Third (Act 2)

535 58 1
                                    

Musim dingin telah berlalu. Salju-salju yang menutupi bumi perlahan mencair dan menyatu dengan tanah.

Hawa sudah tidak sedingin sebelumnya sehingga tidak lagi mengharusnya orang-orang menggunakan busana tebal yang sangat menyulitkan

Salah satunya Janvier. Ia tidak harus bersusah payah bergerak di balik busana tebal ketika sedang berlatih pedang dengan salah satu ksatria kerajaan. Di lemparnya pedang kayu ketika latihan telah berakhir. Ksatria mengatakan sesuatu tentang Janvier sudah berkembang lalu meninggalkannya sendiri di ruang latihan.

Sudah beberapa bulan ini Janvier semakin berfokus pada latihan berpedang. Alasannya sederhana. Saat berusia delapan tahun nanti, Janvier akan dinobatkan menjadi putra mahkota kerajaan didepa banyak bangsawan dan rakyat kerajaan Lains. Dan tinggal menunggu beberapa bulan menuju upacara pengangkatan putra mahkota, disaat itu Janvier harus terus berkembang agar dapat memenuhi kualifikasi ayahnya sendiri.

Janvier menghela napas. Sudah cukup lama Ia menghabiskan waktu untuk berlatih di arena pelatihan. Ia harus kembali sebelum matahari tenggelam.

Meletakkan pedang kayu pada tempatnya, perlahan Ia berjalan, meninggalkan arena pelatihan melewati istana permaisuri yang sangat asri. Istana yang selalu Janvier lewati tanpa pernah melihat bagaimana isi dari istana tersebut.

Ketika sedang menikmati langkahnya, tangisan bayi terdengar samar-samar. Penasaran, Ia mencoba mencari sumber suara sampai menemukan kotak bayi tidak jauh dari istana dan taman bunga milik permaisuri. Didalamnya ada sesosok bayi mungil, tangan meraih-raih udara seolah berpegangan pada itu. Tidak ada siapapun yang berjaga. Janvier curiga sudah cukup lama bagi bayi itu menangis keras.

Janvier memutuskan untuk mendekat, lebih jelas melihat sosok bayi itu. Surai perak tipis yang basah karena keringat, wajah memerah merona dan di sertai air mata yang terus menerus mengalir.

"Ya ampun, maaf kan saya Pangeran- Ah, yang mulia pangeran Janvier!"

Seorang pelayan, berlari dan berhenti didekatnya. Napas terburu, sampai-sampai tidak sempat memberikan gestur hormat pada Janvier meski Janvier tidak terlalu masalah dengan itu. DI tangan pelayan tersebut ada sebotol cairan putih, yang sepertinya adalah makanan untuk bayi yang sedang menangis ini.

"Kau meninggalkannya di tempat terbuka seperti ini. Bagaimana jika terjadi apa-apa dengannya? Dia masih tetap anggota kerajaan. Nyawamu tetap tidak sebanding dengan milik anak ini."

Suara yang mengancam dan tajam. Tidak ada yang menyangka jika yang mengatakan hal tersebut adalah anak yang baru saja berusia tujuh tahun.

Pelayan tersebut menerima ucapan Janvier langsung menunduk pasrah. Tatapannya menunjukkan rasa takut ke arah Janvier yang tidak bergeming. "Maafkan saya yang mulia! Saya pergi untuk mengambil susu pangeran ketiga, dan kebetulan tidak ada pelayan lain yang dapat menggantikkan saya untuk sejenak."

Janvier tidak membalas. Ia justru melihat ke arah kotak bayi dan berucap, "Biarkan aku menggendong anak itu."

"Y-ya?"

"Kamu tuli?"

"M-maafkan saya!"

Pelayan tersebut akhirnya menegakkan tubuh lalu mendekati kota bayi. Diangkatnya bayi yang mulai terbatuk-batuk kecil dan memberikan kepada Janvier. Ajaibnya, bayi tersebut perlahan terdiam saat Janvier menyamankan posisi. Kelopak mata yang tertutup akhirnya terbuka, menampilkan manik merah terang berlinang air mata yang menatapnya. Tangisan bayi digantikan dengan gumaman-gumaman khas bayi. Dan tangan kecil itu mencoba untuk meraih wajah Janvier seolah mengenal sosok yang sedang menggendongnya itu.

"Aku akan membawanya kembali. Bawakan susu ke kamarnya."

Tanpa menjelaskan lagi Janvier menpergi meninggalkan pelayan itu. Ia beralih tujuan dari yang ingin kembali ke ruangannya menjadi ke istana permaisuri. Ia harus memastikan bayi ini berada di tempat tidurnya, memakan makanan, tenang, dan tidur. Ia juga mencatat pelayan untuk meminta menambahkan pelayan pada kediaman milik permaisuri ini.

[BL] NoelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang