saat merasakan cairan bening yang muncul dipelupuk matanya. Mengepalkan tangan kuat-kuat.

Tapi matanya malah menangkap beberapa botol obat mahal diatas meja belajarnya. Membuat dirinya tersadar, semakin berkecil hati.

Apakah dirinya memang selemah ini? Apa Karang yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya itu karena ia kasihan pada dirinya?

Lara tertawa sumbang dalam sela tangisannya. Dirinya memang pantas dikasihani.

Gadis itu bergerak mengambil beberapa butir obat disana. Meneguk mentah-mentah tanpa ekspresi. Tak memerdulikan rasa pahit dalam mulutnya, terbiasa. Setelahnya ia meraih kotak pink kecil dan meraih salep obat memar yang hampir habis.

Mungkin saking sering dipakai akhir-akhir ini. Besok dia akan membeli lagi, tentu tanpa sepengetahuan Aige dan Avi.

-

-

-

"Hm, jadi gitu Wan," Juan manggut-manggut. Mendengar cerita Abim yang menggebu menjelaskan kejadian di sekolah sore tadi.

"Trus trus, si cewek Avi nih bener jadi ceweknya Avi?" aslinya pemuda jakung itu masih tak paham.

Abim berdecak kesal. "Dia adeknya Avi anjir. Lara tuh adeknya Avi! Ah kesel gua ngomong sama lo!"

"Ohhh ad-LAHH LO PUNYA ADEK VI??" Juan melotot, baru menyadari sesuatu.

"Ho oh, cakep njir gemes gemes gitu," Taka si cowok Jepang yang baru pertama kali melihat Lara tempo hari ikut berkomentar.

"Kok gua kaya orang bego, adeknya Avi aja ngga tau," gerutunya sendiri.

"Gua aja yang satu sekolah ngga tau apalagi elo," Reksa yang sedang menonton Tv ikut mencletuk.

Avi yang menjadi topik pembicaraan menatap dingin dengan pandangan kosong. Menyesap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskannya. Wajahnya kusut dengan pikiran yang terus mengganggunya.

Selena dan Karang itu memiliki hubungan apa? Kenapa mereka intens sekali, apalagi perkataaan Selena yang mengatakan bahwa dirinya selalu butuh Karang.

Lagi Lara yang seperti mengenal Karang. Kenal dari mana mereka? Apa jangan-jangan Karang sengaja mendekati adiknya untuk balas dendam? Tapi kelihatannya lelaki itu juga percaya saat dirinya menyebut Lara ceweknya.

Setelah rokoknya pendek habis, ia membuang puntung itu dalam asbak di depannya. Membuka handphonenya lalu menscroll room chat yang masih tak kunjung ia balas. Nomor-nomor cewek cantik yang pernah ia ghosting karena bosan. Avi memang begitu, ia akan mendekati semua perempuan sesukanya. Jika bosan, chatnya hanya diread dan berganti mencari lain. Pemuda itu tak memilih pacaran karena merasa tak bisa bebas. Ia sealiran dengan Juan yang juga belum pernah terlihat serius pada satu perempuan.

Avi : malem nanti ke sirkuit? aku jemput. see u cantik.

Cowok jakung itu memasukkan kembali handphonenya tak berkespresi. Bangkit dari duduknya setelah mengetik pesan yang sama sekali tak perlu ia pastikan.

Avisena Daksa Mahavira memang player profesional yang tak perlu status untuk membuktikan kepiawaiannya.


Sea For Blue WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang